BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Rabu, 22 Juni 2011

Diberhentikan MK, Jadi Hakim di Lingkungan MA

Pegawai MK, MSH diberhentikan karena diduga terlibat kasus pemalsuan surat.

VIVAnews - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan telah memberi sanksi kepada sejumlah pegawainya yang diduga terlibat kasus pemalsuan surat putusan hasil sengketa pemilu. Salah satu yang dipecat adalah pegawai berinisial MSH.

"Pada saat kami menjatuhkan hukuman disiplin, menyerahkan surat pemberhentian dengan hormat, dia [MSH] mengakui kesalahannya," kata Janedri M.Gaffar, Sekretaris Jenderal MK,  saat rapat dengar pendapat dengan Panja Mafia Pemilu di Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa 21 Juni 2011.

Namun, ia menilai sikap MSH dalam menerima sanksi pemberhentian itu tidak biasa. Hal tersebut membuat Janedjri dan segenap pejabat MK lainnya terheran-heran. Pasalnya, bukan penyesalan yang terucap, MSH malah meminta restu pada Janedjri. "Dia mengakui kesalahan, tapi dia memohon doa restu," kata Janedjri.

Janedjri kemudian bertanya mengapa MSH meminta doa restu, padahal dia dipecat MK. MSH ternyata menjawab memita restu karena menjadi calon hakim di  lingkungan Mahkamah Agung. "Ternyata dia menjadi calon hakim di Pengadilan Negeri Jayapura. Dan saya mendengar  dia sekarang telah berstatus hakim," kata Janedjri.

Sebelumnya, ada surat berkop MK dengan nomor 112 dari MK ke KPU pada 14 Agustus 2009. Surat itu membuat politikus Partai Hati Nurani Rakyat, Dewie Yasin Limpo, mendapatkan satu kursi Dewan Perwakilan Rakyat dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan I.

Dan pada 21 Agustus 2009, KPU pun menggelar pleno berdasarkan surat itu. Rapat pleno ini juga dihadiri perwakilan Badan Pengawas Pemilu dan Mahkamah Konstitusi. Karena tidak tahu bahwa surat 14 Agustus itu tak benar, Dewie Yasin Limpo pun ditetapkan dapat satu kursi DPR.

Belakangan, pada 11 September 2009, muncullah surat asli dari Mahkamah Konstitusi yang membuat satu kursi itu dialihkan ke calon dari Partai Gerakan Indonesia Raya. Surat sebenarnya baru dikirimkan MK pada tanggal 17 Agustus 2009 pukul 19.30. Namun anehnya, surat itu tak sampai ke petinggi KPU.
Nama mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati disebut-sebut terlibat dalam kasus ini. Bahkan, Ketua MK, Mahfud MD telah melaporkan politisi Partai Demokrat itu ke Mabes Polri. Nurpati pun menyatakan siap menghadapi kasus ini.
Sementara itu, ketika VIVAnews.com mengonfirmasi ke salah satu hakim PN Jayapura, Simarmata mengaku tak mengenal hakim berinisl MSH itu. Menurut dia, saat ini tak ada hakim berinisial MSH di PN Jayapura. "Saya tak mengetahuinya, ngga ada. Saya tidak tahu kalau di pengadilan lain," kata dia. (eh

Tidak ada komentar: