RMOL.Sebagai salah satu penopang perekonomian, industri kecil menengah (IKM) seakan menjadi rebutan antara Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koperasi. Kontribusi sektor ini terhadap pendapatan nasional masih minim.
Misalkan saja program yang digagas Kementerian Perindustrian tentu berbeda dengan program Kementerian Perdagangan. Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah Kementerian Perindustrian Euis Saedah mengatakan, peningkatan IKM mampu memenuhi pasar dalam negeri maupun luar negeri.
Pihaknya mengklaim serius berupaya meningkatkan IKM yang berbasis teknologi modern. Untuk itu, ia berencana merevitalisasi sektor IKM dan meningkatkan peran sektor itu dalam menunjang perekonomian nasional.
“Kami berupaya meningkatkan peran IKM dalam menyeimbangkan nilai tambah dengan industri besar. Selain itu, kami juga ingin mewujudkan IKM yang berdaya saing global,” ujar Euis di Jakarta, kemarin.
Ia menuturkan, sektor IKM akan didorong agar terus tumbuh. Pihaknya ingin menggenjot pertumbuhan di luar Jawa, sebab, perbandingan IKM di Jawa dan luar Jawa sebesar 60:40.
Pemerataan pertumbuhan IKM ini diikuti dengan pengembangan klaster IKM dan program one village one product (OVOP). Selain itu, pemerintah juga berencana melakukan restrukturisasi mesin peralatan IKM.
“Kontribusi PDB (produk domestik bruto) IKM terhadap PDB industri sebesar 34 persen. Kami akan melakukan pembinaan untuk memperkuat klaster melalui forum FGD di daerah dan pendampingan tenaga ahli,” katanya.
Terkait hal ini, Anggota Komisi VI DPR Lili Asdjudiredja mengatakan, perhatian pemerintah terhadap sektor IKM sudah serius. Namun, banyaknya Kementerian yang menangani program pemberdayaan IKM justru menjadi sandungan tersendiri.
Sebab, masing-masing Kementerian memiliki target dan sasaran tersendiri. Bahkan, terkadang target tersebut tidak saling terkait dengan program Kementerian lainnya.
“Pemberdayaan IKM pada Kemenperin merupakan pemberdayaan dalam konteks pengembangan rantai industri secara keseluruhan. Tekanan seperti ini jelas tidak akan ditemukan pada Kementerian Koperasi atau Kementerian Perdagangan,” sentilnya.
Munculnya tekanan yang berbeda-beda tersebut, lanjutnya, sudah memperlihatkan bahwa kebijakan pengembangan IKM tumpang tindih. Kementerian belum menemukan titik koordinasi yang efektif.
“Tumpang tindih dan program yang sifatnya parsial itu sangat dirasakan IKM. Akhirnya menyebabkan beberapa program yang berbiaya mahal menjadi tidak tepat sasaran,” ujarnya.
Menanggapi kekhawatiran anggota DPR tersebut, Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Agus Muharram mengatakan, hal itu tidak perlu dikhawatirkan.
Dia menjelaskan, saat ini UKM di Indonesia jumlahnya sangat besar. Karena itu, butuh penanganan dari banyak pihak.
“Ada sekitar 53.838 juta unit UKM yang 98,8 persennya merupakan usaha mikro. Hal itu tentunya butuh perhatian banyak pihak, bukan hanya Kementerian Koperasi dan UKM saja. Kementerian lain juga perlu berperan,” ujarnya kepada Rakyat Merdeka.
Untuk diketahui, sekarang ini Kemenperin tengah melakukan pengembangan kewirausahaan IKM. Program yang menghasilkan 1.323 peserta tersebut telah membina sebanyak 432 wirausaha baru (WUB) dari sektor pertanian, hasil laut dan perikanan.
Adapun WUB yang berhasil dibina dari sektor sandang sebanyak 630. Untuk menunjang tumbuhnya WUB, Kemenperin membantu dalam investasi permesinan. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar