Jpnn
JAKARTA -
Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengapresiasi
diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 2 Tahun 2012
Tentang Penyesuaian Batasan Tindak ringan dan Jumlah Denda. Menurut
Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai, upaya Mahkamah Agung (MA) itu
merupakan bagian dari reformasi peradilan pidana yang selama ini
pengaturannya sudah tidak sesuai dengan kondisi saat ini dan merupakan
upaya percepatan terhadap proses peradilan pidana.
Hanya saja, kata Semendawai, upaya yang dilakukan MA harusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Pasalnya, keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana.
“Dengan tidak dimasukkannya tindak pidana ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku, seharusnya perlu dipikirkan nasib korbannya. Bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku tidak di proses hukum?” kata Semendawai di Jakarta, Jumat (2/3).
Karenanya, ia berharap Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan lainnya yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana.”Pendekatan perspektif restorative justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di Indonesia,” pintanya.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana saat ini telah diatur dalam sejumlah peraturan. Salah satunya adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatakan Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. “Jika kasus tindak pidana ringan tidak masuk pengadilan, bagaimana korban dapat mengajukan haknya?” ucapnya. Ketua LPSK.
Semendawai melanjutkan dengan adanya PERMA tersebut, perlu dipastikan agar proses peradilan dalam kasus yang masuk kategori Tindak Pidana Ringan itu berjalan dengan lancar, selain itu perlu dibuat aturan lebih lanjut mengenai penyelesaian kasus Tindak Pidana Ringan yang dapat dilakukan melalui Mediasi.
”Dengan mekanisme mediasi, penyelesaian penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan persetujuan korban, sehingga hak korban tetap tidak terabaikan dan dapat meminimalisir tindakan main hakim sendiri jika korban tidak puas terhadap proses peradilan,” pungkasnya. (awa/jpnn)
Hanya saja, kata Semendawai, upaya yang dilakukan MA harusnya diimbangi dengan pengaturan perlindungan terhadap korban. Pasalnya, keberadaan korban tindak pidana selama ini luput dari keadilan dalam proses penanganan tindak pidana.
“Dengan tidak dimasukkannya tindak pidana ringan ke pengadilan dan dibebaskannya pelaku, seharusnya perlu dipikirkan nasib korbannya. Bagaimana korban dapat ganti rugi dan keadilan bila pelaku tidak di proses hukum?” kata Semendawai di Jakarta, Jumat (2/3).
Karenanya, ia berharap Mahkamah Agung dapat mengeluarkan peraturan lainnya yang berpihak pada keadilan korban tindak pidana.”Pendekatan perspektif restorative justice seharusnya digunakan dalam setiap pengaturan dan penanganan tindak pidana di Indonesia,” pintanya.
Perlindungan terhadap korban tindak pidana saat ini telah diatur dalam sejumlah peraturan. Salah satunya adalah Pasal 7 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatakan Korban melalui LPSK berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi atau ganti kerugian yang menjadi tanggung jawab pelaku tindak pidana. “Jika kasus tindak pidana ringan tidak masuk pengadilan, bagaimana korban dapat mengajukan haknya?” ucapnya. Ketua LPSK.
Semendawai melanjutkan dengan adanya PERMA tersebut, perlu dipastikan agar proses peradilan dalam kasus yang masuk kategori Tindak Pidana Ringan itu berjalan dengan lancar, selain itu perlu dibuat aturan lebih lanjut mengenai penyelesaian kasus Tindak Pidana Ringan yang dapat dilakukan melalui Mediasi.
”Dengan mekanisme mediasi, penyelesaian penanganan tindak pidana ringan dapat dilakukan dengan persetujuan korban, sehingga hak korban tetap tidak terabaikan dan dapat meminimalisir tindakan main hakim sendiri jika korban tidak puas terhadap proses peradilan,” pungkasnya. (awa/jpnn)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar