BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 23 Desember 2011

2013, Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRD

VIVAnews - Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermasnyah Djohan, mengatakan, jika tak ada aral melintang tahun 2013, gubernur dan bupati/ walikota akan dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sementara wakilnya akan dipilih sendiri oleh kandidat terpilih melalui persetujuan pusat, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri.
"RUU Pemerintahan Daerah yang baru sudah di tangan Presiden. Segera akan diajukan ke DPR. Tahun depan segera dibahas, dan kalau prosesnya lancar, 2013 bisa diterapkan," kata Djohan, di Hotel Aston, Denpasar, Bali, Rabu 30 November 2011.
Menurut Djohan, ada 22 isu krusial yang menjadi pembahasan penting dalam RUU Pemda yang hendak diperbaiki. Di antaranya, sambung Djohan, pemekaran daerah. Hal itu terkait desain besar penataan daerah yang baik. Selanjutnya soal Pilkada. Hal yang disoroti adalah pecah kongsi antara kepala daerah dan wakil kepala daerah. "Kebanyakan pecah kongsi. Yang awet di Indonesia hanya 9 persen saja. Kalau seperti itu sangat bahaya, penyelenggaraan pemerintah pasti terganggu," katanya.
Berikutnya, kata dia, soal kepegawaian. Hal ini penting dibahas agar para PNS tidak ditarik ke Pilkada. Juga soal desain agar gubernur tak lagi dipilih langsung. Alasannya, selain biayanya mahal, juga marak politik uang. Di Pilkada Jawa Timur, biaya yang harus dikeluarkan mencapai Rp970 miliar.
"Maka usulannya pemilihan lewat DPRD. Selain itu juga DPRD harus buka ruang komunikasi. Keterlibatan rakyat dalam penyusunan perda penting. DPRD wajib membuka ruang konsultasi publik dalam penyusunan perda," kata Djohan.
Soal gubernur tak lagi dipilih langsung, kata Djohan, lantaran mengacu pada konstitusi. Dalam konstitusi, imbuhnya, tak ada perintah agar gubernur dipilih secara langsung. "Melainkan, gubernur dipilih secara demokratis. Untuk wakil gubernur nantinya harus dari kalangan PNS," ucapnya.
Djohan tak menampik jika gagasan itu kembali meniru sistem yang diterapkan Orde Baru. Pasalnya, kata dia, gubernur butuh legitimasi kuat. "24 persen kinerja gubernur di daerah, sisanya, 76 persen, sebagai perwakilan pemerintah pusat di daerah," urainya.
Jika ditimang, menurut Djohan, Pilkada langsung lebih banyak mudaratnya, ketimbang manfaatnya. "Itu pendidikan politik yang buruk bagi rakyat. Tidak sesuai dengan spirit awal otonomi daerah," katanya. (Laporan Bobby Andalan, Bali)

Tidak ada komentar: