Bogor (ANTARA News) - Sejumlah masyarakat Cisarua yang menanam tanaman khat (chata edulis) di kawasan Puncak, kabupaten Bogor, Jawa Barat menyatakan bersedia untuk memusnahkan tanaman tersebut dengan harapan ada ganti rugi dari pemerintah.

"Kami bersedia jika pemerintah ingin memusnahkan tanaman ini, kamipun tidak akan menanamnya lagi. Tapi kami juga berharap ada ganti rugi dari pemerintah, agar kami bisa bercocok tanam lagi," ujar Nanang (53) salah satu petani tanaman Khat di Desa Tugu Utara, Rabu.

Nanang mengatakan, jika tidak ada ganti rugi, masyarakat yang telah menanam tanaman yang termasuk dalam golongan narkotika tersebut akan kehilangan mata pencahariannya. Karena selama ini masyarakat menggantungkan hidupnya dari menjual tanaman itu.

Menurutnya, ganti rugi yang diharapkan warga adalah penggantian berupa bibit-bibit tanaman lain seperti wortel, sayur serta dana kompensasi agar para petani bisa tetap bercocok tanam dilahannya.

"Bibit tanaman Khat ini kami beli dengan uang kami sendiri, kalau dimusnahkan begitu saja, yah para petani jadi rugi. Kamipun kehilangan mata pencaharian," ujarnya.

Masyarakat awalnya mengenal tanaman tersebut sebagai tanaman yang banyak dicari turis Timur Tengah yang sering berwisata ke Puncak. Tanaman itu dikonsumsi untuk lalapan mencegah kolestrol usai makan daging kambing, obat diabetes dan diare.

Tanaman tersebut dibeli para turis seharga Rp100.000 perikatnya, bahkan ada yang berani membali Rp500.000 untuk satu kantong plastik kresek. Karena selain untuk lalapan juga untuk vitalitas bagi kaum pria.

Menurut Nanang, tanaman tersebut dibawa oleh turis dari Yaman, mulai ada sejak tahun 2005. Melihat banyak yang mencari, sejumlah wargapun mulai ramai menanamnya.

Tercatat hingga kini tanaman khat ditanaman di 55 titik terpisah dengan luas mencapai hingga 3 hektar.

Sementara itu, Badan Narkotika Nasional telah mengeluarkan regulasi larangan menanam dan menjual tanaman Khat karena menurut polisi terbukti mengandung cathinone, zat narkotika golongan I dalam Undang-Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

"Berdasarkan uji coba laboratorium, tumbuhan ini telah ditetapkan masuk dalam kategori tanaman terlarang sesuai undang-Undang nomor 35," kata Kepala Humas BNN Kombes Sumirat Dwiyanto.

Sumirat mengatakan, masyarakat yang selama ini menanam tumbuhan tersebut diharapkan agar tidak lagi menanam maupun memasarkannya karena bisa dipidanakan.

"Kami harap masyarakat tidak lagi menanamnya, sebaiknya masyarakat bercocok tanam tumbuhan jenis lain yang memiliki nilai ekonomis tapi tidak melanggar hukum," ujarnya.

Terkait tuntutan para petani yang menginginkan ganti rugi, Sumirat menyampaikan, dirinya akan segera berkordinasi dengan pimpinan yang lebih tinggi membicarakan mengenai ganti rugi tersebut. Sehingga, para petani yang menanam dan menggantungkan hidup dari menanam tanaman khat dapat ganti rugi dengan mengganti jenis tanaman yang lain.

"Soal ganti rugi ini akan dibicarakan, yang pasti akan diganti rugi berupa bibit-bibitan tumbuhan lain. Sehingga masyarakat tetap bisa bertani dan tidak dirugikan," katanya.