Rini Friastuti - detikNews
Jakarta
Mendapat sorotan dari dunia internasional, Myanmar saat ini terus
melakukan demokratisasi dan membenahi kebijakan politik dalam negerinya.
Salah satu yang disorot adalah pelanggaran HAM yang dilakukan
pemerintah dan kelompok mayoritas. Untuk menangani masalah ini,
pemerintah Myanmar pun belajar kepada Indonesia.
"Saat ini kami
berada di Indonesia untuk belajar bagaimana cara menyelesaikan konflik
etnis dan demokrasi kepada Indonesia. Alasan kami untuk belajar kepada
Indonesia adalah karena Indonesia memiliki banyak etnis dari budaya yang
berbeda, tapi pemerintah Indonesia dapat meng-handle situasi dan
demokrasi hingga saat ini," ujar Staf Khusus Presiden Myanmar bidang
politik, Ko Ko Hlaing.
Hal itu disampaikannya dalam Focus Group
Discussion (FGD) bertema 'Capacity Building on Ethnic Conflict
Management and Democratization Between Indonesia and Myanmar' antara
delegasi pemerintah Myanmar dengan perwakilan pemerintah Indonesia di
Hotel Borobudur, Jalan Lapangan Banteng Selatan, Jakarta Pusat, Selasa
(18/9/2012).
Hlaing mengatakan pemerintah Myanmar masih terlalu
jauh dari pengertian demokrasi itu sendiri karena baru memahami arti
demokrasi setelah sekian lama berada di bawah pengaruh militer, dan
tidak terbuka kepada dunia luar.
"Oleh karena itu, kami
menghargai sekali pemerinah Indonesia yang mau memberikan ilmu kepada
pemerintah Myanmar untuk mencari solusi penyelesaian konflik etnis di
negara kami tentang bagaimana caranya untuk menciptakan demokrasi,"
tuturnya.
Asisten Direktur program hubungan internasional dari
Shalom (Nyein) Foundation, L Ja Nan Lahtaw menambahkan sudah lebih dari 4
dekade Myanmar dilanda konflik internal antara kelompok minoritas dan
pemerintah. Konflik tersebut menurutnya terjadi karena kesalahpahaman
yang berujung pada diskriminasi kaum minoritas di daerah Myanmar.
"Saya
datang dari daerah Myanmar daerah utara, salah satu etnis minoritas
yang bernama Hokachin. Yang membuat diskriminasi antara pemerintah
dengan kelompok minoritas kami adalah tidak terjadinya persamaan hak
antara kelompok minoritas kami dengan kelompok mayoritas di Myanmar. Kam
ingin persamaan hak dalam sistem pemerintahan," katanya.
Dia
mencontohkan pada sistem pendidikan untuk level dasar atau basic.
"Mungkin kami dapat perlakuan sama. Tapi ketika kami masuk ke dalam
jenjang yang lebih tinggi, kami dapat diskriminasi dari masyarakat dan
dari pemerintah itu sendiri, sehingga kami tidak bisa memberikan suara
atau pendapat di dalam pemerintah. Hal ini mungkin tidak disebutkan
dalam hukum, tapi diskriminasi ini dapat kita lihat di kehidupan
sehari-hari dan sampai sekarang hal itu masih berlanjut," imbuhnya.
Lalu kenapa tidak ada reaksi dari tokoh demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi soal diskriminasi ini?
"Untuk
saat ini kami tidak memiliki kekuatan yang cukup. Mungkin saat ini
pemeritaha Myanmar butuh dukungan dari semua pihak. Termasuk negara
luar. Kalau untuk tidak adanya reaksi dari Aung San Suu Kyi, mungkin dia
butuh pemahaman yang lebih tentang konflik etnik yang terjadi di
Myanmar. Untuk hal ini saya bisa memahami dari perspektif dia," pungkas
Lahtaw.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar