BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 25 Desember 2012

Instrumen Politis, DPR jangan Seleksi Hakim Agung

INILAH.COM, Jakarta - Pengamat hukum dari Universitas Islam Indonesia, Muzakir menilai prosedur seleksi hakim agung yang ikut melibatkan DPR tidak tepat. Pasalnya, DPR adalah instrumen politis sedangkan jabatan hakim untuk lembaga yudikatif.

"Tidak harus melalui DPR, karena DPR instrumen politis," ujarnya melalui sambungan telepon, di Jakarta, Minggu (23/12/2012).

Menurut dia, seleksi hakim yang ikut melibatkan DPR justru dapat mempengaruhi independensi hakim itu sendiri. "Hakim jadi tidak independen, dia akan tersandera oleh prosedur pemilihan itu," tambahnya.

Karena itu, dia mengusulkan adanya perubahan prosedur dalam seleksi hakim agung. Calon hakim agung yang telah melalui seleksi administratif di Komisi Yudisial (KY), kemudian diseleksi oleh dewan ahli yang berasal dari akademisi, dan bukan DPR. Misalnya, bila Mahkamah Agung meminta penambahan hakim dari kamar pidana, maka tim yang ahli dalam hukum pidana yang melakukan seleksi terhadap calon hakim tersebut.

Seleksi seperti ini akan jauh lebih efektif, karena diseleksi oleh orang yang independen dan benar-benar ahli di bidangnya. "KY mempunyai kompetensi secara administrasi, tapi selanjutnya dewan ahli yang memutuskan," ujar Muzakir.

Sebelumnya, KY sudah mengirimkan 24 nama calon hakim agung ke Komisi III DPR untuk dilakukan seleksi. Namun, hingga kini proses seleksi belum juga selesai, karena masih menunggu masa reses DPR. Padahal, kebutuhan akan hakim agung kian mendesak untuk menyelesaikan tumpukan perkara di Mahkamah Agung. [yeh]

Tidak ada komentar: