BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 20 Februari 2012

 Jpnn
JAKARTA-Gebrakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyeret tersangka korupsi Wisma Atlet M Nazaruddin dengan dakwaan tindak pidana pencucian uang (TPPU), mendapat respons positif. Apalagi dalam dakwaannya nanti KPK menggunakan pasal 6 UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU.


Peneliti senior Indonesian Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah menuturkan, penggunaan pasal 6 dalam dakwaan M Nazaruddin terkait pencucian uang hasil korupsi Wisma Atlet memang memberikan kejutan. Penggunaan pasal tersebut merupakan terobosan baru dari KPK.

’’Saya pribadi sangat kagum dengan keberanian KPK menggunakan pasal 6 UU TPPU. Sesuatu yang berbeda dari semua kasus yang ditangani KPK,’’ ujar Febri Diansyah usai menghadiri diskusi Lembaga Pengkajian Hukum dan Strategi Nasional (LHPSN) di Jakarta, kemarin. (19/2).

Febri yang hadir mengenakan kemeja putih itu menyebutkan, pasal 6 UU TPPU dapat memberikan efek luar biasa pada perkara ini. Sebab, pasal 6 itu memberikan celah sanksi bagi organisasi, perusahaan atau lembaga berbadan hukum untuk ikut menerima sanksi.

Jika nanti, lanjut dia, dalam persidangan itu terungkap adanya aliran dana korupsi Wisma Atlet pada lembaga atau organisasi, maka dapat dikenakan sanksi pada organisasi tersebut. Berupa sanksi denda Rp 100 miliar atau pada penarikan aset organisasi sampai pada pembekuan. ’’Itu berarti jika kebenaran aliran itu terjadi, maka semua lembaga atau organisasi yang menikmati aliran dana itu dapat dikenakan sanksi,’’ terangnya.

Dalam kasus ini, ucap dia, tidak menutup kemungkinan PT.  Permai Group dibekukan, asetnya ditarik hingga pembubaran perusahaan tersebut. Termasuk pula organisasi yang ikut mendapatkan kucuran dana tersebut.

Dia mengakui penerapan pasal itu sangatlah unik. Menunjukkan KPK tak hanya melirik individu sebagai pelaku korupsi. Tetapi juga lembaga, organisasi atau pun perkumpulan berbadan hukum masuk dalam target pemberantasan korupsi.

Lebih detil dia menyebutkan, pasal 6 itu menerangkan tindak pidana terhadap korporasi itu dijatuhkan apabila dilakukan atau diperintahkan oleh personel korporasi. Dilakukan dalam pemenuhan tujuan korporasi, dilakukan sesuai tugas dan fungsi pelaku.

’’Definisi korporasi itu disebutkan sebagai perkumpulan orang baik berbadan hukum maupun bukan berbadan hukum. Partai itu pasti berbadan hukum, jadi bisa saja,’’ tegas alumnus Fakultas Hukum UGM ini.

Selain itu, untuk pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU), eks Bendahara Umum Partai Demokrat dijerat pasal 3 atau pasal 4 jo pasal 55 ayat 1 ke satu tentang pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Pasal tersebut menyebutkan bahwa seseorang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta hasil tindak pidana. Nazaruddin terancam 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 10 miliar.

Sementara itu, pengamat komunikasi politik, Tjipta Lasmana menuturkan kondisi Partai Demokrat memang sangat terpuruk. Konflik internal yang menggerogoti partai itu telah sangat akut. Butuh kemampuan pemimpin yang kuat menyelesaikannya.

Dia meminta Partai Demokrat tidak menutup diri. Arus informasi yang ada harus diberikan respons yang tepat. Karena sikap menutup diri terhadap informasi itu bakal lebih memperburuk kondisi partai. (rko)

Tidak ada komentar: