BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 09 Juli 2013

'PR' Sensitif Menunggu Sidarto di MPR-RI

Oleh: Derek Manangka

INILAH.COM, Jakarta - Agenda tersembunyi Taufiq Kiemas yang tidak tercapai selama memimpin Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia (3 Oktober 2009-8 Juni 2013) adalah mengembalikan status Lembaga Tinggi ke Lembaga Tertinggi Negara.
Agenda tersebut disebut 'tersembunyi' karena memang sengaja tidak diungkap kepada publik khususnya para politisi. Ada pertimbangan, semenjak terjadi Reformasi Kebablasan, fenomena yang sedang menggejala saat ini, semakin sulit mendapatkan sebuah konsesus atas sebuah masalah.
Cara bekerja dan berpendapat dari para politisi sudah mirip dengan pola kerja para pengacara dan ahli hukum. Misalnya, jika di DPR terdapat 9 fraksi, jangan harap akan dengan mudah mendapatkan satu suara atau satu sikap terhadap sebuah masalah.
Yang menjadi fenomena sekarang, bila ke-9 fraksi di DPR berkumpul membahas satu persoalan, maka kesimpulan yang akan mereka lahirkan akan terdiri atas 10 bahkan 11 pemikiran. Maksudnya jangankan mendapatkan satu kesimpulan tentang sebuah usulan, untuk mendapatkan 9 kesimpulan saja, sesuai dengan jumlah fraksi yang ada, sulitnya luar biasa.
Selain itu program Empat Pilar memiliki tingkat sensitifitas yang sangat tinggi. Reaksi terhadap agenda itu, bisa menimbulkan debat politik yang berkepanjangan.
Agenda itu dapat mempengaruhi berbagai produk Undang-Undang yang telah diberlakukan selama era reformasi. Yang paling dekat dan cepat terkena pengaruh adalah sistem pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan kepala daerah.
Upaya mengembalikan kepada status lama MPR-RI itu oleh TK dirasakan sangat perlu. Sebab sejumlah amandemen terhadap UUD 45, tidak menghasilkan sistem politik nasional yang mampu mengeluarkan Indonesia dari lingkaran setan.
Banyaknya amandemen terhadap UUD'45 justru telah melahirkan sistem demokrasi yang tidak sesuai dengan semangat dan budaya bangsa Indonesia. Satu di antaranya pemilihan melalui voting atau pemungutan suara. Sudah begitu, hasil voting lebih sering melahirkan ketidakpuasan. Wujudnya, protes di jalan, anarkis dan lahirnya kepemimpinan kembar. Dengan jargon demi demokrasi, siapapun bisa mengklaim sebagai manusia Indonesia yang paling benar.
Adanya pemilihan Kepala Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota yang menggunakan pemungutan suara secara langsung, tidak hanya melahirkan pemborosan dana dan waktu. Lebih dari itu, menjadikan Indonesia sebagai negara demokrasi yang kontra produktif. Indonesia menerapkan demokrasi ala Barat, tetapi hanya secara parsial.
TK sangat galau dengan fenomena ini. Pemilihan pemimpin melalui musyawarah mufakat yang dulunya dilakukan di MPR-RI, sudah lebih dari 10 tahun dihilangkan. Penyebabnya adalah nafsu melakukan reformasi yang tak pernah habis.
Dalam rangka menuju ke arah sana, ketika pada September 2009, MPR-RI hendak memilih ketua yang baru, nama Taufiq Kiemas (TK) tiba-tiba mengemuka sebagai calon kuat. TK sendiri langsung merespon dengan mengajukan syarat.
"Saya mau dicalonkan, asalkan pencalonan saya didukung oleh semua partai. Saya tidak mau dipilih melalui voting atau pemungutan suara. Harus, konsensus, aklamasi melalui musyawarah mufakat," kata TK ketika itu. Dan TK pun akhirnya memang terpilih secara aklamasi tanpa melalui proses pemungutan suara.
Ketika menyampaikan persyaratan itu, TK sebenarnya hanya mau melakukan "test the water". Yaitu apakah keinginan membuat keputusan melalui konsesus, masih hidup dalam diri para politisi Indonesia. Jika masih hidup, rencana mengembalikan status MPR-RI ke posisi semula yaitu sebagai Lembaga Tertinggi negara, lebih mudah dikerjakan.
Bagi TK dengan semua lembaga tinggi negara berstatus sama sejajar: DPR-RI, DPD-RI, BPK, Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Lembaga Kepresidenan, hanya menghasilkan penyelenggaraan negara yang stagnan. Keadaan ini membuat siapapun yang akan memimpin Indonesia akan terus disandera sistem "semua lembaga sejajar dan sama kuatnya".
Yang dikhawatirkannya, ketika terjadi krisis konstitusi misalnya, semua lembaga hanya akan saling pandang, saling lirik. Semua pihak merasa tak punya kewajiban mengambil keputusan. Tak satupun lembaga yang mempunyai kewenangan untuk menyatakan : "tidak" atau "ya" !
Namun TK sadar betul akan tingkat sensitifitas isu pengembalian status MPR-RI tersebut. Yang paling diperhitungkannya, bakal munculnya tudingan bahwa dia ingin berkuasa melalui kewenangan lebih di lembaga MPR-RI.
Boleh saja ada (Presiden SBY) yang memiliki perangkat dan infrastruktur untuk memerintah. Tapi Ketua MPR-RI pun mempunyai kewenangan untuk membatasi ruang gerak presiden. Sebagai pentolan Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDIP), TK khawatir, ia bisa dituding ingin mem-PDIP-kan Indonesia melalui mekanisme konstitusi di MPR-RI.
Padahal, sejatinya yang dia pikirkan adalah masa depan kehidupan bernegara dan berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara konstruktif. Adapun persyaratan untuk menjadi Ketua MPR diutarakannya secara dini, karena TK ingin melihat reaksi, apakah ruang untuk koreksi terhadap sistem pemungutan suara, masih terbuka.
TK berharap begitu dia dipilih secara aklamasi, melalui konsesus, dia punya modal dan kebebasan bermanuver. Mengembalikan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi negara, memiliki fondasi atau pilar dukungan yang kuat.
Tetapi pada saat yang sama, TK menyadari upaya ke arah itu, merupakan salah satu pekerjaan politik terberat. Oleh sebab itu, TK tidak permah membuat pernyataan tentang gagasan itu secara eksplisit.
Yang dilakukannya mengajak seluruh pimpinan MPR-RI untuk bersama-sama mempromosikan Empat Pilar. Agenda Empat Pilar kedengaran baru. Tetapi kalau dicermati secara kritis, Empat Pilar itu sebetulnya tidak lebih dari sebuah "daur ulang". Empat Pilar itu sudah lama ada, tapi kemasan atau sebutannya berbeda.
Empat Pilar sejatinya hanya terdiri atas Satu Pilar yaitu Pilar Pancasila. Lihat saja isi Empat Pilar, Pancasila, NKRI, Pluralisme dan UUD'45. TK ingin menjadikan MPR-RI sebagai satu-satunya lembaga tinggi negara yang memenuhi syarat mensosialisasikanEmpat Pilar.
Tersirat di dalamnya, isu sensitif (Empat Pilar) memang hanya pantas dilakukan oleh sebuah lembaga setingkat MPR-RI. Dengan agenda itu, TK berharap penerimaan pada tahap awal atas program sosialisasi Empat Pilar akan menimbulkan efek psikologis. Yaitu MPR memang pantas diberi status Lembaga Tertinggi Negara.
Pada akhirnya hak MPR-RI mensosialisasikanisu sensitif, menjadi sebuah kehormatan tersendiri sekaligus kehormatan tertinggi. Dengan begitu, usaha menjadikan atau mengembalikan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara, berproses secara alamiah.
Jika sudah demikian, pengakuan de facto atas status MPR-RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara, tinggal menunggu pengesahan secara hukum (de jure). Agenda TK tersebut, tidak bisa dikatakan gagal sekalipun juga tidak bisa disebut berhasil.
Posisi TK di MPR-RI mulai 8 Juli 2013, digantikan oleh Sidarto Danusubroto. Sayangnya, TK tidak meninggalkan pesan atau semacam 'wasiat', tentang agenda apa yang dia harapkan diteruskan oleh penggantinya (Sidarto Danusubroto).
Kini terpulang kepada Pak Darto, apakah dia mampu meneruskan cita-cita perjuangannya almarhum TK di MPR-RI? Apakah Pak Darto akan diterima secara tulus oleh 4 wakil ketua yang berasal dari berbagai unsur, seperti yang terjadi di era TK?
Peta dan hasil inilah yang menarik untuk dilihat, ketika Pak Darto mengakhiri masa tugasnya di awal Oktober atau akhir September 2014. [mdr]

Tidak ada komentar: