BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 13 April 2012

Ketika Hakim Mengancam Mogok

Said Zainal Abidin - detikNews

Jakarta Hakim adalah perlambang keadilan di dunia. Di tangannya putusan keadilan diturunkan. Dilihat dari satu sisi, hakim pantas disebut sebagai 'Khalifatullah fil Ardhi' (khalifah Allah di bumi ini). Karena itu prikehidupannya harus dapat mencerminkan kesucian, kesalehan dan ketegasan. Dia harus mampu hidup dan bertugas tanpa pamrih. Tanpa mengharapkan balas jasa, apalagi kemewahan. Karena itu ada kewajiban bagi penguasa untuk mengurus kebutuhan hidup hakim secukupnya.

Tetapi dalam masyarakat di mana keadilan terabaikan, putusan hakim kadang-kadang tidak mampu mencerminkan rasa keadilan. Alasannya, karena keputusan tidak ditentukan di meja peradilan, tapi di meja judi, lapangan golf atau di ruang kerja mereka yang memiliki kekayaan dan kekuasaan. Hakim menjadi boneka yang dipermainkan, yang harus menyesuaikan diri dengan kepentingan dan keinginan mereka.

Ketika hakim mengancam mogok menuntut kesejahteraan, masyarakat terkejut dan bertanya, ada apa gerangan yang mendorong para hakim bertindak demikian? Berbagai pendapat dan perkiraan timbul dalam masyarakat. Mulai dari kesalahan pemerintah sampai kepada dampak yang ditimbulkan suatu kebijakan.

Pendapat pertama, melihat masalah pada perubahan lingkungan dalam kaitan dengan suasana kebatinan. Yakni, pada kecenderungan dunia yang menjadi semakin materialistis atau hedonistis. Hakim yang dari dulu memang kurang diperhatikan, tapi tidak pernah menuntut hal-hal yang bersifat materialis, mengapa sekarang menjadi berubah? Mereka lupa, bahwa hakim adalah juga manusia biasa, yang membutuhkan makan, minum, pakaian, rumah dan keluarga. Tanpa terepenuhi kebutuhan hidup secara wajar, hakim juga tidak dapat bekerja secara wajar. Dalam keadaan demikian yang paling mudah disalahkan dan dijadikan sasaran adalah SBY. Karena SBY dewasa ini telah menjadi penebus segala dosa.

Pendapat kedua, melihatnya dari segi politik. Dalam teori kebijakan publik ada teori kelompok atau model kelompok (group model). Menurut teori ini, kebijakan publik adalah hasil dari pergelutan kelompok dalam masyarakat. Pergelutan itu dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Adu kekuatan, adu suara atau adu keahlian. Kelompok yang paling kuat akan menang. Karena itu, menurut pendapat ini, kebijakan publik adalah refleksi dari kepentingan golongan yang paling kuat. Maka itu, mogok merupakan salah satu cara unjuk kekuatan dalam bentuk unjuk rasa dengan perasaan. Kalau mahasiswa atau buruh, biasanya dengan cara kekerasan atau perusakan.

Pendapat ketiga melihat persoalan pada perubahan kondisi dan kesadaran lingkungan. Perlakuan dan fasilitas yang kurang kepada hakim bukan hal yang baru di Indonesia. Dari dahulu juga sudah demikian. Namun dahulu keadaannya tidak seperti sekarang. Sebagian dari mereka yang sering dipandang mewakili aspirasi para hakim, hidupnya hampir tidak bergantung pada gaji yang diberikann pemerintah sebagai PNS. Tetapi sekarang, dengan ketatnya kegiatan pemberantasan korupsi, termasuk tindakan pencegahan gratifikasi, hidup mereka menjadi semakin tergantung pada gaji. Sementara reformasi birokrasi dalam bidang remunerasi belum sampai pada perbaikan nasib para penegak hukum, kecuali KPK.

Karena itu sewajarnyalah kita bersyukur kepada Allah atas segala petunjuk dan dorongan untuk menyadarkan kita semua pada keperluan adanya perbaikan remunerasi yang 'dapat menjamin orang jujur hidup layak'.

*) Said Zainal Abidin adalah ahli manajemen pembangunan daerah (regional development management) dan kebijakan publik, guru besar STIA LAN. Sekarang sebagai penasihat KPK.

Tidak ada komentar: