Oleh: Derek Manangka
INILAH.COM, Jakarta - Agenda tersembunyi Taufiq Kiemas yang
tidak tercapai selama memimpin Majelis Permusyaratan Rakyat Republik
Indonesia (3 Oktober 2009-8 Juni 2013) adalah mengembalikan status
Lembaga Tinggi ke Lembaga Tertinggi Negara.
Agenda
tersebut disebut 'tersembunyi' karena memang sengaja tidak diungkap
kepada publik khususnya para politisi. Ada pertimbangan, semenjak
terjadi Reformasi Kebablasan, fenomena yang sedang menggejala saat ini,
semakin sulit mendapatkan sebuah konsesus atas sebuah masalah.
Cara
bekerja dan berpendapat dari para politisi sudah mirip dengan pola
kerja para pengacara dan ahli hukum. Misalnya, jika di DPR terdapat 9
fraksi, jangan harap akan dengan mudah mendapatkan satu suara atau satu
sikap terhadap sebuah masalah.
Yang menjadi fenomena sekarang,
bila ke-9 fraksi di DPR berkumpul membahas satu persoalan, maka
kesimpulan yang akan mereka lahirkan akan terdiri atas 10 bahkan 11
pemikiran. Maksudnya jangankan mendapatkan satu kesimpulan tentang
sebuah usulan, untuk mendapatkan 9 kesimpulan saja, sesuai dengan jumlah
fraksi yang ada, sulitnya luar biasa.
Selain itu program Empat
Pilar memiliki tingkat sensitifitas yang sangat tinggi. Reaksi terhadap
agenda itu, bisa menimbulkan debat politik yang berkepanjangan.
Agenda
itu dapat mempengaruhi berbagai produk Undang-Undang yang telah
diberlakukan selama era reformasi. Yang paling dekat dan cepat terkena
pengaruh adalah sistem pemilihan umum, pemilihan presiden, dan pemilihan
kepala daerah.
Upaya mengembalikan kepada status lama MPR-RI itu
oleh TK dirasakan sangat perlu. Sebab sejumlah amandemen terhadap UUD
45, tidak menghasilkan sistem politik nasional yang mampu mengeluarkan
Indonesia dari lingkaran setan.
Banyaknya amandemen terhadap
UUD'45 justru telah melahirkan sistem demokrasi yang tidak sesuai dengan
semangat dan budaya bangsa Indonesia. Satu di antaranya pemilihan
melalui voting atau pemungutan suara. Sudah begitu, hasil voting lebih
sering melahirkan ketidakpuasan. Wujudnya, protes di jalan, anarkis dan
lahirnya kepemimpinan kembar. Dengan jargon demi demokrasi, siapapun
bisa mengklaim sebagai manusia Indonesia yang paling benar.
Adanya
pemilihan Kepala Daerah, Gubernur, Bupati dan Walikota yang menggunakan
pemungutan suara secara langsung, tidak hanya melahirkan pemborosan
dana dan waktu. Lebih dari itu, menjadikan Indonesia sebagai negara
demokrasi yang kontra produktif. Indonesia menerapkan demokrasi ala
Barat, tetapi hanya secara parsial.
TK sangat galau dengan
fenomena ini. Pemilihan pemimpin melalui musyawarah mufakat yang dulunya
dilakukan di MPR-RI, sudah lebih dari 10 tahun dihilangkan. Penyebabnya
adalah nafsu melakukan reformasi yang tak pernah habis.
Dalam
rangka menuju ke arah sana, ketika pada September 2009, MPR-RI hendak
memilih ketua yang baru, nama Taufiq Kiemas (TK) tiba-tiba mengemuka
sebagai calon kuat. TK sendiri langsung merespon dengan mengajukan
syarat.
"Saya mau dicalonkan, asalkan pencalonan saya didukung
oleh semua partai. Saya tidak mau dipilih melalui voting atau pemungutan
suara. Harus, konsensus, aklamasi melalui musyawarah mufakat," kata TK
ketika itu. Dan TK pun akhirnya memang terpilih secara aklamasi tanpa
melalui proses pemungutan suara.
Ketika menyampaikan persyaratan itu, TK sebenarnya hanya mau melakukan "test the water".
Yaitu apakah keinginan membuat keputusan melalui konsesus, masih hidup
dalam diri para politisi Indonesia. Jika masih hidup, rencana
mengembalikan status MPR-RI ke posisi semula yaitu sebagai Lembaga
Tertinggi negara, lebih mudah dikerjakan.
Bagi TK dengan semua
lembaga tinggi negara berstatus sama sejajar: DPR-RI, DPD-RI, BPK,
Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Lembaga Kepresidenan, hanya
menghasilkan penyelenggaraan negara yang stagnan. Keadaan ini membuat
siapapun yang akan memimpin Indonesia akan terus disandera sistem "semua
lembaga sejajar dan sama kuatnya".
Yang dikhawatirkannya, ketika
terjadi krisis konstitusi misalnya, semua lembaga hanya akan saling
pandang, saling lirik. Semua pihak merasa tak punya kewajiban mengambil
keputusan. Tak satupun lembaga yang mempunyai kewenangan untuk
menyatakan : "tidak" atau "ya" !
Namun TK sadar betul akan tingkat
sensitifitas isu pengembalian status MPR-RI tersebut. Yang paling
diperhitungkannya, bakal munculnya tudingan bahwa dia ingin berkuasa
melalui kewenangan lebih di lembaga MPR-RI.
Boleh saja ada
(Presiden SBY) yang memiliki perangkat dan infrastruktur untuk
memerintah. Tapi Ketua MPR-RI pun mempunyai kewenangan untuk membatasi
ruang gerak presiden. Sebagai pentolan Partai Demokrat Indonesia
Perjuangan (PDIP), TK khawatir, ia bisa dituding ingin mem-PDIP-kan
Indonesia melalui mekanisme konstitusi di MPR-RI.
Padahal,
sejatinya yang dia pikirkan adalah masa depan kehidupan bernegara dan
berbangsa di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) secara
konstruktif. Adapun persyaratan untuk menjadi Ketua MPR diutarakannya
secara dini, karena TK ingin melihat reaksi, apakah ruang untuk koreksi
terhadap sistem pemungutan suara, masih terbuka.
TK berharap
begitu dia dipilih secara aklamasi, melalui konsesus, dia punya modal
dan kebebasan bermanuver. Mengembalikan MPR-RI sebagai lembaga tertinggi
negara, memiliki fondasi atau pilar dukungan yang kuat.
Tetapi
pada saat yang sama, TK menyadari upaya ke arah itu, merupakan salah
satu pekerjaan politik terberat. Oleh sebab itu, TK tidak permah membuat
pernyataan tentang gagasan itu secara eksplisit.
Yang
dilakukannya mengajak seluruh pimpinan MPR-RI untuk bersama-sama
mempromosikan Empat Pilar. Agenda Empat Pilar kedengaran baru. Tetapi
kalau dicermati secara kritis, Empat Pilar itu sebetulnya tidak lebih
dari sebuah "daur ulang". Empat Pilar itu sudah lama ada, tapi kemasan
atau sebutannya berbeda.
Empat Pilar sejatinya hanya terdiri atas
Satu Pilar yaitu Pilar Pancasila. Lihat saja isi Empat Pilar, Pancasila,
NKRI, Pluralisme dan UUD'45. TK ingin menjadikan MPR-RI sebagai
satu-satunya lembaga tinggi negara yang memenuhi syarat
mensosialisasikanEmpat Pilar.
Tersirat di dalamnya, isu sensitif
(Empat Pilar) memang hanya pantas dilakukan oleh sebuah lembaga
setingkat MPR-RI. Dengan agenda itu, TK berharap penerimaan pada tahap
awal atas program sosialisasi Empat Pilar akan menimbulkan efek
psikologis. Yaitu MPR memang pantas diberi status Lembaga Tertinggi
Negara.
Pada akhirnya hak MPR-RI mensosialisasikanisu sensitif,
menjadi sebuah kehormatan tersendiri sekaligus kehormatan tertinggi.
Dengan begitu, usaha menjadikan atau mengembalikan MPR RI sebagai
Lembaga Tertinggi Negara, berproses secara alamiah.
Jika sudah demikian, pengakuan de facto
atas status MPR-RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara, tinggal menunggu
pengesahan secara hukum (de jure). Agenda TK tersebut, tidak bisa
dikatakan gagal sekalipun juga tidak bisa disebut berhasil.
Posisi
TK di MPR-RI mulai 8 Juli 2013, digantikan oleh Sidarto Danusubroto.
Sayangnya, TK tidak meninggalkan pesan atau semacam 'wasiat', tentang
agenda apa yang dia harapkan diteruskan oleh penggantinya (Sidarto
Danusubroto).
Kini terpulang kepada Pak Darto, apakah dia mampu
meneruskan cita-cita perjuangannya almarhum TK di MPR-RI? Apakah Pak
Darto akan diterima secara tulus oleh 4 wakil ketua yang berasal dari
berbagai unsur, seperti yang terjadi di era TK?
Peta dan hasil
inilah yang menarik untuk dilihat, ketika Pak Darto mengakhiri masa
tugasnya di awal Oktober atau akhir September 2014. [mdr]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar