TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Abraham Samad, mendukung adanya peraturan tentang pejabat
negara harus keluar dari partai politik (parpol).
Menurut Abraham, ini penting untuk mencegah konflik kepentingan, saat pejabat negara menjalankan tugasnya.
"Sebaiknya,
saat terpilih menjadi pejabat negara harus melepaskan diri dari parpol,
idealnya begitu," kata Abraham saat berbincang dengan para wartawan KPK
di kantornya, Kamis (30/8/2012) malam.
Menurut Abraham, sejumlah
kasus korupsi menunjukkan adanya penyalahgunaan jabatan yang dilakukan
pejabat negara. Tak jarang, penyalahgunaan kewenangan terkait jabatannya
di parpol.
"Gubernur juga kalau bisa tidak menjabat ketua partai, supaya tidak menyalahgunakan jabatan," imbuh Abraham.
Usulan
agar pejabat negara dan kepala daerah melepaskan jabatannya di parpol,
mencuat setelah disahkannya UU Keistimewaan Yogyakarta.
Salah satu
klausul dalam UU melarang Sultan Yogyakarta menjadi pengurus parpol.
Berangkat dari klausul ini, sejumlah anggota DPR mengusulkan agar
larangan serupa juga diterapkan untuk pejabat publik seperti menteri,
gubernur, bupati, wali kota, dan pimpinan BUMN.
Ketua Komisi II
DPR Agun Gunanjar Sudarsa menuturkan, jabatan di parpol akan mengganggu
kerja pejabat publik, karena rentan berbenturan kepentingan.
Sementara, sejumlah kasus korupsi yang ditangani KPK, melibatkan pejabat negara sekaligus petinggi parpol.
Contohnya,
kasus Wali Kota Bekasi Mochtar Mohammad yang juga pimpinan PDIP cabang
Bekasi. Kemudian, kasus suap yang menyeret Bupati Buol Amran Batalipu.
Amran diketahui sempat menjabat posisi Ketua DPD Partai Golkar Buol. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar