BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 24 Agustus 2012

Korupsi & Krisis Kepemimpinan Mendominasi

INILAHCOM, Jakarta - Indonesia pasca-Lebaran masih didominasi isu korupsi dan ketidakadilan serta krisis kepemimpinan dan tergerusnya kepercayaan.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengakui saat ini situasi negara sangat memprihatinkan dan sudah pada tahap gawat darurat, jika dipandang dari sudut kesehatan bangsa dan negara.
Tahap gawat darurat itu ditandai dengan adanya korupsi yang merajalela dan krisis kepemimpinan karena kebanyakan elite dan penguasa yang ada sekarang adalah pengurus negara dan pejabat, bukan pemimpin yang berakhlak, yang mau melayani rakyat. Busyro menegaskan, pasca-Lebaran Indonesia masih akan menghadapi problem kepemimpinan dan krisis kepercayaan.
Kondisi ini sungguh mencemaskan bagi masa depan bangsa, negara, dan masa depan kemanusiaan. "Juga terjadi semakin banyak pemimpin baik pemerintah, legislatif, DPRD, pemerintah daerah, dan bahkan aktivis partai politik telah mengalami krisis akhlakul karimah," tukas Busyro.
"Mereka bukan pemimpin. Mereka pengurus negara yang cuma mengurus kerja sehari-hari, termasuk mengurusi korupsi supaya tidak ditangkap, mengurus supaya nanti menjelang 2014 partainya memperoleh dana yang semakin banyak untuk membiayai pemilu. Mereka melakukan urus-urus, yang diurus-urus adalah perut," ungkapnya.
Padahal, Indonesia memerlukan pemimpin seperti Bung Hatta, yang memiliki iman yang berbasis pada tauhid, pada akhlakul karimah, sederhana, dan mau berkorban.
Busyro pernah menilai revisi Undang-undang KPK merupakan bentuk perilaku koruptif dari politisi. "Revisi UU KPK menunjukkan perilaku politik yang koruptif karena tidak transparan, nggak akuntabel. Disadari atau tidak, itu koruptif," kata Busyro.
Dalam hal ini, Anggota Komisi III dari Fraksi PDI Perjuangan, Ahmad Basarah menilai Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas cenderung emosional bahkan sinis dalam menyikapi revisi Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK yang akan dilakukan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat.
Memang dari azas legal, revisi UU KPK sah lantaran DPR secara konstitusional memiliki kewenangan untuk merevisi UU termasuk UU KPK. Dari sisi substansi, memang masih banyak yang harus dikaji atas eksistensi dan implementasi UU KPK.
"Mengingat secara kuantitas maupun kualitas semakin hari bukan berkurang tapi malah semakin meningkat. Bahkan sampai pencetakan kitab suci Al-Quran pun dikorupsi. Seharusnya fakta-fakta sosiologi hukum seperti itu jangan diabaikan oleh pimpinan KPK," kata Basarah.
Seyogianya Pimpinan KPK jangan cepat puas dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Sebab selama ini KPK hanya heboh menangkap sejumlah koruptor kelas teri dan menengah, namun tak menyentuh koruptor kelas kakap.
Sikap sinisme Busyro terhadap DPR dan sikapnya dalam menggeneralisasi seolah-olah semua anggota DPR adalah koruptor merupakan sikap yang ''membuat wajah '' kalangan DPR menjadi merah. Akibatnya, pandangan dan pemikirannya atas DPR mengundang reaksi negatif dari DPR yang memang bau sangit korupsi.
Artikulasi Busyro pada Lebaran kali ini merupakan benang merah atas kekecewaannya melihat korupsi merajalela. Akibatnya lagi, Busyro dianggap DPR sedang membentuk opini dan menebar kebencian terhadap lembaganya.
Busyro, kata Basarah, harusnya sepakat bahwa proses penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di Indonesia paralel dengan agenda penguatan struktur dan sistem ketatanegaraan. Karena tidak mungkin hanya KPK yang akan mengurus republik ini sendirian.
Apapun pandangan Basarah, nampaknya Busyro tak akan perduli, dan Busyro punya hak untuk bersikap kritis sekaligus sinis atas kondisi kehidupan berbangsa bernegara saat ini, agar pemerintah mau mawas diri dan tegas membasmi korupsi. [berbagai sumber]

Tidak ada komentar: