BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 11 April 2012

Jimly Asshiddiqie: Memalukan Bila Hakim Benar-benar Demo...

RMOL. Ancaman mogok para hakim membuat Jimly Asshiddiqie terenyuh. Karena itu, dia mau memfasilitasi pertemuan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Repormasi Birokrasi (Menpan-RB) Azwar Abubakar.
Rencananya hakim akan mogok awal April lalu, tapi diundur pertengahan Mei 2012. Sebab, dikhawatirkan demo itu untuk mengalihkan isu atas ren­cana kenaikan harga BBM.
Bekas Ketua Mahkamah Kons­titusi Jimly Asshiddiqie tidak ingin hakim mogok. Makanya diadakan pertemuan perwakilan hakim 18 orang dengan Azwar Abubakar di gedung Kemenpan-RB, kemarin.
“Saya ingin tuntutan para ha­kim direalisasikan, sehingga ti­dak terjadi demo. Sebab, sangat memalukan bagi bangsa ini di mata internasional bila hakim benar-benar demo,’’ kata Jimly Asshiddiqie kepada Rakyat Merdeka, seusai pertemuan itu, kemarin.
Berikut kutipan selengkapnya:

Apa upaya ini berhasil?
Saya berharap berhasil. Maka­nya pemerintah, melalui Men­pan-RB bisa membicarakan ma­salah ini dengan Menteri Keuang­an dan pihak terkait.
Saya juga menghimbau, se­baik­nya hakim tidak usah meng­gunakan wacana mogok sebagai alat perjuangan karena termino­logi demo itu biasa dipakai orang politik.
Saya juga berharap para hakim ini berhenti berkeliling dari lem­baga satu ke lembaga yang lain­nya. Karena tidak bagus jika di­lihat pihak luar negeri. Apa­lagi, Menpan-RB sudah berjanji akan berusaha menyelesaikan masa­lah ini.
Kan tidak  bagus jika nenjadi headline di The New York Times bahwa hakim di Indonesia mela­kukan demo gara-gara menuntut gaji naik. Ini kan wajah bangsa kita jadi tidak baik. Saatnya teman-teman hakim kembali ke daerah masing-masing.

Apa tuntutan mereka diper­hati­kan bila para hakim itu pu­lang ke daerah masing-masing?
Saya menyarankan para hakim ini mengutus tim untuk berdialog dengan Komisi Yudisial (KY), Kemenpan-RB, dan Kemenkeu. Hal ini saya rasa lebih elegan dari­pada melakukan demo. Ha­kim itu terhormat, sehingga tidak pantas demo.
  
Bagaimana pandangan Anda terhadap reformasi hukum?
Seharusnya sistem demokrasi tidak hanya mengubah sistem ke­negaraannya. Tapi juga mengu­bah sistem hukum.
Hal tersebut megingat refor­masi hukum sudah 13 tahun tidak terurus dengan baik dan hakim menjadi salah satu elemen yang dilupakan. Tuntutan yang dilaku­kan para hakim ini sudah menca­pai titik puncak kekecewaan dan sudah dipendam oleh hakim se­lama belasan tahun.

Maksud Anda demokrasi ti­dak akan berguna kalau tidak diim­bangi dengan tegaknya hu­kum?
Ya dong. Demokrasi kita ini tidak akan berguna jika tidak diimbangi dengan tegak dan terpercayanya hukum diperadilan kita. Inilah kuncinya, hakim ha­rus dibenahi termasuk mengenai status, kesejahteraan dan lain sebagainya.
Kasihan hakim ini, mereka jadi sasaran tembak terus padahal posisinya paling lemah. Karena hakim ini kalau dikritik nggak bisa menjawab, kalau dipuji juga tidak boleh menikmati.
Status pejabat menurut saya sangat menentukan. Karena hal itu bukan hanya berkaitan dengan masalah uang dan kesejahteraan. Tetapi soal kehormatan, harga diri, dan lainnya.
   
Apa benar kesejahteraan ha­kim paling rendah jika diban­ding­kan dengan lembaga lain­nya?
Ya. Misalnya saja, kesejahte­raan hakim di tingkat Penga­dilan Negeri (PN) dengan Ka­polres dan Kepala Kejaksaan Ne­geri (Ka­jari) sangat jauh per­be­daan­nya.
Kalau Kapolres dan Kajari me­miliki ajudan dan mobil dinas. Tetapi kalau jakim di tingkat PN hanya memakai mobil kijang butut. Belum lagi kalau bicara mafia peradilan yang disalahkan hakim. Kan kasihan.
       
Apakah ada jaminan jika gaji hakim dinaikkan tidak terjadi jual beli perkara?
Memang tidak bisa dijamin. Tapi itu salah satu elemen yang tidak boleh dilupakan kalau kita mau membangun demokrasi yang sehat, hukum harus terper­caya dan tegak.
   
Apa masih mungkin penera­pan hukum amburadul seperti seka­rang ini menjadi tegak dan berwibawa?
Ya, mungkin. Asal seluruh sis­tem harus kita benahi. Termasuk membenahi elemen hakim yang posisinya sangat strategis. Putu­san peradilan itu ada di tangan hakim.
Kalau hakimnya independen dan tidak bisa dibeli, maka tidak ada lagi yang menyogok hakim. Kalau hakimnya baik dan bersih, tentu peradilan di seluruh Indo­nesia menjadi bersih juga. Hal seperti ini tentu sangat diidamkan masyarakat. [Harian Rakyat Merdeka]

Tidak ada komentar: