Jakarta (ANTARA
News) - Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari mendukung upaya DPR RI
untuk mengakhiri politik biaya tinggi dengan menyelenggarakan pemilukada
serentak dan pembatasan belanja kampanye.
"Upaya DPR untuk membatasi dana kampanye dan menyelenggarakan
pemilukada serendak harus dilakukan dengan semangat untuk mengatasi
politik biaya tinggi," kata Hajriyanto Y Thohari pada "Dialog Pilar Negara: Pembiayaan Partai Partai dalam Pemilukada" yang diselenggarakan MPR RI di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Senin.
Pembicara lainnya adalah Wakil Ketua Komisi II DPR RI Abdul Hakam
Naja dan Pakar Ekonomi yang juga Staf Khusus Presiden Firmanzah.
Menurut Hajriyanto, penyelenggaraan pemilukada secara langsung pada
era reformasi yang berbiaya tinggi memberikan banyak ekses negatif
meningkatnya kasus-kasus korupsi.
"Bahkan banyak kepala daerah yang tersandung kasus korupsi," katanya.
Politisi Partai Golkar ini menambahkan, ekses lainnya dari politik
biaya tinggi menggeser paradigma calon kepala daerah dari figur yang
memiliki kapabalitas menjadi figur yang memiliki banyak uang.
Politik biaya tinggi ini, kata dia, melahirkan plutokrasi, yakni seseorang dengan pertimbangan utama kemampuan logistiknya.
"Hanya orang-orang banyak uang yang bisa menjadi calon kepala daerah," katanya.
Hajriyanto menegaskan, guna mengatasi politik biaya tinggi harus
memperbaiki penyelenggaraan pemilukada yakni dengan menutup celah-celah
yang menjadi potensi politik biaya tinggi.
Usulan pemilukada serentak dan pembatasan belanja kampanye, menurut
dia, harus didasarkan dengan semangat untuk mengatasi politik biaya
tinggi.
Sementara itu, Ketua Panitia Kerja RUU Pemilukada DPR RI, Abdul
Hakam Naja menegaskan, perlu adanya pembatasan belanja kampanye pada
penyelenggaraan pemilukada guna mengatasi praktik politik biaya tinggi.
"Saat ini Panja RUU Pemilukada sedang merumuskan standar belanja
kampanye pada penyelenggaraan pemilukada," kata Hakam Naja.
Menurut dia, selama ini DPR RI lebih banyak mengatur soal besaran
maksimal sumbangan dari perorangan maupun lembaga kepada partai politik
maupun penyelenggaraan pemilukada, tapi belum membatasi belanja kampanye
pada pemilukada.
"Ini berdampak pada belanja kampanye yang tidak terbatas sehingga menjadikan politik biaya tinggi," katanya.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI ini menjelaskan, politik biaya tinggi
ini memberikan ekses negatif yakni, hanya orang-orang yang memiliki
modal kapital besar yang berani tampil sebagai calon kepala daerah atau
tokoh yang didukung oleh sponsor.
Namun, setelah terpilih menjadi kepala daerah rawan terjadi praktik
korupsi dan nepotisme yang jutsru merugikan negara dan rakyat.
Hakam menggambarkan, dampak dari politik biaya tinggi, saat ini ada
sekitar 291 kepala daerah yang tersandung kasus hukum terutama korupsi.
"Karena itu, pada pembahasan RUU Pemilukada saat ini akan
merumuskan pembatasan belanja kampanye sekaligus penyelenggaraan
pemilukada serentak, untuk efisiensi anggaran," katanya.
Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini mencontohkan, pembatasan
belanja kampanye tersebut di antaranya, pembatasan pemasangan spanduk
baik lokasi maupun jumlah dan pembatasan pemasangan iklan di media
massa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar