Padang (ANTARA News) - Tim Advokasi Kasus Maligi mendesak Kapolri agar menyelidiki dugaan praktik penggunaan aparat kepolisian untuk komersialisasi terkait jasa pengamanan di perkebunan kelapa sawit swasta di Kenagarian Sasak, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat.

Salah seorang Tim Advokasi Kasus Maligi, Vino Oktavia dari LBH Padang, di Padang, Jumat mengungkapkan komersialisasi tersebut berdalih menjalankan tanggung jawab pengamanan.

"Aparat kepolisian tidak berhak untuk mengamankan perusahaan kelapa sawit apalagi dari pihak swasta. Polisi hanya berhak untuk mengamankan jika aset tersebut adalah milik negara, katanya.

Yang disayangkan, lanjut Vino, polisi justru melakukan pengamanan di luar prosedural yang bertentangan dengan hukum dan HAM. Dalam pengamanan itu, polisi tidak bertindak netral saat melakukan pengamanan perkebunan PT. Permata Hijau Pasaman II (PT. PHP II).

Aparat justru melakukan dugaan tindak kekerasan yang menyebabkan 20 warga di Kenagarian Sasak, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat mengalami luka-luka akibat pukulan, tendangan dan hantaman dengan tangan maupun benda keras.

Di samping itu masyarakat juga mengalami trauma karena todongan senjata dan tindakan kekerasan oleh aparat kepolisian. Bahkan seorang ibu dari 20 orang tersebut mengalami keguguran.

"Terkait kasus ini, Kapolda Sumbar dan Komnas HAM harus mengusut tuntas dugaan pelanggaran HAM oleh aparat kepolisian dalam kasus tersebut," kata Vino.

Menurut Vino, berdasarkan penelusuran Tim Advokasi kasus Maligi yang terdiri dari LBH Padang, Walhi Sumbar, Perkumpulan Qbar, PBHI Sumbar, dan Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumbar yang dilakukan Jumat (11/11) hingga Selasa (15/11), kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat Maligi diduga berawal dari tindakan represif aparat kepolisian yang secara paksa membuka portal jalan perusahaan menuju pabrik (titik nol) pada 8 November 2011 yang saat itu dijaga masyarakat Maligi.

Penjagaan portal oleh masyarakat ini karena adanya kesepakatan antara masyarakat Maligi dengan PT. Permata Hijau Pasaman II (PT. PHP II) pada 27 Oktober 2011.

Surat kesepakatan tersebut ditandatangani 11 tokoh masyarakat Maligi antara lain, Akmal, Zainul Syafri, Yep Alpidas, Antoni Aries serta Edwin Fadli selaku pimpinan PT PHP II.

Isi kesepatakan tersebut yakni memfasilitasi masyarakat untuk bertemu dengan pihak managemen yang berwenang guna penyelesaian masalah konflik perkebunan sawit Phase IV dan PT. PHP II, dengan batas waktu paling lambat tanggal 29 Oktober 2011.

Selain itu juga disepakati bahwa Pihak perusahaan tidak dibenarkan beraktifitas di lahan phase IV serta tidak akan menggunakan aparat keamanan dalam penyelesaian masalah phase IV dan PT. PHP II.

"Namun kenyataannya pihak perusahaan ingkar janji dan tetap menggunakan aparat kepolisian dalam pengamanan. Dari hal ini pihak perusahaan jelas melanggar kesepakatan," kata Vino.

Pascakejadian di titik nol yang terjadi sekitar pukul 14.00 WIB, terjadi pembakaran kantor PT. PHP II dan masyarakat Maligi dituduh sebagai pelaku pembakaran kantor tersebut.

"Kejadian ini diduga dilakukan oleh pihak lain yang memanfaatkan kondisi tersebut, dan tidak ada bukti mengapa masyarakat yang dituduh," tambah Vino.

Berdasarkan fakta temuan di lapangan, masyarakat Maligi yang menjadi korban kekerasan di titik Nol beserta masyarakat yang datang beberapa saat setelah kejadian tindak kekerasan tersebut, sudah meninggalkan lokasi kejadian sekitar pukul 17.00 WIB.

Namun, sekitar pukul 23.00 WIB aparat kepolisian mulai melakukan sweeping dan penggeledahan ke rumah-rumah masyarakat Maligi untuk mencari pelaku yang diduga melakukan pembakaran terhadap perkantoran PT. PHP II.

Polisi juga melakukan penggeledahan ke rumah-rumah, dan melakukan penangkapan tanpa alasan yang jelas. Setiap memasuki kampung, polisi kerap melepaskan tembakan, yang terbukti dengan ditemukannya tiga butir selongsong peluru di perkampungan

"Kondisi ini mengakibatkan sekitar 100 orang warga terpaksa mengungsi karena ketakutan," sambung Khalid Syaifullah dari Walhi Sumbar.

Atas kejadian itu, tim juga mendesak pihak Komnas HAM Pusat untuk turun tangan dalam melakukan menyelesaikan kasus tersebut serta memberikan perlindungan kepada masyarakat Maligi agar kasus serupa tidak terulang kembali.

"Kami juga mengharapkan pihak DPRD Sumatera Barat atau DPRD Pasaman Barat untuk membentuk tik pencari fakta terhadap dugaan pelanggaran hukum dan HAM yang dilakukan pihak kepolisian," lanjut Khalid.

Sementara, masyarakat Sumatera Barat diimbau untuk memantau dan mendorong Kapolda mengusut dugaan pelanggaran HAM dalam kasus Maligi oleh aparat kepolisian dan mendorong pengungkapan terhadap dugaan praktik-praktik komersialisasi jasa-jasa pengamanan. (ANT)