Oleh: Dewi Aryani
RMOL
Terungkapnya berbagai kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) belakangan ini semakin membuktikan bahwa
korupsi sudah menjadi budaya yang terlegitimasi di Indonesia.
Menyedihkan. Betapa tidak, DPR adalah lembaga negara yang memegang
kedaulatan rakyat, tempat dimana harapan setiap warga negara untuk
mewujudkan tujuan bernegara.
Tentu saja tidak semua anggota
dewan berperilaku korup, tetapi berbagai kasus tersebut akan merusak
kepercayaan masyarakat terhadap pentingnya keberadaan negara.
Politik, Birokrasi, Hukum
Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa korupsi di Indonesia terjadi dalam tiga locus utama yaitu politik, birokrasi dan hukum. Di ketiga locus
tersebut korupsi tidak bersifat mandiri,sendirian, tetapi saling
berkelindan satu dengan lainnya. Tidak mengherankan jika kasus dugaan
korupsi yang dituduhkan kepada sejumlah anggota dewan juga melibatkan
pejabat birokrasi dan pejabat penegak hukum.
Kondisi ini bukan
hanya mempersulit proses pembarantasan korupsi, tetapi benar-benar telah
membentuk kejahatan korupsi yang terlembaga melalui organ-organ negara.
Korupsi yang terjadi di DPR dilakukan dalam produk peraturan
perundang-undangan yang sah sebagai kebijakan negara (corruption by policy). Korupsi yang seperti ini jelas akan membunuh cita-cita dan tujuan bernegara.
Korupsi
tidak lagi dipandang sebagai pelanggaran etika individual, melainkan
hanya sebuah pelanggaran etika sosial sebagai kesepakatan umum. Para
pejabat negara (anggota dewan, birokrat, penegak hukum) tidak merasa
bahwa korupsi merupakan pelanggaran etika individual yang harus
dihindari. Berkembangnya sikap semacam ini semakin berbahaya jika
terjadi di kalangan anggota dewan dan berkait dengan pejabat birokrasi
dan penegak hukum.
Korupsi yang terjadi di DPR bukanlah faktor
individual semata. Korupsi terjadi secara sistemik dan berada dalam
relasi sistem yang komplek. Sehingga upaya memutus mata rantai korupsi
di DPR tidak dapat dilakukan secara parsial dan mungkin juga tidak dalam
waktu yang singkat.
Ada empat faktor yang saling berkorelasi
dan bisa menjelaskan terjadinya korupsi di DPR. Pertama adalah faktor
mental-politik yang membentuk sikap mental, pola pikir, etika dan
perilaku anggota dewan. Faktor ini sangat fundamental karena akan
mempengaruhi penilaian seorang anggota dewan mengenai korupsi sebagai
pelanggaran individual dan sosial.
Mental Politik
Sikap
mental politik anggota dewan yang baik hanya bisa dilahirkan oleh
sebuah sistem partai politik yang memiliki meritokrasi politik. Selama
partai politik di Indonesia tidak memiliki idiologi yang kuat-yang
menentukan boleh tidaknya suatu keputusan dan perbuatan dilakukan-dan
tidak memiliki sistem proses kaderisasi yang memadai, maka selama itu
pula pola pikir, etika dan perilaku anggota sulit untuk dikontrol.
Pada
sisi lainnya, sikap mental anggota dewan yang menjadikan DPR sebagai
tempat untuk mencari nafkah, jelas tidak harmoni dengan tujuan dan
tuntutan etika demokrasi itu sendiri. Sikap mental mencari nafkah ini
bergelayut dengan idiologi parpol yang kedodoran, yang senantiasa
menjadikan anggota dewan sebagai mesin ATM partai politik. Seruan Ketua
Umum PDI Perjuangan, Megawati Sukarnoputri bahwa kader PDIP harus
menjadi pelopor pemberantasan korupsi harus di acungi jempol. Upaya DPP
PDI Perjuangan menyelenggarakan pendidikan politik patut diapresiasi dan
seharusnya menjadi cambuk bagi partai politik lainnya. Pendidikan
politik bisa menjadi salah satu pintu masuk perbaikan (juga
transformasi) mental model para politisi dan pemantapan ideologi,serta
mengembalikan 4 pilar kebangsaan (Pancasila, UUD 45, Bhinneka Tunggal
Ika, dan NKRI) menjadi nafas berbangsa dan bernegara.
Faktor
berikutnya yang mempengaruhi korupsi di DPR adalah faktor struktural.
Bekerjanya korupsi di DPR adalah fungsi ketidaksetaraan relasi antara
sistem birokrasi dan sistem politik. Proses pembentukan Undang-Undang
dan persetujuan politik lainnya selalu menempatkan posisi tawar DPR yang
lebih kuat dibandingkan posisi Pemerintah yang diwakili oleh para
menteri dan pejabat birokrasi. Meskipun harus diakui, jika proses
pembentukan Undang-Undang dianalogikan berada dalam sebuah "pasar", maka
DPR adalah pasar yang besar (gigantic market)
tempat bertemunya transaksi ekonomi politik antara anggota-anggota
dewan dengan para menteri, pejabat-pejabat eselon I dan II di
kementerian. Karena kedudukan dan posisi tawar pemerintah biasanya lebih
lemah, maka membayar mahal harga sebuah Undang-Undang dan keputusan
politik kepada anggota dewan adalah hal lazim -dan mungkin harus-
dilakukan.
Pertanyaan yang harus diajukan lebih lanjut adalah
mengapa kedudukan dan posisi tawar pemerintah lebih rendah dibandingkan
DPR. Tidak sulit untuk mencari jawaban terhadap hal tersebut. Pertama,
reformasi birokrasi yang tidak pernah berjalan secara optimal
menyebabkan paradigma "proyek" dalam pembentukan Undang-Undang masih
mendominasi cetak pikir dan perilaku para pejabat birokrasi. Kedua,
persetujuan anggaran untuk birokrasi tidak bisa tidak harus dilakukan
oleh DPR. Gigantic market DPR adalah pasar yang tidak sempurna dan
menyebabkan korupsi dalam pembentukan Undang-Undang, persetujuan
anggaran dan berbagai persetujuan lainnya. Dalam banyak kasus dana
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, seringkali persetujuan DPR berada
dalam relasi komplek yang berpotensi menyebabkan korupsi.
Ketiga
adalah faktor instrumental. Proses pembentukan Undang-Undang seringkali
tidak memiliki sasaran yang jelas dan tepat. Setiap kementerian
berlomba-lomba untuk mengajukan Rancangan Undang-Undang. Demikian pula
DPR tidak kalah lajunya melakukan hal ini. Grand design penyusunan
Undang-Undang tidak memiliki visi, arah pertumbuhan dan keterkaitan satu
sama lainnya.
Jadi kemanakah rantai ujung korupsi?
Penulis adalah kandidat doktor dari Universitas Indonesia dan anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar