Ramalan Kemendagri Selama 8 Tahun Terakhir
RMOL. Praktik korupsi di daerah semakin merajalela. Kepala daerah
yang terjerat kasus hukum pun terus bertambah. Kemendagri meramalkan,
hingga akhir tahun 2013 total kepala daerah yang terjerat kasus korupsi
mencapai 300.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Dirjen Otda)
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Djohermansyah Djohan
mengungkapkan, sejak tahun 2004 sampai Februari 2013, sudah ada 291
kepala daerah, baik gubernur/bupati/walikota yang terjerat kasus
korupsi.
Rinciannya, kata Djohan, Gubernur 21 orang, Wakil
Gubernur 7 Orang, Bupati 156 orang, Wakil Bupati 46 orang, Walikota 41
orang dan Wakil Wali-kota 20 orang. Jumlah itu mereka yakini akan
membengkak hingga 300 akhir tahun ini.
“Jumlah 291 tersebut sudah
termasuk Gubernur RZ yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
kemarin. Saya yakin jumlahnya akan bergerak terus sampai 300 orang,”
ungkap Djohermansyah kepada Rakyat Merdeka di Jakarta, kemarin.
Djohan
membeberkan, selain kepala daerah, korupsi di daerah juga menjerat
anggota parlemen. Dia mengungkapkan, anggota legislatif yang terjerat
korupsi di DPRD kabupaten/kota tercatat sebanyak 431 orang dan DPRD
Provinsi 2.545.
“Jumlah itu 6,1 persen dari total 18.275 anggota DPRD se-Indonesia,” bebernya.
Djohan
menyatakan, jumlah aparatur pemerintah di bawah kepala daerah yang
terlibat korupsi juga tinggi, mencapai lebih dari 1.200 orang. Biasanya,
aparatur di bawah kepala daerah ikut terlibat praktik korupsi karena
terseret perbuatan kepala daerah.
“Apaatur birokrasi yang
terseret jumlahnya saat ini 1.221 orang. Yang telah berstatus tersangka
185 orang, terdakwa 112 orang dan terpidana 877 orang. Sedangkan yang
masih saksi mencapai 46 orang,” ungkapnya.
Berdasarkan kajian
Kemendagri, kata Djohan, banyaknya kepala daerah yang terlibat korupsi
merupakan hasil dari pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung. Untuk
bertarung di pilkada, calon kepala daerah terpaksa mengeluarkan ongkos
politik yang mahal.
“Tidak bisa dipungkiri bahwa biaya politik
pilkada langsung sangat mahal. Makanya berbagai cara dilakukan kepala
daerah untuk memenuhi kebutuhan biaya politik,” jelasnya.
Menurut
dia, biaya politik tak hanya besar saat pencalonan dan kampanye.
Setelah calon kepala daerah berhasil mendapatkan jabatan, mereka juga
harus mengeluarkan biaya besar untuk memelihara konstituen dan membayar
duit balas jasa terhadap partai politik (parpol) pengusung.
“Penyalahgunaan
wewenang banyak terjadi proyek pelaksanaan barang dan jasa. Program
pelaksanaan barang dan jasa hasilnya sering digunakan membiayai
konstituen dan parpol pendukung, serta mengembalikan modal politik. Ini
hasil hipotesa kami,” bebernya.
Pengamat Politik Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro tidak terkejut melihat tingginya
angka korupsi kepala daerah. Menurut dia, sistem multi partai dan
pilkada langsung adalah pemicu utama kepala daerah melakukan korupsi.
“Pemilihan
langsung membuat cost politik besar. Selain memikirkan rakyat, kepala
daerah juga harus amankan partai, konstituen dan tim sukses ,” ujarnya
kepada Rakyat Merdeka, kemarin.
Menurut Siti, sistem
pemilihan langsung yang ada saat ini sudah berada di luar koridor.
Sistem yang awalnya bertujuan menciptakan pemimpin yang membawa amanah
dari masyarakat, justru sebaliknya.
Siti menyatakan, untuk
menekan praktik korupsi di daerah hanya bisa dilakukan dengan reformasi
di birokrasi dan partai. Untuk reformasi birokrasi, kata dia, kepala
daerah harus melakukan penataan perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
“Ke depan, rekrutmen PNS harus dilakukan lebih transparan,” katanya.
Sedangkan
untuk reformasi di parpol, kata Siti, parpol dalam mengusung kepala
daerah tidak boleh lagi menjadikan uang dan materi sebagai instrumen
utama mendukung calon kepala daerah.
“Parpol harus mulai
menetapkan calon kepala daerah dengan profesional. Berdasarkan
kompetensi dan kemampuan leadership. Bukan banyak atau sedikitnya uang
yang disetor sebagai mahar,” pungkasnya.
Konsep Otda Mesti Direvisi
Malik Haramain, Anggota Komisi II DPR
Maraknya
kasus korupsi yang dilakukan kepala daerah di negeri ini sudah
memprihatinkan. Salah satu faktor pemicu korupsi adalah mahalnya ongkos
politik saat Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada).
Sejujurnya,
besarnya ongkos politik tidak terlepas dari tiga faktor. Pertama
masalah regulasi. Ketiadaan regulasi yang mengatur besaran dana yang
digunakan dalam kampanye membuat kandidat yang bertarung dalam pilkada
adu jor-joran menggelontorkan dana.
Kedua, lemahnya pengawasan
dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)
ketika kampanye. Seharusnya sejak resmi maju di pilkada dan setelah
kampanye, harta kekayaan seluruh calon kepala daerah diaudit oleh
auditor independen. Dari situ KPU bisa mengetahui ada atau tidaknya
kejanggalan dalam penggunaan dana kampanye.
Ketiga, penyebab
korupsi, yakni kepala daerah tidak berhati-hati dan kurang mengerti
prosedur penganggaran di daerah. Biasanya pejabat model ini, mereka
tidak menikmrati uang hasil korupso, tapi karena tak mengerti dalam
membuat kebijakan akhirnya mereka terperangkap terlibat korupsi.
Selain
ketiga faktor itu, otonomi daerah (otda) juga memicu terjadinya
perilaku korup. Dengan adanya otda, kepala daerah jadi memiliki wewenang
dan momentum untuk melakukan korupsi, karena kewenangan penuh mengelola
dana daerah. Dengan kewenangan yang besar, pejabat bisa tergiur melihat
anggaran jumbo.
Namun, otda tidak bisa disalahkan dan dijadikan
penyebab utama adanya serangkaian kasus hukum yang dilakukan oleh kepala
daerah. Konsep otonomi daerah sudah bagus dan cukup ideal. Hanya
memang masih terdapat hal yang perlu direvisi seperti kontrol yang
dilakukan dari tingkat provinsi, yakni oleh gubernur, agar otoritas
bupati/wali kota sesuai prosedur.
Saat ini, Komisi II DPR sedang
melakukan Revisi Undang-Undang Pemerintah Daerah (RUU Pemda). Dalam RUU
Pemda nantit akan diatur mengenai pembatasan dana kampanye. DPR telah
sepakat membatasi total dana yang digunakan dalam proses politik. Namun
soal besaran dana kampanye, sedang kita musyawarahkan.
Libatkan KPK & PPATK Dalam Penegakan Hukum
Roy Salam, Peneliti Indonesia Budget Center (IBC)
Putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus aturan tentang pemeriksaan
kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi harus melalui izin Presiden,
harus dijadikan semangat oleh penegak hukum di daerah untuk lebih
berani menindak kepala daerah nakal.
Selama ini kan penegak hukum
di daerah baik Kepolisian maupun Kejaksaan selalu beralasan menunggu
surat izin presiden, sehingga sering lamban mengusut kasus korupsi jika
melibatkan kepala daerah.
Dengan tidak diperlukannya lagi izin
Presiden, tidak ada lagi alasan bagi aparat penegak hukum seperti
Kejaksaan atau Kepolisian untuk tidak segera menangani kasus korupsi
yang melibatkan kepala daerah.
Selain pentingnya peran
Kejaksaan dan Kepolisian dalam mengungkap kasus korupsi di daerah, peran
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) juga perlu dimaksimalkan.
KPK dan
PPATK, saya imbau ikut terlibat langsung memantau penanganan kasus-kasus
hukum kepala daerah. Tujuannya, untuk meminimalisir adanya praktik
transaksional mafia hukum oleh aparat penegak hukum di daerah dengan
kepala daerah.
Saran saya, apabila ada penanganan kasus korupsi
di daerah yang ditangani Kejaksaan dan Kepolisian lamban, maka KPK perlu
turun tangan. [Harian Rakyat Merdeka]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar