Nurvita Indarini - detikNews
Jakarta
Soal siapa yang berhak menangani dugaan korupsi simulator SIM di
Korlantas masih menjadi polemik. Jika masalah ini berlarut-larut
dikhawatirkan akan menguras energi penegak hukum. Karena itu perlu ada
target waktu penyelesaian kisruh ini.
"Saya kira harus ada target
waktu. Jadi Presiden minta targetkan waktu, misal sebelum Lebaran
kisruh harus selesai. Kalau tidak selesai, Presiden akan turun tangan.
Hal ini butuh ketegasan untuk menjadi jelas. Kalau terus berkepanjangan
tidak akan selesai-selesai. Padahal masalah lain juga banyak yang harus
diperhatikan," ujat peneliti Masyarakat Transparansi Indonesia, Jamil
Mubarok.
Berikut ini wawancara detikcom dengan Jamil, Kamis (9/8/2012):
KPK
dan Polri sudah bertemu membahas kewenangan penanganan simulator SIM,
tapi tidak ada kesepakatan. Menurut Anda mengapa begitu berlarut?
Sebenarnya
kalau mengacu pada UU sudah sangat jelas. Tidak rumit untuk memahami UU
KPK, bahwa KPK berhak ambil alih perkara atau penanganan perkara yang
dilakukan kejaksaan dan kepolisian. Kemudian KPK berhak melakukan
monitoring dan evaluasi terhadap kasus perkara yang ditangani kejaksaan
dan kepolisian.
Yang dilakukan tinggal KPK membuat berita acara
penyerahan berkas yang ditandatangani Kapolri. Tapi persoalannya ini di
luar urusan hukum. Menjadi rumit ketika kepolisian tidak serta merta
legowo untuk membuka institusinya.
Saya melihat sejak awal polisi
ini mneghalang-halangi dari pengambilan berkas dokumen, sampai
penetapan tersangka. Kok seolah polisi pasang badan untuk polisi nakal,
tidak patut terjadi.
Bagaimana jika Kapolri tidak mau tanda tangan?
Pasal
8 ayat 4 KPK mengatur untuk buat berita acara perkara itu. Ini lebih
kepada nurani individu di kepolisan. Kapolri dituntut untuk berani,
jangan biarkan pengaruh luar mengintervensi terhadap dirinya. Harus
bebas. Saya lihat sepertinya Kapolri ditekan di sana-sini.
Kalau
baca-baca seperti ada yang ingin melokalisir, tidak ingin ada
pengembangan kasus ini. Kalau begini kan jadi pertanyaan besar buat
publik. Kalau Polri tetap ngotot maka atasan Kapolri, yakni presiden,
yang harus bertindak.
Presiden harus turun tangan meminta Polri mematuhi UU KPK?
Presiden
yang harus turun tangan sebagai atasan Kapolri. Bukan karena presiden
mau intervensi, tapi karena harus mengingatkan tindakannya melanggar UU.
Tapi bukan saja mengingatkan tapi perintahkan Kapolri untuk tanda
tangan (berita acara). Jika tidak, penting Kapolri untuk dievaluasi.
Presiden
harus bisa memahami bahwa desakan penyelesaian kasus ini bukan datang
dari 1-2 orang. Ada desakan masif dari masyarakat dan DPR juga,
akademisi, masyarakat umum. Dalam konteks ini Presiden yang akan jadi
pahlawan untuk menyelamatkan.
Polri berpegang MoU
sedangkan KPK pada UU KPK dalam mengusut kasus itu. MoU itu semacam
perjanjian sehingga tentu tak bisa dikesampingkan. MoU juga mengatur
beberapa hal yang sama dengan UU KPK. Pendapat Anda?
MoU
itu kesepahaman saja. Kalau soal kewenangan, langkah, itu hanya UU. MoU
kan tidak ada konsekuensi hukum. Kalau melanggar tidak harus dihukum,
tapi kalau melanggar UU harus dihukum.
Maka kalau sampai kepala
lembaga negara melanggar UU, Presiden sebagai atasan bisa dijadikan
alasan untuk mengevaluasi dan ganti Kapolri. Kalau ada yang melanggar
UU, DPR sebagai pengawas juga bisa bertindak. DPR bisa mengusulkan
adanya langkah hukum.
Ada yang mendorong kasus ini
diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Meski ada kalangan lain yang
mengatakan tidak bisa dibawa ke MK. menurut Anda?
Saya
juga nggak temukan substansi dibawa ke MK. Kalau MK dimintai fatwa saja
bisa, untuk memberi tafsir UU dengan tujuan untuk memperjelas. Tapi
kalau mau judicial review pasal yang berbenturan dengan UUD 1945, saya
tidak temukan itu.
Tapi sebenarnya menurut saya, tidak perlu
minta fatwa ke MK karena bahasa sudah sangat jelas. Tapi untuk lebih
memperjelas agar Polri bisa menandatangani berita acara perkara, maka
bisa dimintakan fatwanya.
Bagaimana dengan usulan joint investigation?
Agak
sulit, karena ini menyangkut polisi itu sendiri. Unsur conflit of
interest tinggi. Proses penyelesaian perkara ini harus independen, Jika
KPK menangangi, maka harus diawasi secara ketat juga. Di KPK ada
penyidik juga dari Polri, tapi sampai hari ini mereka masih menunjukkan
independensi dan bertindak tanpa terhalang korps.
Apa yang dikhawatirkan dari berlarutnya masalah ini?
Ini
seolah menambah daftar panjang sejarah hitam penegakan hukum di
Indoensia, jadi masyarakat bisa jadi semakin tidak dipercaya. Wajah
hukum di Indonesia kelihatan semakin buruk. Ini menadakan tidak ada
perubahan, bahkan kemunduran. Kita akan semakin menghadapi situasi
sulit, tidak ada kepastian ukum. Hukum diperjualbelikan.
Kengototan
Polri seperti menunjukkan penegak hukum bisa kebal hukum karena
kewenangan yang dimilikinya. Ini harus didobarak betul dengan desakan
yang sangat besar.
Masyarakat jadi hopeless terhadap proses
penegakan hukum, lalu pada akhirnya berpikiran hukum tidak jadi panglima
lagi. Sebaliknya masyarakat jadi berpikir yang berkuasa uang dan
kekuasaan. Bahaya kalau begini. Kalau uang dan kekuasan jadi panglima
atau yang mengatur, maka yang berlaku hukum rimba. Jadi siapa kuat dia
akan menang. Kalau ini berlarut-larut maka menjadi ancaman eksistensi
bangsa.
Presiden sudah memberikan wejangan pada Polri dan KPK. Apa lagi?
Saya
kira harus ada target waktu. Jadi Presiden minta targetan waktu, misal
sebelum Lebaran kisruh harus selesai. Kalau tidak selesai, Presiden akan
turun tangan. Hal ini butuh ketegasan untuk menjadi jelas. Kalau terus
berkepanjangan tidak akan selesai-selesai. Padahal masalah lain juga
banyak yang harus diperhatikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar