VIVAnews - Mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Kementerian Keuangan yang kini bertugas di Dinas Pelayanan Pajak DKI
Jakarta, Dhana Widyatmika, menjalani pemeriksaan perdana sebagai
tersangka atas kepemilikan rekening mencurigakan di Kejaksaan Agung,
Kamis, 1 Maret 2012.
Dalam mengusut kasus Dhana, Kejaksaan Agung menyatakan akan
menerapkan metode pembuktian terbalik. Metode ini digunakan untuk
menyusuri asal-usul harta Dhana yang nilainya nauzubillah itu.
"Akan kami terapkan pembuktian terbalik, kami juga akan minta dari
PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan)," kata Jaksa
Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto di kantornya, Jakarta, Kamis 1
Maret 2012. "Nanti kami lihat aliran dana dari mana saja."
Andhi mengatakan penyidik yakin harta dalam jumlah tak wajar itu
dihasilkan dari praktik korupsi yang tak dilakukan oleh Dhana seorang.
Penyidik kuat menduga ada orang lain yang terlibat.
Penyidik hingga kini belum bisa memastikan berapa jumlah uang yang
berada di rekening Pegawai Negeri Sipil golongan IIIC ini. "Karena masih
ada yang terblokir, masih belum dibuka," ujarnya.
Selain memeriksa Dhana, di hari yang sama kejaksaan juga berencana
memeriksa istri Dhana, yakni DA, yang juga seorang pegawai Direktorat
Jenderal Pajak. Namun, DA tak hadir. Selain itu, penyidik juga memanggil
dua saksi lain, yakni Inspektur Jenderal Keuangan dan seorang karyawan
di showroom Dhana, PT Mobilindo, bernama Jamal.
Dhana ditetapkan Kejaksaan Agung sebagai tersangka pada 24 Februari
2012 lalu. Menyelidiki besaran rekeningnya yang tak sesuai profilnya
sebagai seorang pegawai negeri, Kejaksaan mencurigai Dhana mengumpulkan
kekayaan melalui beragam modus kejahatan, meliputi gratifikasi, suap,
pemerasan, korupsi, penyalahgunaan wewenang, maupun pencucian uang.
Meski demikian, kejaksaan masih enggan mengungkapkan berapa jumlah
uang di rekening milik Dhana. Mereka hanya menjelaskan bahwa sejumlah
barang bukti telah disita. Terakhir, penyidik mengamankan 17 truk dari
showroom milik Dhana. Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah menyita sejumlah
barang bukti lain, di antaranya berupa uang tunai, surat berharga,
emas, dan mobil Chrysler.
"Proses sedang berjalan nanti kami hitung secara total dulu baru kami
sampaikan," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Adi
Toegarisman.
Jaksa Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Andhi Nirwanto sendiri
menerangkan nilai rekening Dhana mencapai miliaran rupiah. Tapi dia tak
bersedia menyebutkan angka yang pasti. Saat ditanya apakah nilainya
mencapai sekitar Rp60 miliar, dia menjawab, "Saya tidak bicara itu ya.
Yang jelas, yang sudah diamankan nilainya miliaran."
Seorang sumber VIVAnews yang minta tak disebut namanya
memberi gambaran. Menurut dia, Dhana dan istrinya, DA, memiliki berbagai
rekening berisi miliaran rupiah. "Ada yang Rp8 miliar, lalu ada pula
Rp20 miliar," kata dia. Itu belum termasuk rekening mata uang asing
senilai US$270 ribu atau setara Rp2,4 miliar lebih, dan logam mulia
seberat 1 kg.
Yang sudah pasti, Dhana memiliki sebuah minimarket dan showroom jual beli truk bekas.
Dhana sempat melaporkan harta kekayaannya ke KPK pada 24 Juni 2011.
Saat itu dia menjabat sebagai Account Representative Kantor Pelayanan
Pajak Penanaman Modal Asing Enam. Berdasarkan Laporan Harta Kekayaan
Pejabat Negara, Dhana mengaku memiliki kekayaan hanya senilai
Rp1.231.645.025.
Jumlah itu terdiri atas harta tidak bergerak yang nilainya mencapai
Rp686.722.000. Ini terdiri dari tanah dan bangunan seluas 125 meter
persegi dan 45 meter persegi di Depok, Jawa Barat. Kemudian, ada tanah
dan bangunan warisan seluas 300 meter persegi dan 100 meter persegi di
Jakarta Timur.
Adapun harta bergerak yang dilaporkan pria kelahiran Malang ini
antara lain adalah: mobil Toyota Kijang Innova, logam mulia, dan surat
berharga.
Mengenai kasus yang menjeratnya, Dhana belum mau berkomentar panjang.
Dia hanya menyebutkan bahwa ada informasi yang tidak benar yang
diberitakan media massa tentang kasus yang sedang melilitnya ini.
Mengusut Dhana
Jampidsus Andhi Nirwanto masih enggan memberi keterangan tentang
pemeriksaan perdana Dhana. "Mengenai substansi hasilnya sampai sekarang
belum dapat disampaikan karena pemeriksaan belum selesai," kata Andhi di
Gedung Bundar, Kejagung, Jakarta, Kamis 1 Maret 2012.
Andhi hanya menyatakan kejaksaan menggunakan strategi follow the
money dalam menyidik perkara senior Gayus di STAN (Sekolah Tinggi
Akuntansi Negara) ini. "Aset-aset maupun uang-uang DW kami amankan dulu,
supaya tidak lepas."
Sumber yang dekat dengan Kementerian Keuangan menjelaskan modus
operasi DW berbeda dengan Gayus. "Gayus di bagian banding pajak. Ibarat
menjaring ikan, jenisnya sudah jelas dan pilihan. Nah, kalau DW di
bagian pemeriksaan pajak. Istilahnya, masih perlu mencari-cari ikan,"
katanya, beribarat
Menurut dia, DW hanya salah satu dari banyak pegawai pajak yang
rekeningnya dicurigai PPTAK. "Cuma kenapa baru DW yang diselidiki.
Bagaimana dengan yang lain?" dia mempertanyakan.
Tahun lalu, Yunus Husein, yang saat itu menjabat Kepala Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, pernah menyampaikan temuannya
terkait rekening pegawai pajak.
Data itu berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap rekening pegawai
pajak yang mencurigakan. PPATK menyelidiki rekening pegawai Direktorat
Pajak dan Bea Cukai mulai dari Kepala Seksi hingga Dirjen. Di lingkungan
Ditjen Pajak, yang sedang ditelisik adalah rekening milik 3.616 pejabat
dan 12.089 anggota keluarga mereka.
Hasilnya mengejutkan. Banyak ditemukan pegawai pajak yang melakukan
transaksi tunai dalam jumlah besar dalam kisaran Rp500 juta hingga Rp27
miliar. Transaksi itu, baik dari rekening pribadi maupun istri dan anak
tanpa, didukung transaksi yang memadai. Berita lengkapnya baca di sini.
Gayus sampai Bahasyim
Kejaksaan sudah memiliki sejumlah pengalaman dalam menangani kasus
dengan menggunakan metode pembuktian terbalik. Dua di antaranya adalah
kasus yang juga melibatkan dua mantan pegawai pajak, yakni Gayus
Tambunan dan Bahasyim Assiffie.
Dalam kasus Gayus, Kejaksaan berhasil meyakinkan Majelis Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bahwa Gayus melakukan pencucian uang.
Selama persidangan, Gayus gagal membuktikan bahwa hartanya--uang tunai
Rp925 juta, US$3,5 juta, US$659.800, Sin$9,6 juta dan 31 keping
logam--bukanlah berasal dari tindak pidana.
Majelis Hakim yang diketuai Suhartoyo tanpa ragu mengganjar Gayus
dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Tak hanya itu,
harta Gayus berupa uang tunai dan tabungan sebagaimana tersebut dalam
barang bukti dirampas dan disita untuk negara. Yang juga ikut disita
pengadilan adalah satu unit mobil Honda Jazz, satu unit mobil Ford
Everest, satu unit rumah di Kelapa Gading senilai Rp3 miliar dan 31
batang emas murni yang jumlahnya masing-masing 100 gram.
Demikian pula dalam kasus Bahasyim, kejaksaan kembali berhasil
menerapkan metode pembuktian terbalik. Sama seperti Gayus, Bahasyim
gagal membuktikan harta yang dimilikinya tak berasal dari korupsi.
Pada 31 Oktober 2011, Mahkamah Agung menetapkan vonis hukuman penjara
12 tahun untuk Bahasyim. Selain itu, majelis juga memerintahkan negara
merampas aset-aset Bahasyim, termasuk uang senilai Rp64 miliar.
Majelis Hakim menilai Bahasyim terbukti bersalah melanggar pasal 1
huruf a UU Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 12 UU Tipikor. Dia
dinilai terbukti menyalahgunakan wewenang selama menjadi pejabat pajak
dalam kurun waktu 2004-2010 danmerugikan keuangan negara sebanyak Rp64
miliar. (kd)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar