BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Minggu, 05 Juni 2011

Butuh Kepemimpinan Kuat Urai Rantai Korupsi

 Jpnn
JAKARTA - Korupsi politik di Indonesia dianggap makin menjadi-jadi, belakangan ini. Selain pembenahan sistem pendanaan partai politik, Kepala Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch Ade Irawan menganggap, kepemimpinan yang kuat juga bisa memutus mata rantai korupsi.


Menurut dia, korupsi dewasa ini merajalela karena tiga aktor utama korupsi terus bersinergi dengan baik. Tiga aktor tersebut adalah birokrasi, politisi, dan pengusaha. Ketiganya bergabung mengorupsi dana-dana publik dan politik. "Mereka itu ibarat trio macan yang geraknya baru bisa dibatasi bahkan ditumpas kalau ada kepemimpinan yang kuat," ujar Ade Irawan, dalam acara diskusi yang diselenggarakan Fisip UI, di Warung Daun, Jakarta, kemarin (4/6).

Dia lantas mencontohkan, langkah maju yang telah dilakukan pemerintahan Tiongkok. Diantaranya, saat PM Tiongkok Zhu Rongji menyampaikan ancaman kepada para koruptor ketika pelantikan dirinya pada 1998. "Berikan pada saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor, dan satu untuk saya sendiri kalau saya melakukan hal yang sama," tiru Ade, terhadap pernyataan Zhu Rongji, waktu itu.

Ketegasan kepala pemerintahan seperti itu, menurut dia, sangat diperlukan untuk konteks Indonesia saat ini. "Tapi, bagaimana ya? Kalau di sini, SBY pidato minta disediakan peti mati, maka belum ada koruptor yang masuk peti mati, proyek pengadaan peti matinya sudah dikorupsi duluan," sindirnya.

Dia lantas memaparkan, model kerjasama melakukan korupsi politik yang biasa dilakukan trio macan tersebut. Sebagai pemegang kuasa anggaran, komunikasi awal biasa terjadi lebih dulu antara birokrat dan pengusaha. Selanjutnya, keberadaan politisi terutama yang ada di DPR otomatis akan dipakai birokrat dan pengusaha untuk meloloskan kebijakan program yang akan dijalankan.

Rapat dengar pendapat umumnya dijadikan sarana negoisasi dan membuat deal-deal dalam mengeruk uang negara. "Inilah sebagian model rantai mafia anggaran tersebut," ujarnya.

Langkah memanfaatkan politisi di parlemen oleh birokrat dan pengusaha itu dibenarkan oleh pengamat ekonomi ECONIT Hendri Saparini. Dia juga mengungkapkan, bahwa realitas politik parlemen terkait anggaran memang memiliki kekhasan tersendiri. "Kalau soal anggaran, semua partai sepertinya koalisi, tidak ada yang oposisi," tandasnya.

Terkait efek jera, Saparini juga sepakat bahwa penindakan tegas terhadap pelaku korupsi itu sangat penting. Namun, hal tersebut tetap harus dibarengi dengan merubah sistem yang membuka ruang melakukan korupsi. "Kita harus tetap optimis bisa melawan korupsi, shock therapy dengan sanksi berat itu penting, tapi jangan berhenti di situ," imbuhnya.

Pengamat politik LIPI Ikrar Nusa Bhakti menambahkan, kesulitan memberantas korupsi politik di Indonesia juga karena kultur yang telah terbangun. Budaya koruptif telah menjalar dari pusat hingga daerah. "Pelaku korupsi bahkan telah bermuka badak, mereka tidak malu dan takut lagi melakukan korupsi," ujar Ikrar.

Hal itu terlihat, kata dia, dari hampir tidak adanya pejabat yang mundur dari jabatannya, meski sudah ketahuan melakukan korupsi. "Beda dengan di Jepang, ketahuan korupsi langsung mundur," tandasnya.

Bahkan, beber Ikrar, langkah mundur dari jabatan itu tidak lagi memandang seberapa besar kerugian atas korupsi yang dilakukan. Menurut dia, pernah ada seorang pejabat di negeri Sakura itu yang hanya terima 50 ribu yen (sekitar Rp 5 juta) pada saat kampanye, namun tetap memutuskan langsung mundur setelah terungkap. "Di kita mana ada kayak gitu" selorohnya.

Meski demikian, pihaknya juga tetap berusaha optimis pemberantasan korupsi bisa ditegakkan. Kuncinya, adalah kinerja yang baik di institusi penegak hukum terutama KPK dan polri. "Jika mereka berkomitmen bekerja kepada rakyat, maka pada tiga pemilu ke depan, tingkat korupsi bisa ditekan, posisi Indonesia bahkan bisa nomor tiga terbersih di dunia," pungkasnya. (dyn)

Tidak ada komentar: