REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak)
terus menggencarkan gerakan anti-korupsi di lingkungan internalnya.
Berbagai langkah dan terobosan dilakukan demi mewujudkan penyelenggaraan
pajak yang lebih akuntabel dan profesional. Namun, semangat untuk
memberantas korupsi kembali ternoda. Publik kembali dikejutkan dengan
penangkapan oknum pegawai pajak berinisial AS dan TH.
Ketua
Dewan Syuro Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), Jalaludin
Rahmat menilai penangkapan tersebut sebagai peringatan bagi Ditjen
Pajak. “Penangkapan itu merupakan warning bahwa di dalam perpajakan
masih ada oknum yang menggunakan kewenangannnya untuk kemakmuran
pribadi,” kata dia.
Terbongkarnya kasus korupsi ini tak terlepas dari peran whistleblowing system.
Dengan whistleblowing system, pelaku atau calon pelaku akan merasa
terancam dengan kehadiran orang lain yang mengetahui atau ingin
mengetahui kekayaannya. Ancaman hukuman yang berat juga diharapkan dapat
memaksa calon pelaku untuk mengurungkan niat melakukan pelanggaran.
Jalaludin
mengapresiasi upaya pembongkaran kasus korupsi melalui whistleblowing
system. ”Whistleblowing system sudah bagus untuk mencegah peluang
terjadinya korupsi, “ ungkapnya. Terlepas dari bagusnya sistem tersebut,
dia kembali mengingatkan bahwa untuk membangun whistleblowing system
tidak bisa hanya sebentar.
Dia menambahkan pencegahan korupsi
tidak hanya dengan whistleblowing system, tapi juga membutuhkan peran
masyarakat. ”Ya harus ada peran masyarakat untuk mencegah korupsi.
Contohnya dengan membentuk special group mungkin bisa dari partai
politik (parpol) . Nantinya, parpol akan menekan dan mengawasi
pegawai-pegawai pajak agar berlaku jujur,” ujarnya.
Bukan hanya
itu, menurutnya, gerakan anti korupsi juga harus diterapkan ke seluruh
lapisan pegawai pajak. “Gerakan pemberantasan korupsi masih pilih-pilih.
Karena itu, Ditjen Pajak harus berani menjangkau ke level yang lebih
tinggi” lanjut dia. Jika, upaya tersebut telah dilakukan, tentunya
harus dibarengi dengan tindakan tegas dan peluang untuk korupsi harus
ditutup.
Ditjen Pajak memang tidak main-main dalam gerakan reformasi birokrasi
yang digalakkan. Langkah ini sudah dimulai sejak 2002 melalui
penerapan hukuman disiplin kepada pegawai yang menyalahgunakan
wewenang. Lima tahun terakhir, jumlah pegawai yang terkena sanksi
disiplin terus meningkat signifikan.
Pada 2007, jumlah pegawai
yang terkena sanksi disiplin sebanyak 196 orang. Angka itu berlipat
ganda pada tahun 2008 menjadi 406 orang. Pada 2009 dan 2010
berturut-turut Ditjen Pajak memberikan sanksi disiplin kepada 516 dan
657 pegawai. Sedangkan sepanjang 2012 ini, sudah ada 39 pegawai yang
dijatuhkan sanksi.
Reformasi birokrasi ini juga dilakukan
terhadap 32 ribu pegawai yang tersebar pada 571 kantor di seluruh
Indonesia. Dengan adanya pembenahan sistem ini maka diharapkan dapat
meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat. Langkah ini pun mendapat
sambutan positif oleh Jalaludin “Saya mengapresiasi kalau sudah ada
reformasi perpajakan. Namun, Ditjen Pajak seharusnya tidak hanya
berfokus pada peningkatan pengumpulan dana tapi juga pengelolaan hasil
pajak,” kata tokoh agama lulusan Australian National University.
Dia
menambahkan, reformasi perpajakan juga harus dibarengi dengan
kepercayaan dan kesadaran dari masyarakat untuk membayar pajak.
“Membayar pajak adalah kewajiban bagi setiap warga negara,'' kata dia.
Jalaludin
juga mengaku puas dengan pelayanan pajak saat ini dan sudah ada upaya
dari Ditjen Pajak untuk lebih proaktif menarik pajak. “Pelayanan sudah
bagus. Kita malah yang dikejar-kejar untuk membayar pajak. Pelayanan
pajak juga sudah ada di mal-mal dan restoran” kata dia. (adv)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar