Ikhwanul Habibi - detikNews
Jakarta - Kasus LP Cebongan yang melibatkan 11 anggota
Kopassus dinilai akibat bisunya hukum. Sehingga, terbunuhnya Sertu Heri
Santoso oleh para preman mengakibatkan senjata yang bicara.
"Premanisme
di Jogja yang merajalela ini membuktikan hukum bisu. Hukum tidak bisa
menyentuh preman-preman ini. Hukum ini masih punya legalitas tapi sudah
tidak punya legitimasi. Hukum ini sudah tidak mempunyai daya rekatnya,
sehingga masyarakat sudah tidak percaya lagi," kata mantan Kepala Badan
Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono saat berbincang dengan
detikcom, Senin (8/4/2013).
Di mata pendiri sekolah intelijen
itu, hukum tertinggi adalah keselamatan rakyat. Oleh sebab itu, apabila
hukum tidak bisa melindungi rakyatnya maka senjata yang akan bicara.
"Makanya
secara hukum mereka salah, tapi secara moral mereka baik. Kalau perlu
mereka dapat bintang mahaputra," papar Kepala BIN 2001-2004 ini.
Oleh
sebab itu, Alumni Akmil 1967 ini meminta masyarakat memahami kasus ini
secara menyeluruh, tidak sepotong-potong. Selain itu, Hendro juga
meminta masyarakat menyeret-nyeret pimpinan Kopassus dalam perkara
tersebut.
"Apa yang dilakukan prajurit-prajurit Kopassus ini di
Cebongan, kalau secara moral dia adalah prajurit yang baik, tapi secara
hukum dia salah. Seandainya dia harus dihukum, dia tetap seorang
prajurit yang baik. Kalau perlu dikasih bintang jasa itu sama
masyarakat. Hukum bicara yang benar dan yang salah. Moral bicara yang
baik dan yang jelek. Hukumnya bisu, makanya senjata saja yang bunyi,"
pungkas Hendro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar