Situs ICW
( Artikel ini dimuat disitus ICW beberapa bulan yang lalu, namun demikian nampaknya masih enak untuk dibaca dan dapat dijadikan filter untuk mencegah bertambahnya koruptor)
Perempuan kuat bisa menjadi filter tindakan koruptif di lingkungan
keluarga. Dengan kewenangan yang dimiliki sebagai îpenguasa rumahî
perempuan dapat meneliti dari mana saja sumber keuangan keluarga dan
mencegah "uang panas" masuk dapur.
Lebih dari itu, perempuan
punya peran lebih besar dalam upaya pemberantasan korupsi. Dengan
semakin terbukanya akses bagi perempuan untuk lebih terlibat dalam
kerja-kerja di ranah publik, perempuan berkesempatan menjadi agen
pengkampanye semangat antikorupsi di komunitasnya. îHal pertama yang
harus dilakukan adalah perubahan pola pikir. Perempuan harus paham
haknya,î ujar dosen Politik dan Kajian Jender Universitas Indonesia, Ani
Soetjipto, saat ditemui di kantornya, Kampus UI Salemba, Jakarta, Kamis
(21/4/2011).
Berikut petikan wawancara Ani Soetjipto dengan Farodlilah Muqoddam;
Perempuan sebagai filter korupsi di keluarga, cukup efektifkah? Atau perlu tindakan yang lebih progresif?
Dari
perspektif perempuan di ranah domestik, peran perempuan sebagai filter
itu memang bisa dilakukan. Tapi kalau kita melihat dari perspektif
gender dan gerakan antikorupsi, peran perempuan bukan hanya sebatas
pencegahan tindakan korupsi di level mikro keluarganya, akan tetapi juga
bisa berperan di komunitas dan lingkup kerjanya.
Perempuan digambarkan punya tiga ruang; domestik, produksi dan
komunitas. Di setiap ruang itu perempuan bisa berperan. Di lingkungan
kerja, perempuan bisa menjadi agen untuk pencegahan sekaligus suporter
bagi gerakan antikorupsi. Misalnya, perempuan bisa mulai dengan
mengkampanyekan gagasan transparansi. Slip gaji, harus dipertanyakan apa
saja itemnya, apa aja potongannya. Biasanya kan kita tidak terlalu
detail, tidak memeriksa bon-bon apa saja, langsung diterima begitu saja
via transfer rekening di bank. Nah, kita harus mulai periksa sekarang,
apakah potongannya layak, agar jelas transparansi dan akuntabilitasnya.
Perempuan bisa berpartisipasi bukan hanya di lingkup keluarga mengurusi
gaji suaminya, tapi juga di lingkungan kerja dan komunitasnya, berperan
aktif.
Di lingkup komunitas?
Gagasan
aktikorupsi bisa menjadi bagian integral yang bisa dimainkan oleh
perempuan ketika dia berkiprah di komunitas yang dia ikuti. Misalnya di
pengajian, ustadnya bilang, îBu, kalau mau amal, tangan kiri jangan
sampai tahu. Jangan sampai dicatat, itu kan ikhlasî.
Nah
perempuan harus mengkritisi itu. Beramal tanpa dicatat, berarti tidak
ada transparansi, nanti itu buat apa, kemana penggunaannya. Gagasan
tentang transparansi ini harus dikampanyekan di segala lingkup.
Dari pengalaman ICW, kaum perempuan, terutama kalangan ekonomi lemah,
cenderung resisten terhadap gerakan antikorupsi. Mereka menganggap ide
itu terlalu jauh dari kehidupan sehari-hari...
Memang ada gap,
kesenjangan pemahaman. Hal itu pula yang ditemui teman-teman yang
mempromosikan hak-hak keadilan jender. Contoh di buku saya, perempuan
bisa nyambung ketika diajak bicara soal pendidikan, kesehatan,
lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Tapi ketika diajak bicara soal
politik, langsung nge-blank, karena dianggap politik hanya soal DPR,
MPR, terlalu jauh. Padahal, personal is political. Pendidikan,
kesehatan, bukan hanya urusan privat di rumah tangga. Tingginya biaya
pendidikan itu bukan cuma soal ketidakmampuan orangtua menyediakan
anggaran pendidikan untuk anak-anaknya.
Gerakan antikorupi belum
bisa menyambungkan yang personal itu kepada yang politis. Gerakan
antikoruspi kan politis, tapi kemudian yang dibahas adalah bagaimana
menyambungkan itu dalam kehidupan nyata ibu-ibu di kalangan bawah.
Bagaimana strateginya?
Ibu-ibu ini harus diberi contoh nyata. Tiap hari dia berhadapan dengan
sogokan, beli KTP nyogok, sekolah nyogok, urus sertifikat tanah nyogok,
fakta sehari-hari mereka digempur dengan tindakan koruptif. Akhirnya,
orang-orang di bawah ini berpikir praktik-praktik itu wajar. Mereka mau
bayar biar urusan gampang, enggak ribet. Mereka punya pemahaman yang
keliru tentang korupsi.
Advokasi antikorupsi bukan hanya
advokasi di DPR, tapi haruslah menyentuh hingga ke akar rumput,
melibatkan masyarakat. Kalau gerakan antikorupsi itu berperang
sendirian, hanya oleh LSM, tidak banyak yang bisa dilakukan. Tapi kalau
dilaksanakan bersekutu dengan masyarakat sipil di bawah, kekuatannya
akan semakin besar.
Sekarang ini kan UU-nya sudah dibuat, tapi
budayanya belum. Kadang-kadang praktik-praktik itu dilanggengkan oleh
budaya masyarakat sendiri, agama, tradisi atau kebiasaan. Salam tempel,
misalnya, masih sering berlaku. Kita sudah bisa menerobos di bagian
atasnya, tapi bagian bawah itu yang sulit diubah.
Cara menggandeng masyarakat di bawah?
Kerjasama dengan gerakan perempuan, tokoh agama, tokoh masyarakat,
buruh, perempuan, siapa saja yang main di akar rumput. Jadi ini kerja
bersama.
Lantas, bagaimana mengintegrasikan gagasan antikorupsi dengan gerakan perempuan?
Kita punya tujuan yang sama, berjuang untuk transparansi,
akuntabilitas, merebut resources, keadilan, berpihak kepada HAM.
Kerangka besarnya itu, tapi bagaimana mengintregrasikan kepada gerakan.
Gerakan perempuan itu tidak tunggal. Kita kan sangat majemuk, dari sisi
organisasi saja beragam; bukan hanya LSM, organisasi keagamaan seperti
Fatayat atau Aisyiyah, bukan cuma organisasi sayap partai, ada banyak
organisasi profesi, juga PKK, Dharma Wanita.
Tujuannya beragam,
agendanya beragam, strateginya bagaimana? Pertama, kita harus
mendefinisikan masalah. Kita memetakan itu, untuk mencari dimana letak
perpotongannya, misal, pengelolaan anggaran pendidikan, harus transparan
dan berkeadilan jender.
Selain perpotongan di isu?
Ada lagi perpotongan gerakan antikorupsi dan gerakan perempuan, bukan
main di isu tapi dari strategi gerakan, ada engagement, konfrontatif,
atau bisa reclaiming. Kadang-kadang galak, tergantung dengan organisasi
yang mana kita bekerjasama. Misalnya kerja dengan PKK, tidak bisa dengan
pendekatan konfrontatif, tapi jika kerja dengan LSM, ya, memang itu
cara kerja mereka.
Keahlian yang harus dipelajari adalah
membaca peta; peta aktor, peta politik. Penting dopelajari kapan kita
harus nembak, kapan harus defense, kapan bertahan, bukan dalam kondisi
yang stagnan. kelemahan gerakan antikorupsi adalah pemetaan politik itu
lemah. seolah-olah sama, padahal konstelasi itu berubah dengan sangat
cepat dan tidak bisa strategi bisa dilakukan secara terus-menerus.
Negara itu kan bermain, berelasi antara citizen dan pemerintah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar