Jpnn
JAKARTA--Salah satu poin krusial dalam pembahasan rancangan undang-undang pemilihan kepala daerah (RUU pilkada) mulai mengerucut. Pemilihan bupati/wali kota hampir pasti tidak dilakukan secara langsung, namun melalui mekanisme perwakilan atau lewat DPRD.
Meski belum sampai pada tahap pengambilan keputusan akhir dari panja RUU pilkada, beberapa fraksi sudah menyatakan sikap memilih pengalihan mekanisme pemilihan bupati/wali kota dari pemilu langsung ke DPRD seperti yang diusulkan pemerintah.
"Ini sesuai permintaan dari masyarakat. Jadi, kami menjaring aspirasi untuk bagaimana kemudian dibicarakan di sini," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf di kompleks parlemen, Kamis (28/11). Menurut dia, pilkada secara langsung hingga tingkat bupati/wali kota membuat frekuensi pelaksanaannya terlalu sering.
Dia memberikan contoh di Jawa Timur sesuai dengan daerah pemilihannya yang terdapat lebih dari 30 kabupaten/kota. Karena terlalu sering, agenda politik itu bisa memunculkan kebosanan di masyarakat.
Nurhayati tidak menampik bahwa masih ada yang keberatan dengan pengembalian pemilihan bupati/wali kota ke DPRD. "Ya pasti ada (lobi fraksi) dan tugas saya untuk monitoring. Komunikasi itu biasa dilakukan," katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain juga menyatakan setuju pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD meski belum diputuskan. Pertimbangannya, selain efisiensi, otonomi daerah juga tidak dikonsentrasikan di kabupaten/kota lagi, namun agak digeser ke provinsi. Banyaknya sengketa pilkada juga menjadi pertimbangan.
Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja juga menyebutkan, kemungkinan hanya pemilihan gubernur yang melalui pemilihan langsung. "Fraksi-fraksi mulai memikirkan ini dengan berbagai pertimbangan," kata Hakam.
Rencananya, pembahasan RUU pilkada ditargetkan tuntas pada masa sidang akhir tahun ini yang ditutup pada 20 Desember mendatang. Saat ini panja tinggal mengambil keputusan akhir setelah mendengar pandangan dari fraksi-fraksi.
Meski belum sampai pada tahap pengambilan keputusan akhir dari panja RUU pilkada, beberapa fraksi sudah menyatakan sikap memilih pengalihan mekanisme pemilihan bupati/wali kota dari pemilu langsung ke DPRD seperti yang diusulkan pemerintah.
"Ini sesuai permintaan dari masyarakat. Jadi, kami menjaring aspirasi untuk bagaimana kemudian dibicarakan di sini," kata Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Ali Assegaf di kompleks parlemen, Kamis (28/11). Menurut dia, pilkada secara langsung hingga tingkat bupati/wali kota membuat frekuensi pelaksanaannya terlalu sering.
Dia memberikan contoh di Jawa Timur sesuai dengan daerah pemilihannya yang terdapat lebih dari 30 kabupaten/kota. Karena terlalu sering, agenda politik itu bisa memunculkan kebosanan di masyarakat.
Nurhayati tidak menampik bahwa masih ada yang keberatan dengan pengembalian pemilihan bupati/wali kota ke DPRD. "Ya pasti ada (lobi fraksi) dan tugas saya untuk monitoring. Komunikasi itu biasa dilakukan," katanya.
Sebelumnya, anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB Abdul Malik Haramain juga menyatakan setuju pemilihan bupati/wali kota oleh DPRD meski belum diputuskan. Pertimbangannya, selain efisiensi, otonomi daerah juga tidak dikonsentrasikan di kabupaten/kota lagi, namun agak digeser ke provinsi. Banyaknya sengketa pilkada juga menjadi pertimbangan.
Wakil Ketua Komisi II Abdul Hakam Naja juga menyebutkan, kemungkinan hanya pemilihan gubernur yang melalui pemilihan langsung. "Fraksi-fraksi mulai memikirkan ini dengan berbagai pertimbangan," kata Hakam.
Rencananya, pembahasan RUU pilkada ditargetkan tuntas pada masa sidang akhir tahun ini yang ditutup pada 20 Desember mendatang. Saat ini panja tinggal mengambil keputusan akhir setelah mendengar pandangan dari fraksi-fraksi.
Selain soal mekanisme pemilihan, poin krusial dalam RUU pilkada adalah pemilihan dalam satu paket atau tidak, pembagian tugas, penyelesaian sengketa, pilkada serentak, politik dinasti, dan pendanaan. (fal/c4/fat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar