INILAH.COM, Jakarta - Pemungutan suara yang digelar pada Kamis,
(20/9/2012) depan, menjadi hari penentuan bagi nasib Jakarta dalam lima
tahun ke depan. Warga Jakarta pun diminta tidak terjebak dalam politik
pencitraan yang dilakukan para kandidat.
Menurut
pengamat politik, Iberamsyah, sebagai barometer politik nasional warga
Jakarta harus menunjukkan kecerdasannya dalam memilih calon yang
nantinya akan duduk di kursi DKI 1. Tidak terkungkung hanya dalam
pencitraan sosok salah satu calon yang hanya terkesan merakyat.
Karenanya Pemilukada harus menjadi momentum bagi warga untuk membuktikan
hal tersebut.
“Pelajari program kerjanya. Masalah Jakarta tidak bisa selesai hanya dengan senyum,” ujar Iberamsyah, Minggu (16/9/2012).
Lebih
lanjut, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) ini tidak menampik
jika pencitraan melalui kesan dekat dengan rakyat dan seakan-akan
terzalimi telah menjadi fenomena politik yang paling efektif untuk
‘membius’ warga. Meski idealnya hal itu tidak dilakukan.
“Pemimpin
itu harus apa adanya. Terlebih Jakarta sebagai ibukota dengan segala
problematikanya sangat membutuhkan pemimpin yang punya visi bukan hanya
berdurasi 5 tahun namun lebih dari itu. Sehingga pembangunan dapat
dilakukan secara berkesinambungan,” lanjut Iberamsyah.
Karenanya,
debat publik yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) DKI bisa menjadi
ukuran bagi warga untuk menentukan pilihannya pada saat pemungutan suara
nantinya. “Cermati segala pemikiran dan programnya. Jangan terbius
dengan sosok yang ditampilkan para kandidat,” tandasnya.
Hal ini
menjadi penting karena memimpin Jakarta ini diperlukan sebuah keberanian
bahkan kadang harus bertangan besi. Dinamika sosial dan kebijakan yang
terbagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, membuat Jakarta
memerlukan sosok pemimpin yang kuat.
Hal senada diungkapkan
Direktur Eksekutif Komite Pemantau dan Pemberdayaan Parlemen Indonesia
(KP3I) Tom Pasaribu, yang menyayangkan jika seorang kandidat seakan
memudahkan penanganan masalah Jakarta.
Dikataan Tom, dengan
kompleksitas problematikanya, ibukota tidak bisa disamakan dengan daerah
lain. Berbagai kepentingan terdapat di kota ini. Mulai kepentingan
pemerintah daerah, pemerintah pusat hingga dunia internasional.
“Semakin calon menggampangkan penyelesaian masalah kota ini. Maka semakin tidak masuk akal program kerjanya,” tambahnya. [ton]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar