MAKASSAR--Unjuk
rasa di Jalan Perintis Kemerdekaan (Pintu I Unhas) yang berujung
penjarahan, pengrusakan hingga pembakaran sebuah mobil, dan penganiayaan
terhadap seorang petugas keamanan menjadi sorotan tajam kalangan
akademisi. Mereka menilai oknum yang melakukan tindakan tersebut
bukanlah demonstran, tetapi perusuh.
Karena itu oknum mahasiswa yang melakukan tindakan tersebut harus ditindak secara hukum. Pengamat Hukum, Prof. Achmad Ali, mengatakan, saat era orde baru atau saat dirinya masih berstatus mahasiswa tidak ada aksi-aksi seperti itu. Aksi demontrasi dilakukan secara baik-baik. Mahasiswa berorasi di sebuah mimbar dengan kalimat-kalimat yang baik.
Mahasiswa yang ingin berunjukrasa ke luar kampus pun untuk membawa petisi ke DPRD, dibatasi. Hanya diwakilkan sekitar 20-an orang mahasiswa. Meski demikian, dikisahkannya, mahasiswa tetap ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara tanpa terlebih dulu diadili. Bahkan, setelah dilepas, kata maaf pun tidak ada.
Menurut hukum, kata Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini, unjuk rasa atau demo merupakan Hak Asasi Manusia. Itu ditegaskan dalam undang-undang. Siapa yang menghalangi aksi unjuk rasa, berarti melanggar hukum. "Tapi ingat, yang saya maksud unjuk rasa, bukan perusuh atau tindakan anarkis," terang mantan Komisioner Hak Asasi Manusia ini.
Ditambahkannya, di dalam undang-undang dijelaskan definisi unjuk rasa dan itu demokrasi. "Tetapi, yang terjadi dan saya heran (aksi di Unhas). Biasanya Unhas tidak seperti itu. Biasanya kampus yang lain dulu baru Unhas. (Ini) Langsung sangat
anarkis dan membakar mobil. Karena itu perlu kita pisahkan, mana demo atau unjuk rasa dan mana perusuh. Kalau sudah membakar mobil, merusak barang atau mengganggu ketertiban umum, itu sudah perusuh. Di negara manapun seperti itu," tandasnya.
Dalam setiap aksi ada rambu-rambu hukum setiap tindakan yang perlu ditaati. Memang, antara demo dan anarkis perbedaannya sangat tipis. Tapi, yang tipis itulah dipertahankan saat membawakan suara (aspirasi). "Saya pikir (aksi di Unhas) bukan suara mahasiswa secara keseluruhan. Tapi, ada satu atau dua orang provokator. Sehari sebelum demo, saya mengajar yang diikuti 400 orang mahasiswa. Ada yang bertanya mengenai kenaikan BBM dan bagaimana kalau mereka ingin menyalurkan aspirasi" Saya bilang silahkan. Itu hak demokrasi Anda. Tapi, dengan cara-cara yang demokratis. Tidak sampai merusak dan mengganggu ketertiban umum, apalagi sampai membakar mobil. Apakah si pemilik mobil itu yang akan menaikkan BBM. Apa hubungannya?," paparnya.
Perbuatan yang dilakukan oknum mahasiswa di depan Pintu I Unhas, diakuinya, jelas merupakan tindak pidana. Itu bisa kena dan masuk pasal 135 KUH Pidana, bisa masuk ke situ. Jelas dan pasti itu merupakan tindak kejahatan, tapi ingat bukan demonya. Tindakan anarkis merupakan suatu kejahatan. Namanya kejahatan, juga sama dengan koruptor. "Korupsi sama saja dengan mereka yang membakar mobil. Sama saja dengan pemerkosaan," imbuhnya.
Mengenai apakah korban pengrusakan sudah melapor atau belum, sambungnya, secara lisan baru pihak Pertamina yang menyampaikan. Itu disampaikan saat pihak Pertamina melakukan audiens dengan Kapolda. "Baru ada penyampaian ke Kapolda," timpalnya. Pengamanan terhadap sejumlah objek-objek vital, tutur Muhammad Siswa, sudah dilakukan. "Setiap ada tindakan anarkis, maka harus ditindak,"
Informasi yang didapatkan, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan. Bahkan, disinyalir ada lima nama yang diidentifikasi terlibat dalam kerusuhan tersebut. Hasil koordinasi jelang kenaikan BBM 1 April, mendatang, dan persetujuan serta arahan Asisten Operasional Mabes Polri, diperintahkan untuk dilakukan pengamanan SPBU secara terbuka. Petugas kepolisian akan dibantu dengan personil TNI dari Kodam VII Wirabuana.
Hasil rapat koordinasi sekitar pukul 13.30 Wita, kemarin, menyebutkan, Kapolrestabes dan Kapolres se Sulsel diperintahkan untuk melakukan koordinasi dengan Dandim setempat, dan menugaskan minimal dua personil Polri dan dua personil TNI untuk pengamanan terbuka 1 x 24 jam. Jika situasi keamanan berkembang dan rawan maka dapat menambah kekuatan personil polri dan TNI yang melaksanakan Pengamanan. (abg)
Karena itu oknum mahasiswa yang melakukan tindakan tersebut harus ditindak secara hukum. Pengamat Hukum, Prof. Achmad Ali, mengatakan, saat era orde baru atau saat dirinya masih berstatus mahasiswa tidak ada aksi-aksi seperti itu. Aksi demontrasi dilakukan secara baik-baik. Mahasiswa berorasi di sebuah mimbar dengan kalimat-kalimat yang baik.
Mahasiswa yang ingin berunjukrasa ke luar kampus pun untuk membawa petisi ke DPRD, dibatasi. Hanya diwakilkan sekitar 20-an orang mahasiswa. Meski demikian, dikisahkannya, mahasiswa tetap ditangkap. Dijebloskan ke dalam penjara tanpa terlebih dulu diadili. Bahkan, setelah dilepas, kata maaf pun tidak ada.
Menurut hukum, kata Guru Besar Fakultas Hukum Unhas ini, unjuk rasa atau demo merupakan Hak Asasi Manusia. Itu ditegaskan dalam undang-undang. Siapa yang menghalangi aksi unjuk rasa, berarti melanggar hukum. "Tapi ingat, yang saya maksud unjuk rasa, bukan perusuh atau tindakan anarkis," terang mantan Komisioner Hak Asasi Manusia ini.
Ditambahkannya, di dalam undang-undang dijelaskan definisi unjuk rasa dan itu demokrasi. "Tetapi, yang terjadi dan saya heran (aksi di Unhas). Biasanya Unhas tidak seperti itu. Biasanya kampus yang lain dulu baru Unhas. (Ini) Langsung sangat
anarkis dan membakar mobil. Karena itu perlu kita pisahkan, mana demo atau unjuk rasa dan mana perusuh. Kalau sudah membakar mobil, merusak barang atau mengganggu ketertiban umum, itu sudah perusuh. Di negara manapun seperti itu," tandasnya.
Dalam setiap aksi ada rambu-rambu hukum setiap tindakan yang perlu ditaati. Memang, antara demo dan anarkis perbedaannya sangat tipis. Tapi, yang tipis itulah dipertahankan saat membawakan suara (aspirasi). "Saya pikir (aksi di Unhas) bukan suara mahasiswa secara keseluruhan. Tapi, ada satu atau dua orang provokator. Sehari sebelum demo, saya mengajar yang diikuti 400 orang mahasiswa. Ada yang bertanya mengenai kenaikan BBM dan bagaimana kalau mereka ingin menyalurkan aspirasi" Saya bilang silahkan. Itu hak demokrasi Anda. Tapi, dengan cara-cara yang demokratis. Tidak sampai merusak dan mengganggu ketertiban umum, apalagi sampai membakar mobil. Apakah si pemilik mobil itu yang akan menaikkan BBM. Apa hubungannya?," paparnya.
Perbuatan yang dilakukan oknum mahasiswa di depan Pintu I Unhas, diakuinya, jelas merupakan tindak pidana. Itu bisa kena dan masuk pasal 135 KUH Pidana, bisa masuk ke situ. Jelas dan pasti itu merupakan tindak kejahatan, tapi ingat bukan demonya. Tindakan anarkis merupakan suatu kejahatan. Namanya kejahatan, juga sama dengan koruptor. "Korupsi sama saja dengan mereka yang membakar mobil. Sama saja dengan pemerkosaan," imbuhnya.
Mengenai apakah korban pengrusakan sudah melapor atau belum, sambungnya, secara lisan baru pihak Pertamina yang menyampaikan. Itu disampaikan saat pihak Pertamina melakukan audiens dengan Kapolda. "Baru ada penyampaian ke Kapolda," timpalnya. Pengamanan terhadap sejumlah objek-objek vital, tutur Muhammad Siswa, sudah dilakukan. "Setiap ada tindakan anarkis, maka harus ditindak,"
Informasi yang didapatkan, pihak kepolisian masih melakukan penyelidikan. Bahkan, disinyalir ada lima nama yang diidentifikasi terlibat dalam kerusuhan tersebut. Hasil koordinasi jelang kenaikan BBM 1 April, mendatang, dan persetujuan serta arahan Asisten Operasional Mabes Polri, diperintahkan untuk dilakukan pengamanan SPBU secara terbuka. Petugas kepolisian akan dibantu dengan personil TNI dari Kodam VII Wirabuana.
Hasil rapat koordinasi sekitar pukul 13.30 Wita, kemarin, menyebutkan, Kapolrestabes dan Kapolres se Sulsel diperintahkan untuk melakukan koordinasi dengan Dandim setempat, dan menugaskan minimal dua personil Polri dan dua personil TNI untuk pengamanan terbuka 1 x 24 jam. Jika situasi keamanan berkembang dan rawan maka dapat menambah kekuatan personil polri dan TNI yang melaksanakan Pengamanan. (abg)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar