RMOL. Setahun mendekati pemilu, mulai banyak lembaga survei
yang mengeluarkan survei tentang calon presiden (capres) dan partai
politik (Parpol). Banyak mempertanyakan keabsahan hasil survei lembaga
tersebut.
Survei teranyar minggu ini, dirilis oleh sebuah kajian
kelompok politik. Tiba-tiba saja kelompok tersebut mengeluarkan
survei tentang peluang tokoh militer yang layak menjadi capres pada
Pemilu 2014. Survei ini menggunakan responden mahasiswa.
Hasil
survei itu menempatkan tokoh militer, yakni Sutiyoso, Djoko Suyanto dan
Wiranto pada posisi tiga teratas daftar capres militer potensial 2014.
“Ketiga
tokoh itu dapat nilai tertinggi dari 10 nama perwira dan bekas perwira
tinggi militer lainnya yang disurvei,” ujar salah satu petinggi di
lembaga survei tersebut di Jakarta, kemarin.
Namun, banyak
kalangan yang mempertanyakan hasil survei penelitian lembaga ini. Sebab,
metode survei ini sangat berbeda dengan survei capres lainnya. Dalam
hasil survei dari berbagai lembaga selama tahun 2012, biasanya nama
bekas Danjen Kopassus Prabowo Subianto selalu masuk tiga besar, tapi
dalam survei ini bahkan tidak masuk tiga besar.
Pengamat politik
Universitas Islam Asyafiiyah Masriadi Pasaribu mengaku sudah tidak
percaya dengan hasil survei. Alasannya, lembaga survei sudah
terkontaminasi dengan kepentingan materialistis pemiliknya.
Masriadi
bilang, mayoritas hasil survei yang dikeluarkan sekarang ini pesanan.
Dia mengaku tahu banyak mengenai kebobrokan lembaga survei tersebut.
“Survei untuk capres itu biasanya dipesan dengan harga Rp 1 miliar.
Sedangkan untuk pemilihan kepala daerah masih bisa di bawah Rp 1
miliar,” ungkapnya.
Menurut dia, lembaga survei di Indonesia
sudah tidak fair dalam memilih sample/responden. Responden yang
dilibatkan dalam survei mayoritas merupakan kelompok yang didesain untuk
kepentingan pemesan.
“Mendekati pilpres akan menjamur lembaga
survei karbitan yang mencari proyek musiman. Disamping tentunya lembaga
survei lama yang mengeluarkan hasil survei ajaib alias pesanan ,”
sindirnya.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP Syaifullah
Tamliha menilai, lembaga survei tidak bisa lagi dijadikan sebagai
parameter untuk menggambarkan elektabilitas capres ataupun parpol.
Lembaga survei sata ini sangat komersil.
Dia menyatakan, lembaga
survei pesanan mudah identifikasi. Salah satunya, dari jumlah
responden. “Kalau jumlah responden ribuan itu pasti pesanan. Karena
nggak mungkin lembaga survei melibatkan responden ratusan responden
karena biayanya mahal. Memang hidup dari mana lembaga survei. Pasti ada
donaturnya,” kata dia.
Syaifullah mengharapkan ke depan
Undang-Undang Pemilu bisa mengatur keberadaan lembaga survei secara
rinci. Dalam Undang-Undang Pemilu, lembaga survei hanya boleh
mengeluarkan survei hanya yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum dan
Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu).
Selain itu, lembaga survei
yang boleh mengumumkan survei kepada publilk hanya yang memiliki
struktur organisasi yang jelas dan lengkap. Lembaga survei yang hanya
punya struktur Direktur harus dilarang mengumumkan survey kepada publik.
“Masak
lembaga survei struktur organisasi hanya direktur, kan aneh. Terus
mengeluarkan hasil survey hanya menjelang pemilu. Ini pasti lembaga
karbitan,” pungkasnya. Karena itu, masyarakat diharap tidak mudah dengan
berbagai hasil survei saat ini.
Yang Ketahuan Dibayar, Harusnya Ditindak Dong
Miryam Haryani, Wasekjen DPP Partai Hanura
Sebagai
anggota DPR saya kesal dengan hasil survei yang keluar belakangan ini.
Survei yang muncul belakang ini kental bau pesanannya. Menjelang pemilu
lembaga survei pesanan pasti akan menjamur.
Mendekati pemilu
lembaga survei pesanan akan banyak bermain mengenai survei elektabilitas
capres dan elektabilitas partai politik. Survei mengenai capres dan
parpol memang menggiurkan dan bisa mendatangkan profit.
Jujur
kalangan politisi dan masyarakat awam sebenarnya sudah apatis dan
meragukan kredibilitas sejumlah lembaga survei. Publik banyak ragu
dengan metodologi akademis yang diimplementasikan lembaga survei. Banyak
orang tahu hasil suvei sekarang terlihat sangat subjektivif dan kental
keberpihakan terhadap kepentingan kelompok tertentu. Sebenarnya
mengetahui hasil sekilas saja, kita bisa mereka-reka mana hasil survei
pesanan dan mana yang objektif.
Saya berharap menjelang pemilu
masyarakat kita semakin cerdas dan kritis. Toh saya yakin masyarakat
juga tidak akan terpengaruh dengan hasil survei. Masyarakat kita
sekarang ini sudah punya penilaian sendiri tentang politisi, parpol dan
capres yang akan dipilihnya.
Harapan saya sebagai anggota DPR, ke
depan bisa segera lahir undang-undang yang mengatur lembaga survei.
Undang-undang sangat penting untuk menghindari pembohongan publik dan
penggiringan opini. Lembaga survei yang nantinya melanggar etika dan
metodelogis harus dikenai sanksi.
Lembaga survei ketika ketahuan
tidak objektif, tidak independen, dan ketahuan dibayar untuk menjatuhkan
pihak tertentu harus ditindak. Tindakan yang paling ringan bagi lembaga
survei nakal mungkin peringatan, sedangkan sanksi beratnya pembubaran.
Ke depan izin pendirian lembaga survei juga harus diperketat, jangan
sampai ada lagi lembaga survei yang muncul hanya sewaktu mendekati
pemilu.
Survei Jatuhkan Lawan Politik Bakal Laku Keras Ray Rangkuti, Direktur Eksekutif, Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima)
Tidak
menutup kemungkinan menjelang pemilu akan banyak lembaga survei pesanan
yang beredar di masyarakat. Soalnya, menjelang pemilu seperti sekarang
lembaga survei kerap dimanfaatkan bukan hanya untuk mengukur tinggat
popularitas individu ataupun kelompok, tetapi juga dimanfaatkan untuk
menjatuhkan kalangan tertentu.
Sejatinya, survei itu karya
akademik yang dihasilkan dengan metode ilmiah dan memiliki kode etik .
Namun kita juga tidak bisa memungkiri kalau lembaga-lembaga survei
berhak menjalankan fungsi manajemen ekonomi.
Kita pantas binggung
dengan lembaga-lembaga survei sekarang, pasalnya banyak diantara mereka
merilis survei yang hasilnya sulit diterima logika. Padahal metode yang
digunakan lembaga survei sudah ada standar ilmiah.
Tegoklah
perbedaan hasil survey yang belakangan ini muncul. Misalnya survei
Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), dimana ada parpol-parpol
tertentu yang dilembaga survei lain naik, namun di lembaga survei ini
justru mengalami penurunan tanpa ada alasan yang jelas.
Saya
berharap, ke depan semua lembaga survei bisa lebih bertanggungjawab
dengan mematuhi kode etik intelektual. Sah-sah saja survei dipesan untuk
mengukur elektabilitas dan popularitas calon kontestan pemilu. Asalkan
hal itu dilakukan secara jujur dan apa adanya.
Memang tidak bisa
melarang lembaga survei mencari nilai ekonomis. Mereka mendapatkan
penghargaan atas kerjanya. Tetapi tetap harus bisa berpegang teguh
kepada realita dan fakta. Survei tidak boleh merekayasa sedemikian rupa.
Survei yang melakukan rekayasa hasil adalah bentuk pembohongan publik
dan pembodohan. survei model ini harus tertibkan. [Harian Rakyat
Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar