Andi Saputra - detikNews
Jakarta - Anggota Komisi III DPR, Dimyati Natakusumah,
kaget muncul pasal ancaman penjara 10 tahun bagi hakim agung. Hal ini
muncul dalam Rancangan UU Mahkamah Agung (RUU MA) yang diserahkan dari
Komisi III DPR ke Badan Legislatif.
"Saya sangat aneh, saya kaget
ada ancaman bagi hakim seperti itu. Dalam tahapan awal dan rapat
paripurna, tidak ada pasal itu," kata Dimyati, saat berbincang dengan
detikcom, Sabtu (22/9/2012).
Secara pribadi, dia sangat menentang
hal tersebut. Sebab putusan hakim dipertanggungjawabkan kepada Tuhan,
bukan kepada siapa pun. Adanya ancaman pidana dan denda maksimal Rp 10
miliar menyimpang dari perspektif hukum dan mengancam independensi
hakim.
"Ini bisa membuat geger. Harus kita luruskan pasal ini
karena masih ada tahap lain untuk menjadi UU," ungkap legislator
penyandang gelar doktor ini.
Bagi mantan Bupati Pandeglang,
Banten ini, hakim hanya bisa dihukum apabila perilakunya, bukan
putusannya. Seperti menerima suap, melanggar kode etik atau melakukan
perbuatan pidana.
"Kalau terkait isi putusan itu
pertanggungjawaban hakim dengan Tuhan. Karena dia memutus berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa," ucap politikus dari Partai PPP ini.
Dalam berkas RUU MA tersebut, hakim agung dapat dihukum 10 tahun penjara atau denda Rp 10 miliar apabila:
1. Membuat putusan yang melanggar UU.
2. Membuat putusan yang menimbulkan keonaran dan kerusakan serta mengakibatkan kerusuhan, huru hara.
3.
Membuat putusan yang tidak mungkin dilaksanakan karena bertentangan
dengan realitas di tengah-tengah masyarakat, adat istiadat, dan
kebiasaan yang turun temurun sehingga akan mengakibatkan pertikaian dan
keributan.
4. Mengubah Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan
Ketua Komisi Yudisial secara sepihak, dan/atau Keputusan Bersama
tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim secara sepihak.
"Kalau ada kerusuhan atau huru-hara karena memperdebatkan putusan, masak hakimnya yang dihukum?" pungkas Dimyati balik bertanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar