BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 18 Juli 2011

Busyro Muqoddas : Kami Bukan Komisi Pelindung Kepentingan

ENAM bulan sudah Busyro Muqoddas memimpin Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas uji materi UU KPK, juga memuluskan Busyro untuk bertahan di KPK tanpa harus ikut mendaftar seleksi ulang. 

Namun tak ada kegirangan di wajah dosen Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu saat merespon putusan MK. ”Saya hargai putusan itu,” ujarnya kepada JPNN.

Di KPK, mantan Ketua Komisi Yudisial (KY) itu tentunya tidak memikul beban ringan. Ada suara sinis untuk mengangkat citra KPK yang sempat terpuruk sejak kasus Antasari muncul. Hantaman dan kritikan ke terus mengarah ke KPK. Namun Busyro tak mau ambil pusing. Baginya, memimpin KPK tidak bisa dengan pencitraan. ”Remuk kalau hanya peduli citra,” ujarnya.

Dalam dua kali kesempatan pertemuan, Busyro menerima JPNN untuk wawancara khusus. Ia membeberkan beragam hal, mulai dari hal-hal ringan di masa mudanya hingga masalah-masalah serius. Teh manis mengawali setiap sesi wawancara. "Sayang ini nggak ada tiwulnya,"  kata pria penyuka tiwul itu.

Sesekali, dia menyodorkan syarat off the record. Berikut sebagian kutipan wawancaranya;

Enam bulan memimpin KPK, apa yang menurut Anda sudah dilakukan di sini?

Menguatkan budaya organisasi. Tentunya itu sudah ada sebelum saya masuk. Tetapi bagaimana agar penguatan organisasi itu makin menguatkan KPK pada posisi profesional, independen dan transparans.

Tapi ada kesan KPK juga lambat dalam menangani beberapa dugaan korupsi yang disorot publik...

Bagaimanapun profesionalisme dan transparansi itu juga dibarengi dengan prinsip prudential. Konsekuensi prinsip prudential itu memang membuat kita harus cermat betul, meski risikonya lantas dianggap lambat. Tapi kami memang harus profesional dan hati-hati karena KPK tak mengenal SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).

Kasus Gayus Tambunan sepertinya juga jalan di tempat?

Gayus itu kan terkait pengadilan pajak. Hakim pajak itu kan mewakili negara, jadi juga mewakili pemerintah. Tapi bagaimana jika kasus pajak yang bermain juga hakim pajak? Pertanyaannya, siapa yang akan ada di dalam peradilan itu yang betul-betul independen? Hakim itu kan tidak boleh mewakili pemerintahan. Hakim itu dalam konsep negara, dia yudikatif. Tapi di sini hakim pajak itu direkrut oleh aparat pemerintah.

Jadi apakah itu kesulitan mengungkap kasus Gayus?

Pertama ada masalah dalam sistem administrasi mengenai data yang diperlukan untuk bisa segera di-collect KPK. Sistem pendataannya bermasalah. Tapi untuk ini tidak semata-semata itu, juga disebabkan oleh masalah integritas.

Jadi data yang kemarin belum belum bisa di-sharing dalam kertas, dan ini masih dalam penyaringan, masih dalam proses. Kesulitannya ada di kantor-kantor pajak, jadi ini memang ada hikmahnya, bahwa administrasi mengenai data perpajakan itu harus dirombak total.

Kedua, karena kasus pajak itu lebih banyak pada konflik-konflik tentang peradilan pajak, maka lembaga peradilan pajaknya harus dirombak fundamentalnya, dan itu harus melalui UUD. Hukum acaranya harus standar. Pihak-pihak yang berperkara harus transparans. Peradilan pajak harus segera diubah formatnya secara fundamental agar kurang lebih sama dengan peradilan-peradilan khusus di bawah MA.

Rekrutmen hakim pajak juga harus diletakkan dalam prinsip profesional. Apakah harus sarjana hukum, atau harus sarjana hukum plus matrikulasi ilmu-ilmu tentang akuntansi. Itu yang nggak pernah ada.

Beralih ke kasus Century, kesannya Pak Busyro mengesampingkan rekomendasi DPR yang meyakini bahwa ada permukafatan jahat di dalamnya.....

Rekomendasi DPR itu rekomendasi politik, bukan rekomendasi hukum. Sebelum saya masuk (jadi ketua KPK), kasus Century itu kan sudah ada di sini. Begitu saya masuk saya intens, minta penjelasan-penjelasan di meja ini dengan unsur pimpinan-pimpinan lain, deputi, hingga direktur. Kasusnya diekspos terus ulang berkali.

Atau karena ada campur tangan politik sehingga masih berkutat di penyelidikan?

Teman kami yang berempat (empat wakil ketua KPK) itu kan sama, artinya tidak ada indikasi sedikitpun konteks-konteks politik. Kalau ada kecurigaan kepentingan politik, ya diawasi saja, kalau memang nanti dalam pengawasan ada indikasi kepentingan parpol. Saya berani memberi garansi bahwa tekanan politik tidak ada, interest politik tidak ada.

Kalau tekanan politik tidak ada, bagaimana dengan dugaan permainan politik yang membuat KPK tidak segera melangkah?

Permainan politik itu bagaimana" Kalau itu di luar kantor ini, tidak menjadikan variabel yang berpengaruh. Permainan politik jelas ada dan kental sekali. Tapi itu kan tidak relevan, dan tidak ada muatan yuridisinya. Dan permainan politik itu ketika dibawa ke sini (KPK), itu tidak ada kualitas yuridisinya.

Jadi KPK melihat kasus Century seperti apa? Hanya kasus permainan politik atau ada kasus hukum yang urgent untuk diselesaikan?

Sudut pandang hukum harus bebas dari sudut pandang politik dan kepentingan politik. Dan akan mental kalau ada yang mengintervensi.

Tetapi selalu ada kesan di luar bahwa ada pesanan politik dulu, baru ada tindakan dari KPK. Bagaimana menurut Anda?

Penilaian-penilaian seperti itu tidak sampai pada tahapan stigma sehingga membuat kami merasa terganggu. Sama sekali tidak. Tapi itu kami nilai sebagai bentuk komitmen dan cara media untuk memicu KPK supaya lebih cepat, jadi positif saja pandangan kami. Yang penting bagaimana kami terus memperkuat komitmen kami untuk tetap independen. Indepedensi itu artinya ya bebas dari apapun, sambil tetap diawasi.

Tapi soal Nazaruddin kok KPK cekatan. Sesmenpora belum tuntas sudah disambung dengan di Kemendiknas. Seolah-olah KPK kan menjalankan agenda tertentu dari sebuah kekuatan politik...

Itu kan logika formil. Itu logika yang dalam teori menyimpulkan yang tidak selalu benar secara kualitas. Namanya saja logika formal, benarnya juga hanya secara formsl saja. Tapi substansinya, logika yang dalam arti substansif itu menuntut rangkaian fakta-fakta, dan fakta itu sudah diverifikasi. Hasil verifikasi fakta itu satu dengan yang lain ada korelasi, lalu baru bisa disimpulkan.

Atau jangan-jangan karena tekanan kemudian untuk kasus Nazzarudin dikebut? Apalagi Ketua MK Mahfud MD terus melempar ”bom” membuka soal Nazaruddin.

Bom Pak Mahfud yang mana? Bomnya Pak Mahfud kalau yang kasus Sekjen (Sekjen MK Janedri M Gaffar yang menerima uang dari Nazaruddn) sampai sekarang kan belum berani.

Tapi saat kasus Sesmenpora belum tuntas, KPK sudah membuka lagi kasus korupsi di Kemendiknas yang juga disebut-sebut ada Nazaruddin di sana...

Kalau dugaan korupsi di Kemendiknas itu sudah masuk mulai Maret. Dan memang tidak diekspos, karena kalau diekspos mengganggu proses penyelidikan. Jadi itu bukan karena desakan publik lalu cepet-cepet kreatif kita paksakan untuk  umumkan,tidak berani kalau begitu. Kalau cepat-cepat diumumkan ternyata ada alat buktinya lemah, kan ampun-ampun kita.

Kasus yang ditangani KPK ini kan sering melebar ke ranah politik. Bagaimana Anda menyikapi kasus-kasus yang melibatkan tokoh-tokoh politik?

Kami bekerja tidak pernah mempertimbangkan desakan-desakan dari siapa pun juga, desakan apapun juga. Kalau sudah saatnya untuk kasus apa pun ternyata ada orang-orang tertentu yang secara struktur ada kaitannya dengan fungsi struktural dan berdasarkan alat bukti cukup orang-orang itu nyangkut, ya kami proses. Tapi kalau tidak, ya kami berhenti.

Atau ada rasa khawatir dan kapok sebagai jetua KPK?

Background saya itu pengacara jalanan yang selalu membongkar bobroknya pemerintah di era Soeharto dulu. Saya diuber-uber intel. Malah sering saat kasus Petrus (Penembakan Misterius) diuber intel polisi. Tapi itu track record saya dan saya bersyukur. Tidak ada kamus kapok.

Teman-teman Anda mendukung anda tetap memimpin KPK. Koneksi Pak Busyro di UII yang sekarang di posisi penting seperti Pak Mahfud misalnya...

Seribu Mahfud tidak ada pengaruhnya bagi saya.

Ke depan, apa yang akan dilakukan selama sisa waktu di KPK?

Ya kasus yang alat buktinya mencukupi, kasus besar kalau sampai hari ini alat buktinya tidak mencukupi ya belum bisa (dinaikkan ke penyidikan).

Apakan pernah diancam juga oleh calon tersangka?

Tidak pernah, paling cuma diunek-unekke (dicaci) lewat SMS atau telepon.

Tapi ada yang mengeluh, sejak KPK menangani kasus suap Sesmenpora, tender proyek SEA Games sebagian macet karena panitianya khawatir dengan KPK....

Kembali kepada pihak-pihak yang terkait tender itu, kalau mereka benar kenapa takut? Jalan saja.

Saya juga pernah punya pengalaman diperiksa KPK (kasus suap terhadap komisioner KY Irawadi Yunus) . Di sini (KPK) diperiksa sekali, di Pengadilan Tipikor sekali. Waktu itu kan banyak orang yang curiga, jangan-jangan ini struktural, ga mungkin seorang Irawadi Yunus tidak lapor Busyro. Tapi saya tenang saja dipanggil KPK. Saya bisa membuktikan sendiri, bahwa itu tidak ada kaitannya. KPK tidak bisa menyangkut-nyangkutkan.

Demikian juga setelah saya masuk sini, kalau menyangkut-nyangkutkan justru tidak profesional. Kalau begitu artinya justru KPK bekerja dalam ranah politik dan itu harus dihindari.

Jadi Pak Busyro agak dendam dengan KPK?

Bahwa saya pernah diperiksa KPK itu saya akui. Itu sisi menarik. Nambah ci data riwayat hidup saya he he he.... Cuma sebagai saksi kan? Itu perintah agama loh, jadilah kamu saksi.

Ada godaan selama memimpin KPK? Lewat keluarga misalnya?

Alhamdulillah sampai sekarang di KPK, baik itu dari keluarga dalam arti istri anak, saudara itu tidak ada.

Dulu saat di KY, ada saudara jauh, kontraktor. Dia tahu ketika KY akan membangun gedung dan menemui saya minta diikutkan. Saya jawab, kalau seperti ini melanggar dan anda tahu saya kan. Jadi nggak usah ikut.

Di sini juga clean. Insyaallah itu akan saya jaga, tidak ada yang ngrecokkin, apalagi dari pihak keluarga karena sejak awal mau masuk sudah rembukan dengan keluarga.

Lantas bagaimana menanggapi keragu-keraguan terhadap KPK?

Dalam arti  sensitifitasnya, (memimpin KPK)  itu sensitif banget. Sehingga orang bisa melihat KPK dari berbagai sudut pandang, termasuk dalam sudut pandang adakah kasus-kasus seperti Nazaruddin yang lolos kemudian kinerjanya dianggap tidak profesional. Kalau lantas disebut KPK itu Komisi Pelindung Kepentingan. Itu lumrah, karena apa" karena logika formil, logika publik, dan itu tidak perlu disalahkan. Tapi kami bukan Komisi Pelindung Kepentingan.

Kembali lagi pada kami berlima, kami cukup paham dan memahami dengan jiwa besar. Tetapi itu tidak pernah menyurutkan niat kami. Kami tidak merasa pernah dikucilkan peran-peran kami. Dan bukan juga karena itu kami harus membesar-besarkan peran. Itu harus kami hindari.

Apakah khawatir diganggu seperti yang dialami Bibit dan Chandra?

Kami berlima ini tetap menjaga ritme kehati-hatian prodentialitas, terutama untuk menakar bukti-bukti itu memang ekstra.

Jadi pimpinan KPK itu dikriminalkan itu banyak celahnya?

Kalau menurut saya tidak. Menurut anda banyak celah ya. Kalau kasus Anggodo mengapa bukti bisa dibikin, itu kan Anggodo tidak bikin sendiri, ada faktor-faktor di luar Anggodo. Apakah masih mau dicoba cara yang tidak beradab itu?

Tidak takut di-Antasarikan?

Kalau bekerja sudah diawali dengan perasaan takut, itu tidak usah masuk KPK. Jadi kalau takut jangan mendaftar, tapi jangan juga masuk dengan emosi harus begini-begini, itu juga nanti cenderung sombong, arogan, dan itu bisa berimplikasi buruk. Lalu membangun pencitraan, wah gawat kalau KPK untuk sarana pencitraan. Bisa remuk, orang itu remuk, dan KPK juga akan remuk.

Jadi menurut Anda pimpinan KPK harus low profile?

Itu paling bagus

Tapi kalau dilihat waktu KPK melakukan penangkapan-penangkapan, sepertinya waktunya menjelang akhir pekan atau libur panjang. Jadi bisa mendominasi saat pemberitaan sepi dan mendongkrak pencitraan.

Kalau misalnya hasil monitoringnya nanti jam 12 malam sementara besok idul fitri atau natal, lalu apakah kami batalkan (penangkapan) demi Idul Fitri. Nanti dibilang pencitraan lagi.

Kan pimpinan KPK ini bisa jadi batu lompatan. Siapa tahu nanti diusung jadi Wapres?

Sebagai dosen dan aktifis HAM saja saya sudah enjoy.(ara/aj/jpnn)

Tidak ada komentar: