JAKARTA - Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak terima jika aturan publikasi ilmiah dinilai kendur. Dirjen Dikti Kemendikbud Djoko Santoso mengatakan, aturan publikasi ilmiah bagi mahasiswa tetap berjalan sesuai serat edaran yang sudah diterbitkan.
Menurut mantan rektor ITB tersebut, menegaskan surat edaran bernomor 152/E/T/2012 yang mengatur tentang ketentuan publikasi ilmiah belum dicabut. Sehingga, aturan keharusan mempublikasikan karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan tetap berjalan untuk kelulusan setelah Agustus depan.
Dalam surat tersebut dinyatakan jika mahasiswa S1 harus mempublikasikan karya ilmiah di semua jurnal ilmiah yang ada. Baik di kampus sendiri, maupun di tempat lain. Tanpa ada ketentuan akreditasi jurnal. Selanjutnya untuk jenjang S2, wajib menulis di jurnal ilmiah nasional dan diutaman yang telah terakreditas Ditjen Dikti Kemendikbud. Lalu untuk strata S3, mahasiswa yang mau lulus wajib menulis di jurnal ilmiah internasional.
Terkait sikap keberatan yang muncul dari beberapa pihak, Djoko mengatakan biarkan merema berpandangan lain. "Kita tetap berpendapat karya ilmiah bagi mahasiswa itu penting," kata dia.
Djoko mengatakan, mahasiswa yang lulus setelah menulis karya ilmiah di jurnal ilmiah ibaratnya orang ke pasar dengan memakai baju yang anggun. Sebaliknya, mahasiswa yang lulus sarjana tanpa membuat karya ilmiah ibarat orang ke pasar tanpa menggunakan baju alias telangjang. "Sekarang anda pilih mana?" kata dia.
Menurut Djoko, ketimbang waktu dan tenaga habis untuk mendebatkan kebijakan publikasi ilmiah ini, labih baik digunakan untuk pemantapan. Misalnya, para rektor, dekan, hingga dosen mulai bergerak membuat jurnal-jurnal baru. Selanjutnya, juga mulai membekali mahasiswa ilmu tentang menulis karya ilmiah untuk dimuat di jurnal.
Untuk level sarjana, Kemendikbud sejatinya memiliki tiga skenario aturab publikasi jurnal ilmiah. Pertama, mewajibkan seluruh mahasiswa di PTN maupun PTS. Kedua, hanya untuk mahasiswa di PTN dan program studi di PTS yang telah terakreditasi A. Ketiga, hanya untuk mahasiswa di PTN. Tapi, akhirnya pada surat edaran Ditjen Dikti seluruh mahasiswa diharuskan membuat publikasi karya ilmiah.
Dalam kesempatan lain, Mendikbud Muhammad Nuh mengatakan pihaknya tidak bisa tinggal diam melihat iklim publikasi karya ilmiah mahasiswa Indonesia kalah jauh dengan negara-negara lain. Nuh memaparkan, pertumbuhan publikasi ilmiah di Indonesia saat ini kalah jauh dibanding Malaysia, Turki, dan Tiongkok. Negeri ini juga masih ada di bawah Thailand, Mesir, India, Vietnam, dan Filipina.
Rangkuman jumlah publikasi tingkat dunia mulai 1996 hingga 2010 memposisikan Indonesia di urutan 64 dunia. Dengan catatan jumlah publikasi ilmiah hanya 13.047 dokumen. "Kondisi ini sangat mencemaskan. Sebab potensi karya ilmiah Indonesia sangat tinggi," ujar Nuh.
Potensi ini merujuk pada jumlah mahasiswa di negeri ini yang cukup besar. Perhitungan Kemendikbud menyebutkan, pada periode 2009/2010 lalu ada 434 ribuan mahasiswa lulus sarjana. Dan setiap tahun rata-rata lulusan sarjana tidak jauh berbeda. Jika seluruh sarjana tadi membuat karya ilmiah yang dipublikasikan di jurnal ilmiah, ranking Indonesia bisa dikatrol dari urutan 64 ke urutan 12. Saat ini, urutan 12 dihuni oleh Rusia dengan jumlah dokumen publikasi sebanyak 480 ribu. (wan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar