BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 14 November 2011

Berlomba Bebaskan Koruptor : Melawan Seribu Hakim Nakal

Jakarta - Puluhan koruptor dibebaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah. Tidak pelak tudingan miring otomatis mengarah pada para hakim. Mengapa para hakim seperti berlomba membebaskan para koruptor?

Komisi Yudisial (KY) mencatat setidaknya ada 1.000 hakim diduga sebagai hakim nakal. Adakah dari hakim nakal itu merupakan hakim Tipikor? KY belum mau mengungkapnya. Saat ini KY sedang melakukan investigasi terhadap hakim-hakim tersebut. 

"Kami akan melakukan investigasi soal adanya dugaan hakim nakal. Kami akan mengeceknya ke daerah-daerah," terang Komisioner KY Suparman Marzuki kepada detik+.

Dari 1.000 hakim yang diduga nakal, sebanyak 437 hakim sudah diperiksa KY, sejak Januari-September 2011. Dari 437 hakim itu, 131 hakim direkomendasikan untuk diberi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA). 18 Hakim di antaranya direkomendasi KY untuk diberhentikan tetap.

“Pelanggaran yang paling dominan yang dilakukan hakim-hakim itu umunya pelanggaran profesionalisme,” kata Sekjen KY Muzayyin Mahbub.

Hakim yang masuk dalam daftar nakal, antara lain melakukan telepon saat sidang, tidak serius dalam mendengarkan saksi dari salah satu pihak (dengan duduk malas-malas), judi, pasang harga perputusan baik secara pasif/ atau pun ada juga yang pasang tarif, ada yang tertangkap sabu dan lain-lain.

***

Menjadi hakim terutama hakim Tipikor, memang punya banyak risiko dan godaan. Kasus korupsi selain khas, juga melibatkan orang-orang yang tidak sembarangan. 

Risiko semakin besar bagi hakim Tipikor di daerah, sebab kasus yang ditangani umumnya merupakan penguasa lokal, baik kepala daerah atau orang yang berpengaruh di daerah tersebut.

"Tugas hakim Tipikor memang sangat rentan. Sebab yang dihadapi penguasa lokal. Sementara pengawasan di daerah sangat lemah. Jadi ada 2 kemungkinan yang akan dihadapi, bisa berupa ancaman atau iming-iming suap," jelas akivis ICW Donal Fariz.

Masalahnya semakin bertambah ketika MA tidak memperhatikan kesejahteraan para hakim ad hoc tersebut. Umumnya hakim ad hoc ini penghasilannya di bawah hakim pengadilan umum. Malah ada hakim Tipikor di suatu daerah yang belum dibayar sampai 3 bulan.

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Bukan tidak mungkin sang hakim Tipikor bisa terbujuk oleh iming-iming dari orang-orang yang berperkara. Apalagi yang terlibat korupsi umumnya adalah pejabat dan orang-orang berduit.

"Ini sangat rentan. Apalagi hakim Tipikor di daerah menangani kasus yang melibatkan penguasa lokal, yang bisa menggelotorkan uang atau massa untuk mempengaruhi hakim," katanya.

ICW menduga banyak hakim Tipikor bermain perkara terutama perkara yang berujung pada vonis bebas. Tapi sayangnya, ICW tidak bisa mengakses hasil putusan itu ke MA dengan berbagai alasan.

Soal rentanya hakim Tipikor dari bujuk rayu koruptor juga diakui Teguh Haryanto, mantan hakim di PN Jakarta Pusat. Teguh yang menjadi hakim Tipikor sejak 2006 lalu, mengatakan, kondisi yang dialami hakim Tipikor di daerah tentu berbeda dengan hakim Tipikor yang bertugas di Jakarta. Kalau di Jakarta pengawasan dari MA atau masyarakat sangat intens. Sementara di daerah tentu saja tidak seperti di Jakarta.

Untuk mengantisipasi terbujuknya hakim Tipikor daerah, MA diharapkan mau turun gunung dan sering mengunjungi daerah-daerah. MA harus rajin mengawasi dan memberi motivasi kepada hakim-hakin Tipikor supaya tidak kehilangan integritasnya.

"MA harus mengambil hikmah dari masalah yang saat ini ramai dibicarakan (pengadilan Tipikor daerah). MA harus turun gunung," harap Teguh yang baru seminggu bertugas sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung.

Selain pengawasan, MA juga diminta supaya memperketat proses perekrutan hakim Tipikor. Jangan sampai kasus seperti Ramlan Comel, yang sempat menjadi terdakwa korupsi, kemudian dipilih jadi hakim Tipikor. 

"Terpilihnya mantan terdakwa sebagai hakim Tipikor memang menjadi bukti lemahnya rekrutmen hakim Tipikor yang dilakukan MA. Ini jangan sampai terulang lagi," tutur Teguh.

Meski demikian, masyarakat diharapkan tidak lantas men-generalisasi semua hakim Tipikor bermasalah. Menurut Teguh, masih sangat banyak hakim Tipikor yang punya integritas. Lagi pula untuk memastikan apakah maraknya vonis bebas terdakwa korupsi di pengadilan Tipikor karena peran majelis hakim atau bukan, perlu penelitian yang mendalam. 

Vonis bebas koruptor, bisa disebabkan banyak faktor. Misalnya tuntutan yang lemah atau barang bukti yang diajukan tidak mumpuni untuk mengaitkan terdakwa dengan kasus korupsi yang menjeratnya.

"Jadi banyak faktor yang menyebabkan terdakwa kasus korupsi bisa bebas. Tidak sepenuhnya ditimpakan kepada majelis hakim yang menangani perkara," ujar Teguh.

Tidak ada komentar: