BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 04 Juli 2012

Biaya PSB Boros di Uang Seragam

JAKARTA - Masa penerimaan siswa baru (PSB) terus diwarnai keluhan dari masyarakat. Diantara yang paling ramai adalah soal biaya yang dikeluarkan wali murid untuk menyekolahkan anaknya. Diantara pos anggaran yang menyedot biaya tinggi adalah urusan seragam.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menerima laporan dari masyarakat jika ada pihak sekolah yang menarik uang seragam hingga Rp 800 ribu per siswa. Di tempat lain, diduga tarikan serupa juga terjadi dan dengan nominal yang lebih tinggi.

Masyarakat mengeluh karena pihak sekolah mewajibkan calon siswanya untuk membeli seragam atau kain ke sekolah. Padahal di pasar banyak jenis seragam dan kain yang dijual dengan harga yang lebih murah.

Menanggapi tarikan biaya seragam ini, Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan jika biaya seragam itu adalah urusan personal. Artinya, uang digunakan untuk kebutuhan masing-masing siswa. "Contoh kebutuhan persoalan lainnya adalah tas, sepatu, dan alat tulis," katanya.

Karena masuk kategori biaya personal, Nuh mengatakan pihak sekolah seharusnya tidak terlalu membebankan biaya seragam. Pihak sekolah juga diharapkan memberikan kebebasan kepada wali murid untuk membeli seragam atau kain ke tempat lain. Termasuk di pasar-pasar umum.

Namun dalam prakteknya banyak sekolah yang memiliki seragam khas atau almamater. Seragam ini tidak bisa dibeli di tempat umum, karena ada sablonan nama sekolahan. Di sinilah pihak sekolah dinilai memiliki angin cerah untuk memungut uang seragam kepada wali murid.

Menurut Nuh, seragam khas atau almamater ini tidak harus membeli baru untuk masyarakat yang tidak mampu. "Bisa dengan memakai seragam bekas kakaknya atau saudara lainnya yang kebetulan satu sekolah," kata dia. Sementara untuk seragam umum seperti putih-merah, putih-biru, putih-abu-abu, dan pramuka bisa membeli di pasar-pasar.

Selain itu, Kemendikbud juga berharap pihak sekolah tidak membuat seragam almamater yang banyak. Cukup satu set seragam almamater saja. Ditambah dengan satu set seragam almamateri khusus untuk olah raga. "Dengan cara ini, wali murid tidak terlalu terbebani dengan urusan uang seragam," ujar mantan Menkominfo itu.

Selanjutnya, Nuh juga meminta kepada sekolah untuk tidak mencari laba dengan adanya program pengadaan seragam bagi siswa baru. Dia meminta harga jual yang dipatok kepada wali murid harus sama dengan biaya pembuatannya. Menurutnya, sangat tidak etis jika sekolah sudah memiliki misi mengeruk laba dengan adanya proyek seragam sekolah.

Dia mengatakan, masyarakat bisa melapor ke Kemendikbud jika harga seragam yang dipatok cukup janggal. Terutama jika dibandingkan dengan harga jual pasaran. Laporan ini penting, mengingat saat ini Kemendikbud sedang membuat penelitian tentang biaya PSB di seluruh Indonesia.

Di samping urusan seragam, Nuh juga memaparkan laporan tentang kuota siswa miskin di sekolah berlabel RSBI (Rintisan Sekolah Berstandar Internasional). Dia mengatakan jika ada laporan bahwa kuota 20 persen pagu sekolah RSBI untuk masyarakat miskin berprestasi sulit dipenuhi. Kondisi ini wajar, karena secara nasional rata-rata jumlah penduduk miskin sekitar 12 persen saja.

"Sekarang misalnya ada RSBI yang berdiri di lingkungan masyarakat mampu semuanya, tentu sulit mencari yang tidak mampu," kata dia. Untuk mengatasi, Nuh mengusulkan supaya pengelola sekolah RSBI tidak hanya fokus mencari siswa dari keluarga miskin.

Jika tidak ada siswa dari keluarga miskin, Nuh menginstruksikan supaya sekolah menjari masyarkat dair golongan hampir miskin. "Jangan karena tidak dapat siswa miskin, lantas cari siswa dari keluarga super kaya. Ini tidak fair," tandas Nuh. Dia mengatakan, dengan sistem ini semangat mengalokasikan 20 persen kuota RSBI untuk siswa miskin tidak menguap. (wan)

Tidak ada komentar: