RMOL. Upaya Pemprov DKI Jakarta mengatasi masalah pengangguran, diminta tidak sekadar cuma omongan doang.
Menurut pengamat sosial dari serikat rakyat miskin Indonesia (SRMI) Marlo Sitompul, yang dilakukan pemprov selama ini terkesan hanya banyak bicara, tanpa menunjukkan kinerja maksimal.
Dia menegaskan, jika rencana tersebut dilakukan dengan baik, tentu akan sangat membantu mengurangi tingkat pengangguran di Jakarta. Karena keterampilan dan keahlilan bisa membuat orang menjadi kreatif dan memiliki keahlian, sehingga bisa dipromosikan ke industri-industri, Usaha Kecil Menengah (UKM). Bahkan bisa membuka usaha sendiri seperti home industry.
“Ini harusnya yang menjadi perhatian pemrov, mengajarkan orang kepada usaha yang lebih mandiri dan bisa menyediakan modal usaha,” tegas Marlo kepada Rakyat Merdeka.
Tanpa ingin terlalu jauh menilai rencana Pemprov DKI, dia menyatakan masih menunggu, apakah rencana tersebut bisa dilaksanakan. Karena kalau hanya retorika, ini harus menjadi bahan evaluasi bagi Gubernur DKI Jakarta.
Marlo mengingatkan, agar jangan mudah mengklaim jumlah pengangguran di Jakarta menurun. Sebab, laju masyarakat di Jakarta terus meningkat. Ditambah lagi usai Ujian Nasional (UN), di mana adanya lulusan SMA.
Hal ini dia nilai menghasilkan pencari kerja baru dan pengangguran baru bagi yang tidak mendapatkan pekerjaan dan tidak melanjutkan ke perguruan tinggi.
Dia berharap, agar penyelesaian pengangguran tidak hanya diselesaikan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta.
“Semua pihak harus bergerak, mulai dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Pendidikan DKI, Dinas Sosial maupun UKM,” tandasnya.
Pengamat tenaga kerja Zainal Abidin mengatakan, pengangguran terjadi karena timpangnya program pembangunan antara ibukota dengan daerah lainnya. Hal ini membuat warga yang berdomisili di daerah, berbondong-bondong ke Jakarta untuk mencari nafkah.
Kondisi ini, kata Marlo, membuat Pemprov DKI Jakarta kewalahan menyalurkan para calon tenaga kerja. Terlebih dari jumlah calon pencari kerja hampir sekitar 60 persen hanya lulusan Sekolah Dasar (SD). Sehingga sulit bersaing dan memperoleh pekerjaan formal.
“Kebanyakan mereka bekerja di sektor informal di mana upahnya sangat minim,” katanya. [rm]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar