JAKARTA - Mantan Kepala
Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Sutrisno menilai pemerintah perlu
meninjau ulang rencana rasionalisasi aparatur sipil negara (ASN).
Menurutnya, jumlah PNS di Indonesia
sekitar 4.517.000 orang itu masih proporsional. Andai pemerintah
mengambil kebijakan rasionalisasi, justru membuat daerah makin
kekurangan pegawai. Apalagi ke depannya akan ada daerah otonom baru
(DOB).
"Jumlah PNS di Indonesia, tidak kurang dan
tidak lebih. Sudah pas jumlahnya, jadi jangan dikurangi lagi," kata Eko
yang saat ini tim ahli Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) kepada JPNN, Selasa (8/3).
Dia menambahkan, pengurangan jumlah
pegawai bisa dilakukan bila ratio PNS sudah di atas dua persen. Dengan
ratio 1,7 persen cukup memadai untuk menjalankan pemerintahan.
"Ratio PNS 1,7 persen masih sangat
proporsional dan tidak akan membahayakan APBN/APBD. Pemerintah harus
hati-hati benar dengan rencana rasionalisasi karena bisa bikin mandek
jalannya birokrasi," tandasnya. (esy/jpnn)
Jumlah PNS Pusat yang Layak Dipangkas
JAKARTA – Rencana
rasionalisasi jumlah PNS yang digagas Kementerian Pendayagunaan Aparatur
Negara dan Reformasi Birokrasi (KemenPAN-RB) disorot Direktur Eksekutif
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi
Jaweng.
Menurutnya, rasionalisasi hanyalah salah
satu cara melakukan reformasi birokrasi. Artinya, pengurangan jumlah PNS
bukanlah satu-satunya cara. Terlebih lagi, lanjutnya, sebenarnya jumlah
PNS Indonesia yang mencapai 4,517 juta orang, bukanlah jumlah yang
gemuk, setidaknya dibandingnya dengan sejumlah negara tetangga.
“Rasio PNS kita itu masih di bawah dua
persen (dari jumlah penduduk, red), yakni sekitar 1,7 persen. Singapura
2,5 persen, sedang Malaysia sekitar 3,7 persen. Jadi, jumlah PNS kita
sebenarnya tidak begitu gemuk,” ujar Robert Endi Jaweng kepada JPNN,
kemarin (7/3).
Yang menjadi problem PNS Indonesia,
lanjutnya, sebenarnya lebih ke masalah kompetensi dan efisiensi kerja.
“Jadi seolah-olah banyak jumlahnya karena banyak yang terlihat
menganggur, tidak ada kerjaan,” imbuhnya.
Karena itu, kata Robert, sebenarnya yang
perlu dilakukan saat ini bukanlah rasionalisasi PNS, tapi melakukan
pendataan kompetensi, yang dikaitkan dengan ragam kebutuhan layanan
publik. Dari hasil analisis itu, lantas dilakukan pembagian kerja
sehingga tidak ada lagi PNS yang terlihat “menganggur”.
“Karena kalau asal pangkas, mengurangi
jumlah PNS, bisa-bisa nanti malah pelayanan publik terbengkalai karena
kekurangan PNS,” ulasnya.
Dikatakan, masyarakat sebenarnya tidak
peduli berapa jumlah PNS. Yang menjadi sorotan publik adalah PNS yang
tampak tidak punya pekerjaan. “Jumlah PNS banyak asal mereka benar-benar
kerja, ada yang dikerjakan, masyarakat senang,” ujarnya.
Langkah lain yang perlu dilakukan
pemerintah dalam rangka reformasi birokrasi, adalah redistribusi PNS.
Jangan sampai PNS menunpuk di satu unit kerja atau di suatu daerah saja,
sementara unit kerja atau daerah lain kekurangan PNS, terutama di
daerah-daerah otonom baru hasil pemekaran.
“Undang-undang ASN sudah memberikan pengaturan, PNS bisa dimutasi antardaerah. Itu dulu yang mesti dilakukan,” ujarnya.
Justru, menurutnya, jumlah PNS di
instansi-instansi pusat yang kelebihan. Instansi pusat, seperti
kementerian-kementerian, kata pria asal Flores itu, terlalu banyak
jabatan strukturalnya. Adanya jabatan eselon I, sudah tentu diikuti
dengan eselon II, III, dan seterusnya.
“Jabatan-jabatan struktural itu yang
banyak menyedot uang negara, gaji besar. Sementara, instansi pusat itu
lebih mengurusi soal kebijakan dan monev (monitoring dan evaluasi, red).
Mestinya yang perlu diperbanyak tenaga-tenaga ahli, pakar analisis
kebijakan,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, secara bertahap
rasionalisasi jumlah PNS akan dilakukan hingga hingga 2019, dengan
target jumlah PNS susut menjadi 3,5 juta orang.
KemenPAN-RB sudah membuat design
rasionalisasi PNS. Metode untuk memilah mana PNS yang berkinerja baik
dan mana yang buruk pun sudah disiapkan. (sam/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar