JAKARTA - Penantian Prita Mulyasari selama tiga tahun berakhir sudah. Mahkamah Agung (MA) kemarin (17/9) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) perempuan yang dipidana karena menulis keluhan layanan di Rumah Sakit Omni Internasional itu. Dia dinyatakan bebas dari hukuman percobaan enam bulan penjara.
"PK yang diajukan Prita Mulyasari dikabulkan dan membebaskan terdakwa dari semua dakwaan," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur di Jakarta kemarin. Putusan tersebut diketok hakim agung Djoko Sarwoko sebagai hakim ketua, Surya Jaya, dan Suhadi sebagai hakim anggota. Dalam amar putusan, majelis hakim PK membatalkan putusan PN Tangerang dan kasasi MA.
Majelis hakim menyatakan bahwa perbuatan Prita bukan termasuk pencemaran nama baik. Karena itu, dia harus dibebaskan dari segala hukuman. "Dalam pertimbangan PK, majelis hakim menyatakan bahwa Prita tidak terbukti melakukan pencemaran nama baik," katanya.
Dengan demikian, putusan majelis hakim PK sudah sejalan dengan putusan kasasi perdata. Sebab, dalam putusan kasasinya, MA menyatakan bahwa Prita bersalah karena melakukan tindak pidana Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektrobik (UU ITE). Dia dihukum enam bulan penjara dengan masa percobaan satu tahun.
Padahal, hakim kasasi perdata menyatakan bahwa perbuatan Prita bukan pencemaran nama baik yang membuat dia tidak harus membayar ganti rugi. Nah, inkonsistensi hakim itulah yang diajukan Prita sebagai alat bukti baru alias novum. "Novum Prita diterima," kata Ridwan.
Prita Mulyasari menyambut baik putusan tersebut. Dia mengaku sempat kaget saat dikontak pengacaranya, Slamet Yuono. Dia bersyukur perkara yang membelit dirinya sejak 2009 silam akhirnya rampung. "Saya kira ada apa kok pengacara menghubungi saya. Ternyata kabar baik dan ini yang kita tunggu semua. Semoga ini yang terakhir," katanya.
Slamet yang dihubungi terpisah tak kalah gembira. Advokat dari kantor hukum O.C. Kaligis itu mengungkapkan bahwa putusan itu adalah yang ditunggu-tunggu banyak pihak. Memang, putusan kasasi MA yang menghukum enam bulan penjara dengan masa percobaan setahun tidak terlalu berat bagi Prita. Apalagi Prita juga tidak harus menghuni hotel prodeo.
Namun, Slamet khawatir itu akan menjadi pembenaran kasus-kasus yang sama di kemudian hari. Perusahaan bisa menggunakan putusan tersebut untuk memperkarakan pelanggan yang mengeluh di surat pembaca. "Kasus Prita adalah kasus kita semua karena semua orang bisa dipidana seperti Prita," kata pengacara lulusan Universitas Brawijaya, Malang, itu.
Karena menulis keluhannya terhadap pelayanan RS Omni Internasional melalui surat elektronik, Prita diperkarakan secara pidana dan perdata. Dalam kasus perdata dia diminta membayar ganti rugi Rp 204 juta. Saat menjalani proses hukum itu, dia sempat ditahan dan terpaksa meninggalkan dua anaknya yang masih balita. Kasus itu menarik perhatian publik karena Prita hanya konsumen biasa yang kebetulan komplain via surat elektronik. Dia juga dijerat pasal UU ITE yang baru diundangkan.
Simpati datang dari berbagai lapisan masyarakat. Mereka membantu Prita yang harus membayar ganti rugi dengan mengumpulkan koin yang terkumpul hingga Rp 825 juta. Pada 2009 Pengadilan Negeri Tangerang memvonis bebas Prita karena tidak terbukti mencemarkan nama baik. Saat itu, Prita dituntut pidana penjara selama enam bulan. Sementara untuk kasus perdatanya, MA memenangkan Prita dari RS Omni sehingga Prita bebas dari kewajiban membayar denda Rp 204 juta kepada RS Omni. (aga/nw)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar