Andi Saputra - detikNews
Jakarta -Independensi hakim selalu digaungkan sebagai dan
dituntut dalam negara hukum. Namun hal itu harus diiringi dengan
transaparansi maksimal kepada publik sebagai penyeimbang kemerdekaan
hakim.
"Sudah selayaknya prinsip independensi yang selama ini
disuarakan harus diimbangi secara kuat dengan prinsip akuntabilitas
sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Pada sebuah negara yang sehat,
akuntablitas dan transparansi seluruh lembaga publik mutlak dilakukan,"
kata juru bicara Komisi Yudisial (KY), Farid Wajdi kepada wartawan,
Jumat (11/3/2016).
Hari Kehakiman Nasional jatuh pada 1 Maret
tiap tahunnya. Di bulan Maret, pergerakan hakim menggelora yang mencapai
momentumnya pada tahun 2012 dengan lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor
94/2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim. Momen itu merupakan
tonggak sejarah pengakuan negara untuk lebih memanusiakan profesi
hakim.
"Namun sebagaimana kekuatan besar mendatangkan pula tanggung jawab yang
besar. Maka apapun kekhususan yang mengatur tentang hakim harus
dipandang tidak semata-mata sebagai hak, tetapi juga perlakuan dan
kewajiban yang dibebankan sebagai konsekuensi dari perlakuan khusus
tersebut," papar Farid.
Prinsip utama yang harus dikedepankan
adalah akuntabilitas peradilan yang menjadikan hakim sebagai pemeran
utamanya. Karena akuntabilitas berkaitan erat dengan pengembalian
kepercayaan publik kepada institusi peradilan. Dengan akuntabilitas maka
akan terbentuk trust/kepercayaan publik kepada negara.
"Cara
untuk terlaksananya akuntabilitas tersebut melalui mekanisme kontrol.
Oleh karena itu fungsi kontrol atau peran pengawasan harus diartikan
secara positif, yaitu dalam rangka mengembalikan 'trust' publik bukan untuk tujuan merusak," papar komisioner KY tersebut.
Melalui
selebrasi peringatan Hari Kehakiman Nasional ini, lanjut Farid, semoga
semakin disadari bahwa akuntabilitas yang sebenar-benar ya akan menjadi
modal untuk mengembalikan kepercayaan publik kepada dunia peradilan.
Hakim bertanggungjawab sepenuhnya kepada publik melalui putusannya,
kepada publik juga ia mempertanggung jawabkan kinerjanya.
"Sehingga partisipasi publik dalam mengelola hakimnya menjadi sebuah
keniscayaan. Sebab bagaimana pun hakim Indonesia milik masyarakat
Indonesia," cetus Farid.
Dalam catatan detikcom, bulan Maret juga
menjadi perjuangan para hakim pada tahun 1951. Kala itu Ketua
Pengadilan Negeri (PN) Malang Soebijono menentang perlakuan eksekutif
yang memposisikan hakim sebagai warga kelas dua. Gagasan ini melahirkan
Ikatan Hakim Ind0nesia (Ikahi) dengan bentuk perjuangan seperti meminta
gaji yang layak hingga protokoler yang setara sebagai pejabat negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar