Salmah Muslimah - detikNews
Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukum
Yayasan Supersemar kembali menuai perdebatan, sebab dalam amar putusan
terdapat salah ketik nominal yang seharusnya Rp 185 miliar malah
tertulis Rp 185 juta. Kejaksaan sebagai tim eksekutor tetap berpikir
positif tidak ada markus dalam kasus ini.
"Kita positif thinking
saja lah, ada salah ketik," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara (Jamdatun), ST Burhanuddin kepada wartawan di kantornya, Senin
(22/7/2013).
Burhanuddin mengatakan, pihaknya telah berkordinasi
dengan MA terkait masalah ini. MA merekomendasikan untuk melakukan upaya
hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK).
"Sudah koordinasi, jalan keluarnya adalah PK itu. Dari MA memutuskan PK saja," ujar Burhanuddin.
Seperti
tertuang dalam berkas kasasi nomor 2896 K/Pdt/2009, Negara Republik
Indonesia menggugat Yayasan Supersemar dan Soeharto yang diwakili ahli
warisnynya. Negara Republik Indonesia yang diwakili Kejaksaan Agung
(Kejagung) menggugat Yayasan Supersemar yang diketuai oleh Soeharto
telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Yaitu lewat Peraturan
Pemerintah (PP) No 15/1976 menentukan 50 persen dari 5 persen dari sisa
bersih laba bank negara disetor ke Yayasan Supersemar. Bermodal PP ini,
Yayasan Supersemar sejak 1976 hingga Soeharto lengser, mendapatkan uang
sebesar USD 420 ribu dan Rp 185 miliar.
Dalam perjalanannya dana tersebut yang seharusnya untuk membiayai dana pendidikan rakyat Indonesia diselewengkan.
Pada
27 Maret 2008, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel)
mengabulkan gugatan Kejagung dan menghukum Yayasan Supersemar membayar
ganti rugi kepada Negara republik Indonesia sebesar USD 105 juta dan Rp
46 miliar. PN Jaksel menyatakan Yayasan Supersemar telah melakukan
perbuatan melawan hukum.
Putusan ini dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi Jakarta pada 19 Februari 2009. Nah di tingkat kasasi, putusan ini
diperbaiki namun terjadi kesalahan ketik.
Dalam putusan yang
diketok pada 28 Oktober 2010 itu, seharusnya nilai 75 persen x Rp 185
miliar. Angka Rp 185 miliar itu sesuai dengan tuntutan Kejagung. Entah
kenapa, Rp 185 miliar ini berubah menjadi Rp 185 juta dan hasil akhirnya
denda yang seharusnya Rp 138 miliar menjadi Rp 138 juta.
"Ada
salah ketik. Seharusnya Rp 185 miliar karena tidak terketik tiga angka
nol menjadi Rp 185 juta," kata Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha
Negara (Jamdatun), ST Burhanuddin kepada wartawa di kantornya, Jumat
(19/7).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar