BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 06 Juli 2012

Ani Soetjipto : Perempuan Agen Antikorupsi

 Situs ICW
( Artikel ini dimuat disitus ICW beberapa bulan yang lalu, namun demikian nampaknya masih enak untuk dibaca dan dapat dijadikan filter untuk mencegah bertambahnya koruptor)

Perempuan kuat bisa menjadi filter tindakan koruptif di lingkungan keluarga. Dengan kewenangan yang dimiliki sebagai îpenguasa rumahî perempuan dapat meneliti dari mana saja sumber keuangan keluarga dan mencegah "uang panas" masuk dapur.

Lebih dari itu, perempuan punya peran lebih besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan semakin terbukanya akses bagi perempuan untuk lebih terlibat dalam kerja-kerja di ranah publik, perempuan berkesempatan menjadi agen pengkampanye semangat antikorupsi di komunitasnya. îHal pertama yang harus dilakukan adalah perubahan pola pikir. Perempuan harus paham haknya,î ujar dosen Politik dan Kajian Jender Universitas Indonesia, Ani Soetjipto, saat ditemui di kantornya, Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis (21/4/2011).


Berikut petikan wawancara Ani Soetjipto dengan Farodlilah Muqoddam;

Perempuan sebagai filter korupsi di keluarga, cukup efektifkah? Atau perlu tindakan yang lebih progresif?

Dari perspektif perempuan di ranah domestik, peran perempuan sebagai filter itu memang bisa dilakukan. Tapi kalau kita melihat dari perspektif gender dan gerakan antikorupsi, peran perempuan bukan hanya sebatas pencegahan tindakan korupsi di level mikro keluarganya, akan tetapi juga bisa berperan di komunitas dan lingkup kerjanya.
Perempuan digambarkan punya tiga ruang; domestik, produksi dan komunitas. Di setiap ruang itu perempuan bisa berperan. Di lingkungan kerja, perempuan bisa menjadi agen untuk pencegahan sekaligus suporter bagi gerakan antikorupsi. Misalnya, perempuan bisa mulai dengan mengkampanyekan gagasan transparansi. Slip gaji, harus dipertanyakan apa saja itemnya, apa aja potongannya. Biasanya kan kita tidak terlalu detail, tidak memeriksa bon-bon apa saja, langsung diterima begitu saja via transfer rekening di bank. Nah, kita harus mulai periksa sekarang, apakah potongannya layak, agar jelas transparansi dan akuntabilitasnya. Perempuan bisa berpartisipasi bukan hanya di lingkup keluarga mengurusi gaji suaminya, tapi juga di lingkungan kerja dan komunitasnya, berperan aktif.

Di lingkup komunitas?

Gagasan aktikorupsi bisa menjadi bagian integral yang bisa dimainkan oleh perempuan ketika dia berkiprah di komunitas yang dia ikuti. Misalnya di pengajian, ustadnya bilang, îBu, kalau mau amal, tangan kiri jangan sampai tahu. Jangan sampai dicatat, itu kan ikhlasî.

Nah perempuan harus mengkritisi itu. Beramal tanpa dicatat, berarti tidak ada transparansi, nanti itu buat apa, kemana penggunaannya. Gagasan tentang transparansi ini harus dikampanyekan di segala lingkup.

Dari pengalaman ICW, kaum perempuan, terutama kalangan ekonomi lemah, cenderung resisten terhadap gerakan antikorupsi. Mereka menganggap ide itu terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari...

Memang ada gap, kesenjangan pemahaman. Hal itu pula yang ditemui teman-teman yang mempromosikan hak-hak keadilan jender. Contoh di buku saya, perempuan bisa nyambung ketika diajak bicara soal pendidikan, kesehatan, lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ketika diajak bicara soal politik, langsung nge-blank, karena dianggap politik hanya soal DPR, MPR, terlalu jauh. Padahal, personal is political. Pendidikan, kesehatan, bukan hanya urusan privat di rumah tangga. Tingginya biaya pendidikan itu bukan cuma soal ketidakmampuan orangtua menyediakan anggaran pendidikan untuk anak-anaknya.

Gerakan antikorupi belum bisa menyambungkan yang personal itu kepada yang politis. Gerakan antikoruspi kan politis, tapi kemudian yang dibahas adalah bagaimana menyambungkan itu dalam kehidupan nyata ibu-ibu di kalangan bawah.

Bagaimana strateginya?

Ibu-ibu ini harus diberi contoh nyata. Tiap hari dia berhadapan dengan sogokan, beli KTP nyogok, sekolah nyogok, urus sertifikat tanah nyogok, fakta sehari-hari mereka digempur dengan tindakan koruptif. Akhirnya, orang-orang di bawah ini berpikir praktik-praktik itu wajar. Mereka mau bayar biar urusan gampang, enggak ribet. Mereka punya pemahaman yang keliru tentang korupsi.

Advokasi antikorupsi bukan hanya advokasi di DPR, tapi haruslah menyentuh hingga ke akar rumput, melibatkan masyarakat. Kalau gerakan antikorupsi itu berperang sendirian, hanya oleh LSM, tidak banyak yang bisa dilakukan. Tapi kalau dilaksanakan bersekutu dengan masyarakat sipil di bawah, kekuatannya akan semakin besar.

Sekarang ini kan UU-nya sudah dibuat, tapi budayanya belum. Kadang-kadang praktik-praktik itu dilanggengkan oleh budaya masyarakat sendiri, agama, tradisi atau kebiasaan. Salam tempel, misalnya, masih sering berlaku. Kita sudah bisa menerobos di bagian atasnya, tapi bagian bawah itu yang sulit diubah.

Cara menggandeng masyarakat di bawah?
Kerjasama dengan gerakan perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat, buruh, perempuan, siapa saja yang main di akar rumput. Jadi ini kerja bersama.
Lantas, bagaimana mengintegrasikan gagasan antikorupsi dengan gerakan perempuan?

Kita punya tujuan yang sama, berjuang untuk transparansi, akuntabilitas, merebut resources, keadilan, berpihak kepada HAM. Kerangka besarnya itu, tapi bagaimana mengintregrasikan kepada gerakan.

Gerakan perempuan itu tidak tunggal. Kita kan sangat majemuk, dari sisi organisasi saja beragam; bukan hanya LSM, organisasi keagamaan seperti Fatayat atau Aisyiyah, bukan cuma organisasi sayap partai, ada banyak organisasi profesi, juga PKK, Dharma Wanita.

Tujuannya beragam, agendanya beragam, strateginya bagaimana? Pertama, kita harus mendefinisikan masalah. Kita memetakan itu, untuk mencari dimana letak perpotongannya, misal, pengelolaan anggaran pendidikan, harus transparan dan berkeadilan jender.

Selain perpotongan di isu?

Ada lagi perpotongan gerakan antikorupsi dan gerakan perempuan, bukan main di isu tapi dari strategi gerakan, ada engagement, konfrontatif, atau bisa reclaiming. Kadang-kadang galak, tergantung dengan organisasi yang mana kita bekerjasama. Misalnya kerja dengan PKK, tidak bisa dengan pendekatan konfrontatif, tapi jika kerja dengan LSM, ya, memang itu cara kerja mereka.


Keahlian yang harus dipelajari adalah membaca peta; peta aktor, peta politik. Penting dopelajari kapan kita harus nembak, kapan harus defense, kapan bertahan, bukan dalam kondisi yang stagnan. kelemahan gerakan antikorupsi adalah pemetaan politik itu lemah. seolah-olah sama, padahal konstelasi itu berubah dengan sangat cepat dan tidak bisa strategi bisa dilakukan secara terus-menerus. Negara itu kan bermain, berelasi antara citizen dan pemerintah

Tidak ada komentar: