BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Selasa, 18 Desember 2012

Nilai Adat & Kearifan Lokal Diharap Jadi Jiwa Hukum Pidana

Andi Saputra - detikNews

Jakarta - Putusan berbagai kasus 'sepele' yang masuk ke pengadilan belakangan terakhir menjadi sorotan. Padahal, hakim bisa menggunakan nilai-nilai hukum adat dan kearifan lokal masyarakat setempat untuk menjadi roh sebuah putusan pidana.

"Besar harapan kiranya kita dapat menggali nilai hukum adat Indonesia menjiwai sistem hukum nasional di masa kini dan masa datang sebagaimana nilai-nilai kearifan lokal yang telah dilahirkan leluhur kita," kata Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), Ridwan Mansyur saat berbincang dengan detikcom, Selasa (18/12/2012).

Hal tersebut bisa diwujudkan salah satunya dengan membuat mediasi antara para pihak yang berkepentingan seperti korban, pelaku, keluarga atau masyarakat. Mediasi ini bisa dilakukan di luar pengadilan atau di dalam pengadilan.

"Penyelesaian sengketa seperti ini sebetulnya telah lama digunakan masyarakat tradisional di Indonesia," lanjut pria flamboyan penyandang gelar doktor ini.

Menurut Ridwan, masyarakat tradisonal yang mempraktikkan musyawarah untuk mufakat adalah bentuk dini dari bentuk modern yang dikenal sekarang. Yaitu Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau biasa dikenal Alternative Dispute Resolution (ADR).

"Dalam banyak sengketa, orang lebih suka dialog dan biasanya minta pihak ketiga (mediator) seperti kepala desa atau kepala suku," ungkap mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Batam ini.

Hal di atas, menurut Ridwan, telah diatur dalam berbagai peraturan MA seperti untuk kasus perdata. Yang terbaru adalah Perma Nomor 2/2012 yang mengatur dalam mediasi di bidang pidana. Ikut menandatangani dalam Perma tersebut aparat penegak hukum lain dan Kemenkum HAM.

"Mediasi dalam perkara pidana menjadi kebutuhan dan penting dalam sistem peradilan Indonesia," ujar Ridwan yang juga menuangkan pikiran tersebut dalam dalam buku biografi 'Bunda Renghena, Silent Women by Wisdom'.

Dalam catatan detikcom, MA mengakui hukum adat dan tidak mau mengadili lagi di pengadilan. Yaitu pada kasus asusila di desa Paruna, Unaaha, Kendari, pada 15 Juni 1987.

Akibat perbuatan asusila tersebut, seorang pemuda diadili secara adat oleh ketua adat dengan membayar seekor kerbau dan satu lembar kain kaci. Putusan ketua adat ini diakui hingga kasasi MA.

(asp/rmd)

Tidak ada komentar: