BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Jumat, 03 Juni 2011

ICW: Catatan Miring Hakim yang Ditangkap KPK

Menurut catatan ICW, Hakim S pernah membebaskan sedikitnya 39 terdakwa korupsi.

VIVAnews -- Citra peradilan Indonesia kembali tercoreng ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan oknum hakim berinisial S. Ia adalah hakim pengawas di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Ia diduga menerima suap dari seorang kurator PW, yang belakangan juga ditangkap KPK di kawasan Pancoran. Selain uang R250 juta, komisi antikorupsi juga menemukan uang dalam betuk rupiah, dolar, yen, bath tersebar di rumah hakim di kawasan Sunter, Jakarta Utara. Menurut Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, masih diperiksa apakah uang itu terkait dengan kasus yang sedang diusut, atau ada kasus-kasus lain, atau uang sah hakim.

Sementara, Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Emerson Yuntho mengatakan, pihaknya memiliki catatan miring soal rekam jejak hakim S atau Syarifuddin Umar.

Salah satunya, pernah diangkat Mahkamah Agung sebagai hakim karir pengadilan tindak pidana korupsi (Pengadilan Tipikor) berdasarkan SK No 041/KMA/K/III/2009 tertanggal 18 Maret 2009. "Namun karena mendapatkan kritik dari sejumlah kalangan -- media, akademisi, praktisi hukum, dan LSM -- akhirnya SK pengangkatan Syarifuddin Umar tersebut dibatalkan," kata dia dalam rilis yang diterima, Jumat 3 Juni 2011.

Tak hanya itu, menurut Emerson, si hakim juga pernah membebaskan sedikitnya 39 terdakwa kasus korupsi  selama berdinas di pengadilan negeri Makassar dan Jakarta Pusat. "Terdakwa Kasus korupsi terakhir yang dibebaskan adalah Agusrin Najamuddin, Gubernur Bengkulu non aktif," tambah dia.

Syarifuddin juga pernah dilaporkan ke Komisi Yudisial dan mendapatkan pemantauan khusus dari komisi pengawas hakim itu saat memimpin persidangan kasus korupsi yang melibatkan Agusrin Najamuddin.

Menurut Emerson, penangkapan hakim S menunjukkan lemahnya perngawasan internal di lembaga peradilan, khususnya MA. "Sanksi atau hukuman MA terhadap hakim nakal atau menerima suap hanya sanksi administratif, umumnya mutasi atau non job atau penundaan kenaikan pangkat dalam periode tertentu. Hal ini tidak memberikan efek jera," kata dia.

Selain itu, pengawasan eksternal oleh KY juga belum optimal. "KY belum menjadi lembaga yang menakutkan hakim," tambah Emerson. (eh)

Tidak ada komentar: