BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 13 Maret 2012

Rantai Korupsi Politik, Kemana Ujungnya?

Oleh: Dewi Aryani

RMOL

 
Terungkapnya berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini semakin membuktikan bahwa korupsi sudah menjadi budaya yang terlegitimasi di Indonesia. Menyedihkan. Betapa tidak, DPR adalah lembaga negara yang memegang kedaulatan rakyat, tempat dimana harapan setiap warga negara untuk mewujudkan tujuan bernegara.

Tentu saja tidak semua anggota dewan berperilaku korup, tetapi berbagai kasus tersebut akan merusak kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan negara.

Politik, Birokrasi, Hukum

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa korupsi di Indonesia terjadi dalam tiga locus utama yaitu politik, birokrasi dan hukum. Di ketiga locus tersebut korupsi tidak bersifat mandiri,sendirian, tetapi saling berkelindan satu dengan lainnya. Tidak mengherankan jika kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada sejumlah anggota dewan juga melibatkan pejabat birokrasi dan pejabat penegak hukum.

Kondisi ini bukan hanya mempersulit proses pembarantasan korupsi, tetapi benar-benar telah membentuk kejahatan korupsi yang terlembaga melalui organ-organ negara. Korupsi yang terjadi di DPR dilakukan dalam produk peraturan perundang-undangan yang sah sebagai kebijakan negara (corruption by policy). Korupsi yang seperti ini jelas akan membunuh cita-cita dan tujuan bernegara.

Korupsi tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran etika individual, melainkan hanya sebuah pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum. Para pejabat negara (anggota dewan, birokrat, penegak hukum) tidak merasa bahwa korupsi merupakan pelanggaran etika individual yang harus dihindari. Berkembangnya sikap semacam ini semakin berbahaya jika terjadi di kalangan anggota dewan dan berkait dengan pejabat birokrasi dan penegak hukum.

Korupsi yang terjadi di DPR bukanlah faktor individual semata. Korupsi terjadi secara sistemik dan berada dalam relasi sistem yang komplek. Sehingga upaya memutus mata rantai korupsi di DPR tidak dapat dilakukan secara parsial dan mungkin juga tidak dalam waktu yang singkat.

Ada empat faktor yang saling berkorelasi dan bisa menjelaskan terjadinya korupsi di DPR. Pertama adalah faktor mental-politik yang membentuk sikap mental, pola pikir, etika dan perilaku anggota dewan. Faktor ini sangat fundamental karena akan mempengaruhi penilaian seorang anggota dewan mengenai korupsi sebagai pelanggaran individual dan sosial.

Mental Politik

Sikap mental politik anggota dewan yang baik hanya bisa dilahirkan oleh sebuah sistem partai politik yang memiliki meritokrasi politik. Selama partai politik di Indonesia tidak memiliki idiologi yang kuat-yang menentukan boleh tidaknya suatu keputusan dan perbuatan dilakukan-dan tidak memiliki sistem proses kaderisasi yang memadai, maka selama itu pula pola pikir, etika dan perilaku anggota sulit untuk dikontrol.

Pada sisi lainnya, sikap mental anggota dewan yang menjadikan DPR sebagai tempat untuk mencari nafkah, jelas tidak harmoni dengan tujuan dan tuntutan etika demokrasi itu sendiri. Sikap mental mencari nafkah ini bergelayut dengan idiologi parpol yang kedodoran, yang senantiasa menjadikan anggota dewan sebagai mesin ATM partai politik. Seruan Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri bahwa kader PDIP harus menjadi pelopor pemberantasan korupsi harus di acungi jempol. Upaya DPP PDI Perjuangan menyelenggarakan pendidikan politik patut diapresiasi dan seharusnya menjadi cambuk bagi partai politik lainnya. Pendidikan politik bisa menjadi salah satu pintu masuk perbaikan (juga transformasi) mental model para politisi dan pemantapan ideologi,serta mengembalikan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI) menjadi nafas berbangsa dan bernegara.

Faktor berikutnya yang mempengaruhi korupsi di DPR adalah faktor struktural. Bekerjanya korupsi di DPR adalah fungsi ketidaksetaraan relasi antara sistem birokrasi dan sistem politik. Proses pembentukan Undang-Undang dan persetujuan politik lainnya selalu menempatkan posisi tawar DPR yang lebih kuat dibandingkan posisi Pemerintah yang diwakili oleh para menteri dan pejabat birokrasi. Meskipun harus diakui, jika proses pembentukan Undang-Undang dianalogikan berada dalam sebuah "pasar", maka DPR adalah pasar yang besar (gigantic market)  tempat bertemunya transaksi ekonomi politik antara anggota-anggota dewan dengan para menteri, pejabat-pejabat eselon I dan II di kementerian. Karena kedudukan dan posisi tawar pemerintah biasanya lebih lemah, maka membayar mahal harga sebuah Undang-Undang dan keputusan politik kepada anggota dewan adalah hal lazim -dan mungkin harus- dilakukan.

Pertanyaan yang harus diajukan lebih lanjut adalah mengapa kedudukan dan posisi tawar pemerintah lebih rendah dibandingkan DPR. Tidak sulit untuk mencari jawaban terhadap hal tersebut. Pertama, reformasi birokrasi yang tidak pernah berjalan secara optimal menyebabkan paradigma "proyek" dalam pembentukan Undang-Undang masih mendominasi cetak pikir dan perilaku para pejabat birokrasi. Kedua, persetujuan anggaran untuk birokrasi tidak bisa tidak harus dilakukan oleh DPR. Gigantic market DPR adalah pasar yang tidak sempurna dan menyebabkan korupsi dalam pembentukan Undang-Undang, persetujuan anggaran dan berbagai persetujuan lainnya. Dalam banyak kasus dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seringkali persetujuan DPR berada dalam relasi komplek yang berpotensi menyebabkan korupsi.

Ketiga adalah faktor instrumental. Proses pembentukan Undang-Undang seringkali tidak memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Setiap kementerian berlomba-lomba untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Demikian pula DPR tidak kalah lajunya melakukan hal ini. Grand design penyusunan Undang-Undang tidak memiliki visi, arah pertumbuhan dan keterkaitan satu sama lainnya.

Jadi kemanakah rantai ujung korupsi?

Penulis adalah kandidat doktor dari Universitas Indonesia dan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan

Tidak ada komentar: