Elvan Dany Sutrisno - detikNews
Jakarta
Kalangan Komisi IX DPR yang membidangi kesehatan mengapresiasi putusan
Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK)
Prita Mulyasari yang dipidana karena menulis keluhan terhadap layanan di
RS Omni Internasional tiga tahun lalu. Dia dinyatakan bebas dari
hukuman percobaan enam bulan penjara.
"Secara pribadi saya sangat
gembira dan mengapresiasi kemenangan Bu Prita menuntut keadilan ke MA
sekaligus merobohkan tembok arogansi pengelola rumah sakit bermodal
besar. Bagi saya, Bu Prita adalah sosok teladan bangsa ini, utamanya
bagi masyarakat kecil yang kerap dianaktirikan ketika mengkses pelayanan
kesehatan," kata Anggota Komisi IX DPR dari PKS Herlini Amran kepada
detikcom, Selasa (18/9/2012).
Penting untuk mengambil hikmah atas
perjuangan Prita selama ini. Bahwa setiap tenaga kesehatan harus
memenuhi hak-hak pasien untuk mendapatkan informasi akurat seputar
kesehatannya, sebelum melakukan intervensi apapun. Bahkan tenaga
kesehatan bertanggungjawab atas terlaksananya pendidikan kesehatan
(Penkes) hingga pasien kembali ke rumahnya. Ini adalah Hak Perlindungan
Pasien yang diamanahkan UU Kesehatan.
"Coba implementasikan pasal
56 payung hukum tersebut di setiap fasilitas kesehatan. Saya yakin
angka kepuasan pasien terhadap pelayanan yang diberikan oleh tenaga
kesehatan pasti meningkat," ujarnya.
Undang-undang nomor 44 tahun
2009 tentang Rumah Sakit pun menyatakan bahwa pelayanan kesehatan
merupakan hak setiap orang yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang harus diwujudkan dengan upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. UU ini
juga menjelaskan bahwa Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan
bagi masyarakat dengan karateristik tersendiri yang dipengaruhi oleh
perkembangan ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi,dan
kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan
pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar
terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
"Sebaliknya
jika tenaga kesehatan tidak profesional dan pengelola fasilitas
kesehatan abai terhadap hak-hak pasien, maka sengketa yang serupa dengan
kasus Bu Prita akan terus terjadi dimana-mana. Misal kasus terbaru di
Jawa Timur, ada pasien menuntut ganti rugi karena kakinya diamputasi,
dan dia merasa tidak diberikan informasi yang utuh oleh tenaga kesehatan
disana. Kasus itu tidak perlu terjadi jika semua pihak mematuhi hak-hak
perlindungan bagi pasien. Salah paham antara pasien dan pihak rumah
sakit dapat diminimalisir, tidak perlu melebar ke kasus-kasus
malpraktik," bebernya.
Herlini juga menghimbau kepada jajaran
Kemenkes terkait dan para pengelola fasilitas kesehatan swasta untuk
meningkatkan aspek humanisme tenaga kesehatan manakala melayani pasien.
"Pastikan bahwa para tenaga kesehatan tersebut memiliki kompentensi
‘komunikasi terapeutik’ yang terstandar dan cakap memberikan penkes,"
katanya.
Terkait kedua hal tersebut, Herlini kecewa terhadap
kinerja Kemenkes dalam hal membina para tenaga kesehatan. "Saya masih
sering menerima laporan ada dokter keluarga yang menganaktirikan pasien
Askes, perawat yang tega menolak pasien Jamkesmas, dan keluhan para
pasien yang diperlakukan seperti robot oleh tenaga kesehatan. Memang
penyebabnya multi faktor. Mungkin karena insentif dokter untuk jasa
pelayanan Jamkesmas sangat rendah, mungkin karena pihak rumah sakit
kerap kesulitan mencairkan klaim Jamkesmas/Jampersal, mungkin juga
karena kesejahteraan perawat minimalis sehingga kurang humanis, atau
mungkin pembinaan tenaga kesehatan tersebut hanya aspek kognitifnya
saja," ungkapnya.
Terakhir, Anggota DPR asal wilayah pemilihan
Kepulauan Riau ini memandang kemenangan Prita ini adalah pintu pemenuhan
hak-hak dan perlindungan pasien di Indonesia. "Apa lagi, jelang 2014
nanti Indonesia akan memberlakukan jaminan kesehatan yang berlaku untuk
seluruh rakyat. Bukan rahasia lagi, jika pasien-pasien
Jamkesmas/Jampersal sering diperlakukan sebagai pasien strata
non-prioritas oleh tenaga kesehatan atau pengelola rumah sakit.
Bayangkan nanti akan ada pasien BPJS Kesehatan penerima bantuan iuran
(PBI) hingga Rp 100 jutaan. Apakah mereka masih akan diperlakukan
seperti pasien Jamkesmas/Jampersal sekarang? Tentu paradigmanya harus
segera dirubah. Karenanya, saya menuntut Kemenkes agar lebih profesional
dalam melakukan pengadaan ribuan tenaga kesehatan penunjang pelayanan
BPJS Kesehatan kelak," pungkasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar