Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi I DPR Effendy Choirie mengecam keras LSM asing Greenpeace yang dinilainya membawa agenda tersembunyi ke Indonesia.

Oleh karena itu, dalam waktu dekat Komisi I DPR akan memanggil Greenpeace serta instansi pemerintah terkait. Pemanggilan ini sangat penting agar aktivitas Greenpeace di Indonesia tidak ilegal.

"Habis reses, ini akan diagendakan. Kita akan memanggil BIN (Badan Intelijen Negara), Kejaksaan dan lembaga pemerintah terkait lainnya. Selama ini, pengawasan intelijen terhadap aktivitas lembaga asing di Indonesia sangat lemah," kata Gus Choi, panggilan akrab Effendy, di Jakarta, Rabu.

"Jangan sampai mereka merasa menjadi LSM yang kebal hukum. Kalau sudah lengkap datanya (melanggar hukum Indonesia), mereka pulang kampung saja," kata Effendy dalam diskusi wartawan DPR bertajuk "Membongkar Motif LSM Asing, Studi Kasus  Greenpeace" di Gedung DPR.

Gus Choi memaparkan hal ini menyikapi fakta yang tersembunyi di balik agenda Greenpeace di Indonesia. Dia semakin curiga sebab Greenpeace merupakan bagian dari jaringan LSM internasional. Menurut dia, Greenpeace memiliki kesetiaan pada lembaga donor internasional.

Meski Greenpeace membawa isu yang seolah-olah menyelamatkan lingkungan, namun sesungguhnya mereka membawa agenda-agenda tersembunyi lain, utamanya merusak perekonomian nasional.

"Greenpeace jelas membawa agenda tersembunyi menjatuhkan perekonomian nasional. Ini sangat membahayakan kepentingan nasional," ujar Gus Choi berapi-api.

Pengamat intelijen Wawan Purwanto juga sepakat dengan kecaman keras yang dilontarkan Effendy. Menurut Wawan, Indonesia yang memiliki sumber daya alam melimpah saat ini memang sedang diincar negara maju.

Tekanan demi tekanan kerap dilancarkan pihak asing untuk menghancurkan perekonomian Indonesia. Ini terkait dengan persaingan bisnis  internasional.

Apalagi sejumlah produk pertanian dan perkebunan Indonesia kini menguasai pasar dunia, diantaranya kakao, karet dan minyak sawit. Kekhawatiran negara-negara maju semakin bertambah karena tahun 2030, perekonomian Indonesia diramalkan menjadi terbesar kelima di dunia.

"Karena itu tekanan itu dilakukan di berbagai sektor seperti ekonomi, politik, dan lainnya. Kita sadari Greenpeace memang melakukan itu. Karenanya, menurut saya, harus ada kebijakan pemerintah yang tegas. Jangan bergeser hanya karena ada data dari Greenpeace yang validitasnya masih diragukan," kata Wawan.

Wawan juga menyoroti ulah Greenpeace yang tidak tunduk pada hukum di Indonesia. Salah satu buktinya, Greenpeace tidak pernah mendaftar, apalagi melaporkan kegiatannya ke Kesbangpol Pemprov DKI Jakarta sebagaimana diamanatkan UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Sementara moderator diskusi tersebut, S Hidayatullah menyesalkan banyaknya donatur di Indonesia yang menyumbang kegiatan Greenpeace. Jumlahnya mencapai 30.000 orang. Jika tiap donatur menyumpang Rp75.000, maka Greenpeace mendapatkan dana Rp 22,5 miliar per bulan. Celakanya, dana tersebut justru digunakan untuk mengobok-obok kepentingan nasional.

"Alangkah baiknya dana tersebut disumbangkan untuk fakir miskin dan anak-anak terlantar. Dan ini adalah penjajahan gaya baru. Setelah VOC dan IMF, kuat dugaan Greenpeace adalah model baru penjajahan asing ke Indonesia," kata penulis buku "Menguak Dusta-Dusta Greenpeace" itu.

Sebelumnya ketika dikomfirmasi, Juru kampanye Media Greenpeace Asia Tenggara Hikmat Soeriatanuwijaya menyatakan seluruh aktivitas dan keberadaan Greenpeace sebagai organisasi yang bergerak di bidang penyelamatan lingkungan telah memenuhi aspek legalitas.

"Greenpeace telah terdaftar di pemerintah pusat yaitu Kementerian Hukum dan HAM. Jadi kami bukan organisasi ilegal," kata Hikmat.(*)