Yogyakarta (ANTARA News) - KPK mengeluarkan peringatan bagi jurnalis. Isi peringatan itu: berhati-hatilah menggunakan dokumen negara karena Undang-Undang Intelijen mengatur ancaman pidana bagi semua pihak yang membocorkan rahasia negara.

Wakil Ketua KPK, Bibit Riyanto, dalam acara lokakarya anti korupsi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), di Yogyakarta, Rabu, mengatakan, "Jurnalis hendaknya berhati-hati menyikapi situasi saat ini terkait memakai dokumen negara. UU Intelijen mengatur ancaman bagi semua pihak yang membocorkan rahasia negara karena kelalaian dan kesengajaan."

Menurut dia, sesuai ketentuan dalam UU Intelijen, setiap orang yang karena kelalaian membocorkan rahasia negara diancam dengan hukuman pidana maksimal tujuh tahun dan sanksi bagi pihak yang sengaja membocorkan rahasia negara adalah maksimal 10 tahun.

Ia mengatakan prihatin dengan keberadaan Undang-Undang Intelijen yang tidak secara jelas menyebutkan rahasia negara yang dimaksudkan sehingga rawan bagi jurnalis.

Dia mengatakan, dalam UU Intelijen hanya diatur tentang rahasia negara yang boleh diungkap atau tidak. Di antara yang tidak boleh diungkap adalah ketahanan ekonomi, akses intelijen, sumber daya alam.

"UU Intelijen tidak memerinci yang dimaksud rahasia negara. Oleh karena itu, masyarakat bisa melihat isi Peraturan Pemerintah (PP) setelah UU Intelijen disahkan belum lama ini," kata dia.

Ia mengatakan dalam UU Intilejen disebutkan kewenangan aparat untuk memeriksa dan memanggil or...ang yang dianggap membocorkan rahasia negara.

"Saya berharap UU Intelejen yang baru disahkan tidak membelenggu terutama bagi kegiatan aktivis yang menyuarakan kebebasan berbicara," kata dia. Jangan sampai penerapan UU Intilejen yang bertujuan baik akan menimbulkan tirani baru.

Sebelumnya, dalam kesempatan yang berbeda anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, di Yogyakarta mengatakan, pers terlambat mengawal pengesahan Undang-Undang Intelijen sehingga membahayakan kerja-kerja jurnalis dan kebebasan masyarakat sipil mengakses informasi

"Kalangan pers hanya jadi outsider atau tidak terlibat dalam mengawal UU intelijen yang berbahaya bagi hak masyarakat sipil untuk mengakses informasi. Akibatnya, UU itu kemudian disahkan oleh pemerintah dan DPR," kata dia.

Menurut Agus, tanggapan media terhadap isu UU intelijen sangat lamban. Padahal, UU intelejen mengancam kerja-kerja jurnalis untuk memperoleh akses informasi.

"Kalangan pers terlambat menyadari bahaya UU intelijen. Ancaman yang paling membahayakan adalah kriminalisasi terhadap jurnalis atau ancaman pidana karena dianggap membocorkan rahasia negara," katanya.

Dia mengatakan, pengesahan UU intelijen menggambarkan kegagalan masyarakat sipil, termasuk kalangan pers mengawal UU intelijen yang sangat berbahaya bagi demokrasi di Indonesia.

"Masyarakat sipil, termasuk kalangan pers sulit berkoalisi mengawal UU intelijen. Padahal, pengesahan UU intelijen kontraproduktif dengan jaminan hak asasi manusia," katanya.

Ia menambahkan, masyarakat sipil selama ini cenderung sibuk memikirkan isu sektoral sehingga kurang memperhatikan isu yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi, seperti UU Intelijen.

"Masyarakat sipil kemungkinan sudah jenuh karena terlalu banyak isu, termasuk kalangan pers yang pasif dalam mengawal soal intelijen," katanya.

Menurut dia, UU Intelijen mengatur ruang lingkup rahasia intelijen yang terlalu luas sehingga menimbulkan multi interpretasi atau multi tafsir. "UU intelijen tidak jelas sehingga pasal-pasal karet itu membahayakan masyarakat sipil yang mengakses informasi," katanya.

Dia mencontohkan dalam Pasal 25 UU itu, rahasia intelijen menyangkut informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara, mengungkap kekayaan alam Indonesia, merugikan ketahanan ekonomi nasional, dan merugikan kepentingan politik luar negeri. (ANT-293)