Anas Urbaningrum membacakan nota pembelaannya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (18/9/2014). (VIVAnews/Ahmad Rizaluddin)
"Kasasi Anas sudah diputus, berubah putusannya. Menjadi 14 tahun. Alasannya terbukti tindak pidana korupsi dan terbukti money laundering (tindak pidana pencucian uang)," kata Juru Bicara MA, Suhadi, saat dihubungi wartawan, Senin, 8 Juni 2015.
Tidak hanya pidana penjara, Majelis Kasasi juga menjatuhkan pidana denda sebesar Rp5 miliar subsidair 1 tahun 4 bulan terhadap Anas. Anas juga diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp57 miliar.
Apabila uang pengganti dalam waktu satu bulan tidak dilunasi, seluruh harta kekayaan Anas akan dilelang dan apabila masih belum cukup, Anas terancam penjara selama 4 tahun.
Hak politik dicabut
Tidak hanya pidana penjara dan denda, Majelis juga mengabulkan permohonan Jaksa pada KPK untuk menjatuhkan hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.
Majelis hakim yang memutus kasus kasasi Anas diketahui yakni Artidjo Alkostar, MS Lumme, dan Krisna Harahap. Pada putusannya, Majelis Hakim berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pindak Korupsi juncto Pasal 64 KUHP, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) serta Pasal 3 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang TPPU.
Pada pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana awal dalam TPPU harus dibuktikan terlebih dulu. MA mengacu kepada ketentuan Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang menegaskan bahwa tindak pidana asal tidak wajib dibuktikan terlebih dulu.
Majelis Kasasi juga menyatakan pertimbangan Pengadilan Negeri serta Pengadilan Tinggi terkait hak terdakwa dalam jabatan publik adalah keliru. Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi menilai jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan itu harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat.
Sebaliknya, MA berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seoraang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali harus dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya.
Vonis gila
Dihubungi terpisah, kuasa hukum Anas Urbaningrum, Handika Honggowongso, bereaksi keras terkait putusan MA itu. Dia menyatakan akan melakukan upaya hukum lebih lanjut.
"Itu vonis gila, sungguh sangat berat sekali. Jelas, majelis hakim tingkat kasasi lebih mengedepankan semangat menghukum dengan meninggalkan semangat untuk mencari keadilan, tentu ke depan kami akan melakukan upaya hukum," ujarnya.
"Sidang kasasi itu memeriksa soal penerapan hukum, jika sampai majelis hakim kembali mempertimbangkan fakta untuk dasar menghukum, ya, jelas keliru. Tentu harus dilawan secara total," kata Handika.
Sebelumnya Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah meringankan hukuman Anas Urbaningrum menjadi 7 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Putusan itu lebih ringan daripada Putusan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta, yakni 8 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsidair tiga bulan kurungan.
Pengadilan Tinggi DKI juga memutuskan untuk mengembalikan dua bidang tanah dengan luas 200 meter persegi dan 7.870 meter persegi di Jalan DI Panjaitan Nomor 139 Mantrijeron, Yogyakarta, kepada Pesantren Krapyak untuk kepentingan santri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar