VIVAnews - Para dokter di Tanah Air kini kerahkan pembelaan pamungkas kepada tiga sejawat mereka lewat jalur hukum. Ini berupa pengajuan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis bersalah dari Mahkamah Agung (MA) kepada tiga dokter itu terkait kasus malapraktik terhadap pasien bernama Julia Frasiska Makatey di Rumah Sakit Prof. Dr. RD Kandou Manado pada 2010.
Ketiga dokter itu adalah Dewa Ayu Swasyari Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian. Sesuai surat keputusan MA Nomor 365/K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012, mereka divonis bersalah dengan hukuman penjara 10 bulan karena sengaja melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP).
Ketiga dokter itu adalah Dewa Ayu Swasyari Prawani, Hendry Simanjuntak, dan Hendy Siagian. Sesuai surat keputusan MA Nomor 365/K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012, mereka divonis bersalah dengan hukuman penjara 10 bulan karena sengaja melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP).
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani ditangkap di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur pada 8 November 2013. Sedangkan dr Hendry Simanjuntak ditangkap pada Sabtu 23 November 2013 di rumah kakeknya di Siborong-borong Sumatera Utara.
Ayu dan Hendry kini ditahan di Rutan Malendeng, Manado. Sementara Hendy belum berhasil ditangkap.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak terima atas putusan MA, lembaga yudikatif tertinggi di Indonesia. Setelah Rabu kemarin sukses menggalang aksi mogok nasional para dokter sebagai bentuk solidaritas bagi dr Ayu cs, IDI juga siap "bertarung" secara hukum dengan MA.
Melalui kuasa hukum mereka, O.C. Kaligis, IDI telah mengajukan peninjauan kembali (KPK) kepada MA atas perkara tersebut. IDI menegaskan bahwa putusan MA mengandung kekhilafan dan kekeliruan.
Menurut IDI, bila mengacu pada Pasal 13 Kode Etik Kedokteran, ketiga dokter itu telah melaksanakan pertolongan darurat sebagai tugas sosial. Selain itu, dokter Ayu cs telah bertindak sesuai prosedur kedokteran. Penyebab kematian pasien adalah adanya eboli udara pada jantung yang diakibatkan efek samping pemberian obat anastesi dan bukan karena tindakan operasi.
Selain itu, IDI memastikan dokter Ayu cs tidak memalsukan tanda tangan pasien, seperti yang dicurigai selama ini. Dan sesuai keterangan saksi ahli selaku Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, dipastikan tidak ada kelalaian dalam penanganan pasien akibat tindakan dokter Ayu dan dua sejawatnya.
Maka, Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Zaenal Abidin MH, mengatakan masalah yang dihadapi dokter Ayu cs merupakan pertarungan yang penting untuk dimenangkan. Ini untuk menghindari preseden buruk bagi dunia kedokteran dan para dokter.
"Kami akan membela sekuat tenaga. Ini adalah pertarungan, kalau ini tidak kami menangkan akan jadi preseden buruk bagi kami. Karena dokter bisa dipenjara, padahal bila kembali ke hukum kedokteran, kami membantu kesembuhan bukan menjanjikan kesembuhan," kata Zaenal di Rutan Malendeng, Manado, Kamis, 28 November 2013, tempat dr Ayu dan rekannya ditahan.
Dalam mengajukan PK, lanjut Zaenal, IDI telah menyiapkan sejumlah saksi ahli, termasuk hakim senior MA, untuk membantu mereka. IDI katanya akan memberi dukungan penuh kepada penasihat hukum untuk membebaskan tiga dokter mereka yang dikriminalisasi.
"Kami sudah surati Prof Bustanul Arifin, Prof Laica Marzuki dan seorang ahli hukum pidana dan guru besar hukum. Banyak juga ahli yang mengajukan diri, karena merasa bingung dan perihatin dengan putusan MA," kata Zaenal Abidin.
Terkait hal ini, IDI meminta kepada MA agar PK yang mereka ajukan bisa segera dipercepat, sebagai upaya hukum lanjutan atas kasus dokter Ayu cs yang telah diputus di tingkat kasasi.
Kementerian Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) juga ikut menyoroti kasus ini. Menurut mereka, kematian Siska 20 menit setelah operasi caesar bukanlah kejadian malapraktik. Ini merupakan insiden medis yang tak dapat dicegah dan berakibat fatal.
Ketua POGI Jakarta, Frizar Irmansyah, mengatakan saat operasi caesar berlangsung, terjadi insiden emboli – ketuban melebar, udara masuk ke pembuluh darah dan lari ke paru-paru, mengakibatkan pembuluh darah pecah. Aliran darah pun tersumbat seketika karena air ketuban masuk ke dalam pembuluh darah. Saat itu Siska langsung terserang sesak nafas hebat.
Menghadapi hal ini, dokter Ayu dan timnya segera mengambil tindakan. Suntikan steroid diberikan untuk menanggulangi peradangan. Mereka juga berupaya mempertahankan oksigenisasi dengan memasang alat bantu yang disebut ventilator. Sayangnya nyawa pasien tidak tertolong. Meski demikian bayi lahir dengan sehat.
Sementara berdasarkan putusan Mahkamah Agung, kesalahan dokter Ayu dan dua rekan sejawatnya adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP). Selain itu, mereka sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban hanya memiliki sertifikat kompetensi. Padahal untuk melakukan tindakan praktik kedokteran, termasuk operasi cito yang dilakukan para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki SIP kedokteran.
Menurut IDI, bila mengacu pada Pasal 13 Kode Etik Kedokteran, ketiga dokter itu telah melaksanakan pertolongan darurat sebagai tugas sosial. Selain itu, dokter Ayu cs telah bertindak sesuai prosedur kedokteran. Penyebab kematian pasien adalah adanya eboli udara pada jantung yang diakibatkan efek samping pemberian obat anastesi dan bukan karena tindakan operasi.
Selain itu, IDI memastikan dokter Ayu cs tidak memalsukan tanda tangan pasien, seperti yang dicurigai selama ini. Dan sesuai keterangan saksi ahli selaku Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, dipastikan tidak ada kelalaian dalam penanganan pasien akibat tindakan dokter Ayu dan dua sejawatnya.
Maka, Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Zaenal Abidin MH, mengatakan masalah yang dihadapi dokter Ayu cs merupakan pertarungan yang penting untuk dimenangkan. Ini untuk menghindari preseden buruk bagi dunia kedokteran dan para dokter.
"Kami akan membela sekuat tenaga. Ini adalah pertarungan, kalau ini tidak kami menangkan akan jadi preseden buruk bagi kami. Karena dokter bisa dipenjara, padahal bila kembali ke hukum kedokteran, kami membantu kesembuhan bukan menjanjikan kesembuhan," kata Zaenal di Rutan Malendeng, Manado, Kamis, 28 November 2013, tempat dr Ayu dan rekannya ditahan.
Dalam mengajukan PK, lanjut Zaenal, IDI telah menyiapkan sejumlah saksi ahli, termasuk hakim senior MA, untuk membantu mereka. IDI katanya akan memberi dukungan penuh kepada penasihat hukum untuk membebaskan tiga dokter mereka yang dikriminalisasi.
"Kami sudah surati Prof Bustanul Arifin, Prof Laica Marzuki dan seorang ahli hukum pidana dan guru besar hukum. Banyak juga ahli yang mengajukan diri, karena merasa bingung dan perihatin dengan putusan MA," kata Zaenal Abidin.
Terkait hal ini, IDI meminta kepada MA agar PK yang mereka ajukan bisa segera dipercepat, sebagai upaya hukum lanjutan atas kasus dokter Ayu cs yang telah diputus di tingkat kasasi.
Kementerian Kesehatan dan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) juga ikut menyoroti kasus ini. Menurut mereka, kematian Siska 20 menit setelah operasi caesar bukanlah kejadian malapraktik. Ini merupakan insiden medis yang tak dapat dicegah dan berakibat fatal.
Ketua POGI Jakarta, Frizar Irmansyah, mengatakan saat operasi caesar berlangsung, terjadi insiden emboli – ketuban melebar, udara masuk ke pembuluh darah dan lari ke paru-paru, mengakibatkan pembuluh darah pecah. Aliran darah pun tersumbat seketika karena air ketuban masuk ke dalam pembuluh darah. Saat itu Siska langsung terserang sesak nafas hebat.
Menghadapi hal ini, dokter Ayu dan timnya segera mengambil tindakan. Suntikan steroid diberikan untuk menanggulangi peradangan. Mereka juga berupaya mempertahankan oksigenisasi dengan memasang alat bantu yang disebut ventilator. Sayangnya nyawa pasien tidak tertolong. Meski demikian bayi lahir dengan sehat.
Sementara berdasarkan putusan Mahkamah Agung, kesalahan dokter Ayu dan dua rekan sejawatnya adalah melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik (SIP). Selain itu, mereka sebagai dokter dalam melaksanakan operasi cito secsio sesaria terhadap korban hanya memiliki sertifikat kompetensi. Padahal untuk melakukan tindakan praktik kedokteran, termasuk operasi cito yang dilakukan para terdakwa terhadap diri korban, para terdakwa harus memiliki SIP kedokteran.
Aksi Demonstrasi
Putusan Mahkamah Agung dan penangkapan dua dokter membuat ribuan dokter di seluruh Indonesia turun ke jalan untuk menggelar aksi domonstrasi besar-besaran. Meski pelayanan di rumah sakit besar tidak terganggu, tapi akibat aksi ini, sejumlah pasien di rumah sakit di daerah justru tidak mendapat pelayanan karena dokternya sedang melakukan unjuk rasa.
Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek, Bandar Lampung terhenti. Poliklinik rawat jalan rumah sakit terlihat sepi. Seluruh ruangan praktik dokter spesialis yang biasanya ramai dipenuhi pasien terlihat ditutup.
Rumah Sakit Umum Daereh (RSUD) Dokter Slamet Garut juga terpaksa menutup layanan rawat jalan gara-gara dokter di rumah sakit itu berdemo. Sejumlah pasien yang hendak berobat terpaksa harus pulang dengan kecewa.
Tidak terima karena tidak mendapat layanan dokter, seorang pasien penderita tumor mengamuk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur. Pasien bernama Uli Agus itu tidak tahu jika para dokter menggelar aksi demonstrasi dan mogok nasional. Terkait hal ini, Pemprov Jawa Timur mengancam akan menindak dokter yang menggelar unjuk rasa.
Aksi demonstrasi IDI ini tercatat di sejumlah kota, seperti Balikpapan, Medan, Makassar, Jambi, Semarang, Depok, Yogyakarta, Garut, Bandung, Surabaya, Solo, Bali, Ambon, Mataram, hingga Jakarta. Berseragam jas putih dan menyematkan pita hitam, mereka memadati jalan-jalan di kota besar tersebut. Di Jakarta, para dokter memusatkan aksi mereka di Istana Negara dan kantor Mahkamah Agung (MA).
Pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek, Bandar Lampung terhenti. Poliklinik rawat jalan rumah sakit terlihat sepi. Seluruh ruangan praktik dokter spesialis yang biasanya ramai dipenuhi pasien terlihat ditutup.
Rumah Sakit Umum Daereh (RSUD) Dokter Slamet Garut juga terpaksa menutup layanan rawat jalan gara-gara dokter di rumah sakit itu berdemo. Sejumlah pasien yang hendak berobat terpaksa harus pulang dengan kecewa.
Tidak terima karena tidak mendapat layanan dokter, seorang pasien penderita tumor mengamuk di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Jawa Timur. Pasien bernama Uli Agus itu tidak tahu jika para dokter menggelar aksi demonstrasi dan mogok nasional. Terkait hal ini, Pemprov Jawa Timur mengancam akan menindak dokter yang menggelar unjuk rasa.
Aksi demonstrasi IDI ini tercatat di sejumlah kota, seperti Balikpapan, Medan, Makassar, Jambi, Semarang, Depok, Yogyakarta, Garut, Bandung, Surabaya, Solo, Bali, Ambon, Mataram, hingga Jakarta. Berseragam jas putih dan menyematkan pita hitam, mereka memadati jalan-jalan di kota besar tersebut. Di Jakarta, para dokter memusatkan aksi mereka di Istana Negara dan kantor Mahkamah Agung (MA).
Sejak keluar putusan kasasi MA pada 2012, ketiga dokter itu sempat tidak diketahui keberadaannya. Mereka hampir satu tahun masuk dalam DPO. Saat ini dua dokter berhasil ditangkap tim Kejari Manado.
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani ditangkap di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur pada 8 November 2013. Sedangkan dr Hendry Simanjuntak ditangkap pada Sabtu 23 November 2013 di rumah kakeknya di Siborong-borong Sumatera Utara. Sementara dr Hendy Siagian hingga hari ini belum berhasil ditangkap.
Direktorat Imigasi bahkan telah mengeluarkan surat cegah bepergian ke luar negeri kepada tiga dokter tersebut. Ini dilakukan setelah ada pengajuan cegah dari Kejaksaan Agung pada 26 November 2013. Jangka waktu selama enam bulan ke depan.
Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Zaenal Abidin MH, menolak bahwa dokter Hendy Siagian adalah seorang buronan. Menurutnya, saat ini yang bersangkutan ada bersama keluarganya di Sorong.
"Dokter kami ini bukan buronan. Untuk apa mereka ada di Manado sementara tugasnya sudah selesai? Mereka tentu harus kembali ke daerahnya masing-masing. Dokter Hendy memang marga Batak, tapi tempat tinggalnya di Sorong," katanya.
Dibenarkan Secara Hukum
Sementara itu Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, mengatakan pemidanaan terhadap dokter Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendi Siagian, sudah dibenarkan secara hukum.
Karena itu, menurutnya, polemik penahanan terhadap tiga dokter tersebut tidak ditanggapi secara berkepanjangan oleh dokter-dokter lainnya, apalagi sampai melakukan aksi mogok praktik kepada masyarakat.
Menurut YLBHI, aksi mogok yang dilakukan dokter ini justru merugikan jutaan rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu, semua pihak diminta menghormati putusan hakim Mahkamah Agung (MA), lebih-lebih putusan terhadap ke-tiga dokter tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
"Atas peristiwa ini seharusnya dokter lebih profesional dan berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait tugas medisnya. Karena tindakan kecerobohan seorang dokter bisa menyebabkan melayangnya nyawa seseorang," kata Bahrain dalam rilis yang diterima VIVAnews, Kamis, 28 November 2013.
Yayasan LBH Indonesia menilai, pemidanaan dokter sangat dimungkinkan bahkan dibenarkan secara hukum. Dalam KUHP, faktor kesalahan (kelalaian) yang menyebabkan orang lain mati merupakan perbuatan tindak pidana, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 359 KUHP.
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Tapi perlu diketahui juga, kata Bahrain, bahwa dalam hukum pidana dikenal Asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, asas ini merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan perbuatan tindak pidana. Asas di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 6 ayat (1) dan (2).
Hakim kasasi MA yang memegang perkara dokter Ayu tentu memahami asas itu.
Selanjutnya jika mempelajari UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dokter juga sangat memungkinkan untuk dilaporkan oleh siapapun terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh dokter, dalam hal ini sangat jelas pengaturannya di Pasal 66 ayat (3).
Dalam Pasal 304 KUHP tersebut, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Di dalam Pasal 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik Kedokteran dimuat jelas mengenai kewajiban dokter termasuk memberikan pelayanan medis sesuai standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Selanjutnya di dalam Pasal 52 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga menegaskan terkait hak-hak pasien termasuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-undang yang sama.
Selain pelaporan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, dapat juga pihak yang dirugikan melaporkan kepada pihak yang berwenang dalam melakukan pemeriksaan terhadap terjadinya tindak pidana, yakni aparat kepolisian. Namun, jika kerugian tersebut mengarah pada kerugian perdata, maka bisa dilakukan gugatan secara perdata ke pengadilan.
"Dengan demikian tentunya pemidanaan terhadap dokter dibenarkan secara hukum, karena perundang-undangan sangat memungkinkan untuk mempidanakan dokter," kata Bahrain. (ren)
Dokter Dewa Ayu Sasiary Prawani ditangkap di tempat praktiknya di Rumah Sakit Ibu dan Anak Permata Hati, Balikpapan Kalimantan Timur pada 8 November 2013. Sedangkan dr Hendry Simanjuntak ditangkap pada Sabtu 23 November 2013 di rumah kakeknya di Siborong-borong Sumatera Utara. Sementara dr Hendy Siagian hingga hari ini belum berhasil ditangkap.
Direktorat Imigasi bahkan telah mengeluarkan surat cegah bepergian ke luar negeri kepada tiga dokter tersebut. Ini dilakukan setelah ada pengajuan cegah dari Kejaksaan Agung pada 26 November 2013. Jangka waktu selama enam bulan ke depan.
Ketua PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dr Zaenal Abidin MH, menolak bahwa dokter Hendy Siagian adalah seorang buronan. Menurutnya, saat ini yang bersangkutan ada bersama keluarganya di Sorong.
"Dokter kami ini bukan buronan. Untuk apa mereka ada di Manado sementara tugasnya sudah selesai? Mereka tentu harus kembali ke daerahnya masing-masing. Dokter Hendy memang marga Batak, tapi tempat tinggalnya di Sorong," katanya.
Dibenarkan Secara Hukum
Sementara itu Direktur Advokasi dan Kampanye Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Bahrain, mengatakan pemidanaan terhadap dokter Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendi Siagian, sudah dibenarkan secara hukum.
Karena itu, menurutnya, polemik penahanan terhadap tiga dokter tersebut tidak ditanggapi secara berkepanjangan oleh dokter-dokter lainnya, apalagi sampai melakukan aksi mogok praktik kepada masyarakat.
Menurut YLBHI, aksi mogok yang dilakukan dokter ini justru merugikan jutaan rakyat Indonesia untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Karena itu, semua pihak diminta menghormati putusan hakim Mahkamah Agung (MA), lebih-lebih putusan terhadap ke-tiga dokter tersebut sudah berkekuatan hukum tetap.
"Atas peristiwa ini seharusnya dokter lebih profesional dan berhati-hati dalam mengambil tindakan terkait tugas medisnya. Karena tindakan kecerobohan seorang dokter bisa menyebabkan melayangnya nyawa seseorang," kata Bahrain dalam rilis yang diterima VIVAnews, Kamis, 28 November 2013.
Yayasan LBH Indonesia menilai, pemidanaan dokter sangat dimungkinkan bahkan dibenarkan secara hukum. Dalam KUHP, faktor kesalahan (kelalaian) yang menyebabkan orang lain mati merupakan perbuatan tindak pidana, hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 359 KUHP.
“Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun”.
Tapi perlu diketahui juga, kata Bahrain, bahwa dalam hukum pidana dikenal Asas “tiada pidana tanpa kesalahan”, asas ini merupakan asas fundamental dalam mempertanggungjawabkan perbuatan tindak pidana. Asas di atas menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat dipidana apabila ia tidak mempunyai kesalahan, baik berupa kesengajaan maupun kealpaan. Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 6 ayat (1) dan (2).
Hakim kasasi MA yang memegang perkara dokter Ayu tentu memahami asas itu.
Selanjutnya jika mempelajari UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, dokter juga sangat memungkinkan untuk dilaporkan oleh siapapun terkait dugaan tindak pidana yang dilakukan oleh dokter, dalam hal ini sangat jelas pengaturannya di Pasal 66 ayat (3).
Dalam Pasal 304 KUHP tersebut, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan dia wajib memberi kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Di dalam Pasal 51 UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik Kedokteran dimuat jelas mengenai kewajiban dokter termasuk memberikan pelayanan medis sesuai standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien. Selanjutnya di dalam Pasal 52 UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran juga menegaskan terkait hak-hak pasien termasuk mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) Undang-undang yang sama.
Selain pelaporan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, dapat juga pihak yang dirugikan melaporkan kepada pihak yang berwenang dalam melakukan pemeriksaan terhadap terjadinya tindak pidana, yakni aparat kepolisian. Namun, jika kerugian tersebut mengarah pada kerugian perdata, maka bisa dilakukan gugatan secara perdata ke pengadilan.
"Dengan demikian tentunya pemidanaan terhadap dokter dibenarkan secara hukum, karena perundang-undangan sangat memungkinkan untuk mempidanakan dokter," kata Bahrain. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar