Jakarta (ANTARA News) - Mantan pejabat di Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dihukum sembilan tahun dan empat tahun penjara dalam kasus korupsi proyek pengadaan dan pemasangan Solar Home System (SHS) tahun anggaran 2007--2008 di seluruh Indonesia.

"Menyatakan terdakwa satu Jacob Purwono dan terdakwa dua Kosasih Abbas terbukti secara sah dan bersama-sama dan berbarengan melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam dakwaan subsider dengan menjatuhkan pidana terhadap terdakwa satu dengan pidana penjara selama sembilan tahun dan denda Rp300 juta subsier kurungan enam bulan dan terdakwa dua Kosasih Abbas dengan pidana penjara empat tahun dan denda Rp150 juta subsider tiga bulan," kata ketua majelis hakim Sudjatmiko dalam sidang di pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) Jakarta, Rabu.

Putusan tersebut berdasarkan dakwaan subsider pasal 3 jo Pasal 18 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Vonis untuk Jacob yang adalah mantan Dirjen Listrik dan Pemanfaatan Energi (LPE) Kementerian ESDM yang menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yaitu pidana penjara selama 12 tahun dan denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara.

Sedangkan vonis untuk mantan Kepala Sub-usaha Energi Terbarukan Kementerian ESDM Kosasih Abbas yang menjadi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sama dengan tuntutan jaksa yaitu 4 tahun dan denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan.

Dalam amar putusannya, majelis hakim yang diketuai oleh Sudjatmiko menilai bahwa perbuatan keduanya dmenyebabkan kerugian dengan total nominal Rp144,8 miliar dengan rincian kerugian akibat proyek pada 2007 adalah senilai Rp77,4 miliar dan pada 2008 berjumlah Rp32,4 miliar.

"Terdakwa 1 pernah menyampaikan kepada terdakwa 2 agar bila ada pemberian dari rekanan diterima saja karena Ditjen sedang tidak memiliki uang, terdakwa 1 juga meminta terdakwa 2 agar pemenang lelang disesuaikan berdasarkan tulisan tangan terdakwa 1 mengenai perusahaan-perusahaan pemenang lelang," ungkap hakim.

Padahal pemenang lelang bukanlah `supplier` melainkan hanya perusahaan yang membeli barang dari `supplier` sehingga harga yang dihitung dalam perkiraan tidak sesuai.

"Terdakwa 2 mendapatkan pemberian uang dari para perusahaan dan disimpan oleh bendahara di ESDM dan dari uang tersebut di antaranya diberikan kepada sejumlah anggota DPR dan masuk juga ke rekening terdakwa 1 dan terdakwa 2," ungkap hakim.

Hal yang memberatkan bagi Jacob adalah kontraproduktif dengan program pemberantasan korupsi pemerintah dan tidak memberikan teladan bagi jajarannya serta tidak merasa bersalah.

"Sedangkan hal yang memberatkan bagi Kosasih adalah kontraproduktif dengan program pemberantasan korupsi serta tidak berani menolak arahan yang tidak benar dari atasan," tambah hakim.

Hal yang meringankan bagi Jacob menurut hakim adalah berlaku sopan di persidangan, punya tanggungan keluarga serta pernah memperoleh penghargaan satya lancana.

"Dan hal yang meringankan untuk Kosasih adalah mengakui terus terang perbuatan di persidangan, mengabdi cukup lama sebagai pegawai negeri, sopan serta masih punya tanggungan keluarga," jelas hakim.

Dalam vonis tersebut, ada putusan berbeda (dissenting opinion) dari hakim anggota ke-1 dan hakim anggota ke-2 terkait dengan unsur semua orang yang menggugurkan dakwaan pertama yaitu dari pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 Undang-undang No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU no 20 tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Pada amar putusan, disebutkan bahwa unsur semua orang pasal 2 ayat 1 tidak terpenuhi pada terdakwa 1 dan terdakwa 2 karena keduanya adalah pejabat di Kementerian ESDM, sehingga dakwaan primer tidak terbukti menurut hukum, namun dua hakim tidak menyetujui pendapat tersebut.

"Hakim anggota 1 dan hakim anggota 2 tidak sependapat dengan dakwaan subsider karena terbukti melanggar pasal 2 ayat 1 karena unsur semua orang untuk terdakwa 1 dan terdakwa 2 mencakup pengertian yang lebih luas sehingga siapa saja subjek hukum yang dapat dimintai pertangungjawabkan," kata hakim Aviantara.

Keduanya juga diminta untuk membayar uang pengganti berdasarkan pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi.

"Menjatuhkan pidana uang pengganti kepada terdakwa 1 sebesar Rp1,030 miliar dan terdakwa 2 Rp550 juta selambat-lambatnya setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan bila setelah lewat waktu tidak bayar maka harta disita untuk membayar uang pengganti dan bila tidak penuhi pembayaran maka terdakwa 1 akan dipidana 2 tahun penjara sementara terdakwa 2 dipidana 1 tahun penjara," tambah hakim Sudjatmiko.