BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Kamis, 12 Juli 2012

KY Rekomendasikan MA Adili Seorang Ketua PN

RMOL. Setelah menjatuhkan vonis kepada hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar Putu Suika dan hakim PN Sleman Anton Budi Santoso, Komisi Yudisial merekomendasikan agar Mahkamah Agung mengagendakan sidang Majelis Kehormatan Hakim untuk Ketua PN Denpasar. KY pun meminta sanksi terhadap 12 hakim lainnya segera diputus MA.
“Lebih cepat lebih baik,” kata Ketua Sidang Majelis Ke­hor­ma­tan Hakim (MKH), Suparman Mar­zuki saat ditemui seusai si­dang MKH di Gedung MA, Ja­karta, Selasa (10/7).
Menurut Suparman, pasca vo­nis kepada Putu Suika dan Anton Budi Santoso,  KY  ber­ke­pen­ti­ngan untuk mengetahui pela­k­sa­na­an rekomendasi terkait 12 ha­kim lainnya. Soalnya, hal itu ba­kal men­jadi pijakan KY dalam me­na­ngani laporan serta kasus lainnya.
Kendati begitu, Suparman ma­sih menolak menyebutkan iden­titas 12 hakim itu berikut dugaan pelanggarannya. Soalnya, sampai saat ini belum ada kepastian hu­kum yang mengikat. “Kami be­lum bisa menyampaikan re­ko­men­dasi KY kepada MA menge­nai 12 hakim yang melakukan pe­langgaran ringan dan pelang­ga­ran sedang. Itu masih jadi ke­we­nangan MA,” ujarnya.
Kata Suparman, yang paling pen­ting sekarang, realisasi atas rekomendasi sanksi hukuman berat pada hakim Putu Suika dan Anton Budi Santoso sudah men­dapat respon positif dari MA.
Dari situ, dia berharap, pe­na­nga­nan kasus-kasus hakim nakal ke depan lebih  diintensifkan. Se­lain itu, dia berharap, efek pem­be­rian sanksi oleh MKH dija­di­kan masukkan dan pedoman ha­kim da­lam menjalankan profesinya.
Juru Bicara Mahkamah Agung Djoko Sarwoko menyatakan, MA sudah membahas sanksi untuk 12 hakim tersebut. Akan tetapi, dia belum bisa menyampaikan sanksi itu secara spesifik. “Sudah ada pembahasan mengenai hal itu, tapi belum final,” ucapnya.
Sebagaimana diketahui, sanksi ringan sampai tingkat sedang ter­hadap 12 hakim yang di­re­ko­mendasikan KY, disampaikan bersamaan dengan rekomendasi sanksi berat terhadap  hakim PN Denpasar Putu Suika dan hakim PN Sleman Anton Budi Santoso. Da­lam putusannya, MKH me­nya­takan, Putu terbukti bersalah. Dia divonis dipecat dari jabatan hakim secara tidak hormat.
Menurut Majelis, Putu me­langgar kode etik hakim karena berkomunikasi dengan pihak ber­perkara di luar sidang, ber­pe­ri­laku tidak jujur, menerima hibah dan  hadiah dari pihak berperkara.
Suparman menyebut,  pert­e­mu­an dengan pihak berperkara tak ha­­nya dilakukan di ruang ker­ja atau kantor. Pertemuan juga ber­lanjut sampai tempat hiburan ka­rao­ke. “Sempat ka­raoke tiga kali de­ngan pihak ber­perkara,” tegasnya.
Tapi, Putu meminta MKH juga menyidangkan bekas atasannya, Ketua PN Denpasar. Sebab, me­nurut Putu, tindakannya se­pe­nge­tahuan serta atas perintah ata­san­nya. Putu menambahkan, ka­raoke bersama pihak berperkara itu dilakukan setelah perkara yang ditangani putus. “Mengapa saya dikorbankan. Dulu saya mengikuti perintah beliau, karena beliau pimpinan,” tandasnya.
Putu mengungkapkan, Ketua PN pernah memintanya me­me­nang­kan salah satu pihak ber­per­kara. Untuk kepentingan tersebut, dia mengaku pernah dipanggil tiga kali oleh atasannya itu. At­a­sannya, meminta Putu membantu tergugat.
Anehnya, lanjut Putu, setelah perkara putus, dia sama sekali ti­dak diberi job menangani per­kara. Ia juga tak pernah dilibatkan dalam menentukan berbagai ke­bijakan di lingkungan penga­di­lan. Padahal sebelumnya, selaku hakim senior, dia selalu dimintai pertimbangan.
Menanggapi hal itu, Suparman menyatakan, MKH sudah mere­ko­mendasikan pemeriksaan ter­hadap atasan Putu itu. Dia meng­infor­masikan, posisi atasan Putu dalam kasus ini juga sebagai ter­lapor. Untuk keperluan meng­gelar si­dang MKH lanjutan, KY sudah me­minta keterangan yang bersangkutan.
“KY sudah mengklarifikasi dan merekomendasikan sidang MKH lanjutan untuk Ketua PN Denpasar. Dalam perkara ini ada dua perkara, Ketua PN juga di­laporkan,” terangnya. Tapi, Djo­ko Sarwoko mengaku belum tahu kapan sidang MKH terhadap be­kas atasan Putu digelar MA. “Nan­­ti saya cek dulu,” katanya.
Dia menambahkan, upaya mem­peroleh keterangan dari bekas ata­san Putu perlu dilakukan se­ce­patnya. Hal itu penting agar ke­terangan Putu bisa diper­tang­gung­jawabkan.
REKA ULANG
Putu Dipecat, Anton Dinonpalukan
Hakim Putu Suika, lahir di Karangasem, Bali, 11 November 1948.  Putu tercatat menye­le­sai­kan pendidikan di Fakultas Hu­kum Universitas Brawijaya Ma­lang, Jawa Timur. Lalu, dia me­ngikuti seleksi PNS hakim.
Karier hakimnya dimulai saat menjadi calon hakim di Penga­di­lan Negeri (PN) Sumber, Ci­re­bon, dan diangkat menjadi hakim pertama kali di PN Ketapang. Se­telah itu, kariernya berlanjut men­jadi hakim di PN Klungkung, Wakil Ketua PN Bojonegoro, Ke­tua PN Ngawi dan Wakil Ke­tua PN Pati. Dia sempat menjadi Wa­kil Ketua PN Palangkaraya dan hakim PN Mataram, hingga ak­hirnya bertugas sebagai hakim di PN Denpasar.
Di balik cerita miring yang di­alamatkan kepadanya, sehingga ia diberi sanksi pemecatan, Putu pernah menghukum Warga Ne­gara Selandia Baru, Angus Mc Caskill (57) karena memiliki 3,58 gram kokain selama tujuh tahun. Lama hukuman yang dijatuhkan pada 31 Januari 2011 ini, sesuai tuntutan jaksa.
Putu juga pernah menjatuhkan hu­kuman 10 tahun penjara ke­pa­da Abdurrahman alias Abdu (21), terdakwa pembunuh warga ne­gara Jepang Hiromi Shimada (41). Adapun pelaku utama, Ma­wardi, dihukum 20 tahun penjara.
Sementara itu, hakim Penga­di­lan Negeri Sleman Anton Budi Santoso disidang Majelis Kehor­matan Hakim (MKH) lantaran dilaporkan seseorang yang ber­per­kara, Linus M.E Roymond Ren­warin. Anton yang sudah ber­tugas selama 16 tahun ini, diduga meminta uang sebanyak Rp 50 juta ketika mengurus kasus per­data tentang wanprestasi per­jan­jian investasi dengan nomor per­kara 113/p.pdt/2010/pn.sleman. Kepada MKH, Anton mengakui pernah bertemu kuasa hukum ter­gugat, Budi Wijaya, saat masih proses persidangan.
Berbeda dengan Putu, pada si­dang MKH dengan agenda meng­klarifikasi dugaan pe­nye­le­we­ngan, hakim PN Sleman, Yog­ya­kar­ta ini justru mengakui per­bua­tan­­nya.  Dengan lugas, dia me­nya­­takan, ke­rap bertemu pihak ber­perkara.
“Saya mohon maaf, memohon ke­­pada Majelis Ke­hor­matan Ha­kim untuk menjatuhkan vonis se­ri­ngan-ringannya, karena saya ma­sih mempunyai tang­gu­ngan ke­luarga dan dengan ha­rapan saya ma­sih diberi kesem­patan untuk mem­­per­baiki diri. Saya khilaf,” katanya.
Karena pengakuan yang tidak berbelit-belit itu, Anton hanya di­jatuhi vonis mutasi ke PN Sema­rang oleh MKH. “Anton juga di-non palu selama dua tahun,” kata Ketua MKH Suparman Marzuki. MKH pun sepakat memotong tunjangan remunerasi Anton se­besar 100 persen.
Sekadar mengingatkan, sesuai Undang Undang Komisi Yudisial, MKH digawangi tujuh orang, yang terdiri dari empat unsur KY dan tiga unsur MA. Empat unsur KY itu adalah Suparman Marzuki (Ketua MKH), Jaja Ahmad Jayus, Taufiqurahman Syahuri dan Ibra­him. Sedangkan unsur MA yakni I Made Tara, Imam Soebechi dan Zaharuddin Utama.
Hakim Nakal Harusnya Jera
Deding Ishak, Anggota Komisi III DPR
 Anggota Komisi III DPR De­ding Ishak meminta pe­lak­sa­na­an sidang Majelis Kehor­ma­tan Hakim (MKH) dilakukan secara profesional dan pro­por­si­onal. Sebab, hal itu me­nun­juk­kan  komitmen lembaga pe­radilan untuk mengubah hal ne­gatif yang mewarnai lembaga ter­sebut. “Sidang MKH ini me­nunjukkan bahwa komitmen reformasi peradilan berjalan,” katanya.
Selain itu, anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar ini ber­ha­rap, pelaksanaan sidang MKH mampu membangkitkan efek jera kepada para hakim. Seh­ing­ga, para hakim takut untuk me­lakukan penyelewengan.
Kemudian, ketegasan Maje­lis Kehormatan Hakim me­nu­n­juk­kan peran dan fungsi Komisi Yudisial (KY) serta MA dalam me­lakukan pengawasan terha­dap para hakim, berjalan se­mes­tinya. Eksistensi kedua lembaga itu dalam menindaklanjuti adu­an masyarakat yang berpotensi pada penyimpangan meka­nis­me dan tata peradilan, juga terlihat.
Dengan asumsi demikian, maka masyarakat menjadi per­caya bahwa upaya pencarian ke­adilan itu mendapat penga­walan dari berbagai lini. Hal itu penting ditumbuhkan di tengah me­ningkatnya sikap antipati ter­hadap proses penegakan hu­kum. Minimal, sambungnya, lembaga kehakiman di sini me­nunjukkan keseriusan untuk membenahi diri. Hal itu, me­ru­pa­kan awal yang baik. “Perlu di­ikuti lembaga penegak hukun lainnya,” katanya.
Tapi, dia mewanti-wanti, me­ka­nisme pengambilan ke­pu­tu­san lewat MKH mesti mengan­dung unsur obyektivitas tinggi. Soalnya, selain ada unsur dari MA, terdapat unsur luar yakni KY. Setidaknya, keterlibatan KY dalam proses pengambilan ke­putusan, menjadikan sebuah pro­ses penindakan lebih ber­warna alias variatif. Dengan be­gitu, pesimisme masyarakat bah­wa penindakan hakim masih berat sebelah, nantinya bisa di­minimalisir.
Bukan Cuma Urusan KY Dan MA
Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator Gerak Indonesia
Koordinator LSM Gera­kan Rakyat Anti Korupsi (Ge­rak) Indonesia Akhiruddin Mah­juddin menyatakan, hakim idealnya bebas dari segala ke­pentingan. Dengan begitu, kua­litas putusan yang diambilnya ter­ukur alias mencerminkan azas keadilan.
Dia menilai, masih tingginya angka pelaporan terhadap ha­kim menunjukkan, ada suatu yang salah dalam dunia pera­di­lan kita. Untuk itu, diperlukan upaya intensif untuk me­nang­gu­langi masalah tersebut. “Bu­kan MA dan KY saja yang ha­rus turun ta­ngan. Semua ko­m­ponen hen­dak­nya ambil bagian dalam me­ngon­trol hakim agar segala tin­da­kan­nya pro­fe­sio­nal,” tandasnya.
Akhiruddin menambahkan, pelaporan dugaan pelanggaran etika dan profesi hakim ke Ko­misi Yudisial hendaknya selalu disikapi Mahkamah Agung se­cara bijaksana. Dari situ, MA se­bagai induk organisasi hakim, dapat menentukan langkah-lang­kah strategis dalam me­ning­­­kat­kan profesionalitas hakim.
Maka, sambung dia, inten­sitas koordinasi antara KY dan MA hendaknya tidak sebatas ketika ada laporan dari masya­rakat. Atau menjelang dige­lar­nya proses sidang MKH. Me­lain­kan, senantiasa berjalan ber­iringan dalam upaya me­nga­wasi, menindak dan mengontrol profesionalisme hakim-hakim.
Dia menggemukakan, ben­tuk-bentuk penyimpangan kode etik dan profesi hakim tidak se­mata diperoleh lewat laporan ma­syarakat saja. Kualitas putu­san atau vonis yang diambil ha­kim pada persidangan suatu ka­sus, juga bisa menjadi indikator dalam mengkategorikan tingkat profesionalisme hakim. “Jadi, ada banyak metode yang bisa di­pakai dalam mengukur kua­litas hakim,” tuturnya.
Tinggal nantinya, lembaga ber­­wenang yakni KY dan MA menentukan, apakah di situ ada pelanggaran atau tidak. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: