VIVAnews - Kekhawatiran media Australia bahwa jumlah imigran gelap bisa kembali meningkat menyerbu negeri Kanguru, paska dihentikannya kerjasama di bidang militer dengan Indonesia, bisa menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
Setidaknya, sebuah dokumen milik salah seorang pejabat tinggi Imigrasi RI yang berhasil diperoleh harian Sydney Morning Herald (SMH) menjadi pembuktian.
Dalam sebuah artikel yang diturunkan SMH, Minggu, 24 November 2013 menyebut para pejabat imigrasi Indonesia berjanji tak akan lagi menghalangi langkah para pencari suaka yang berniat berlayar menuju tepi pantai Australia.
Kepala Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Sumatera Utara, Rustanov, membenarkan hal itu. Dia mengatakan upaya pemantauan untuk menghentikan perahu pencari suaka yang masuk ke Indonesia menuju Australia, akan dihentikan.
"Kami tidak ada urusan lagi dengan Australia. Biarkan saja perahu yang membawa para pencari suaka itu menuju ke sana. Tidak akan ada upaya pemantauan yang dibutuhkan," ujar Rustanov.
Dulu, imbuh Rustanov, jajarannya bekerja sama dengan polisi telah menahan banyak para pencari suaka yang berusaha menyelundup menuju Australia.
"Kini, tidak ada gunanya membuang-buang energi menahan mereka," imbuh Rustanov.
Sementara seorang pejabat senior di kantor imigrasi Yogyakarta, Tatang Suheryadin, mengatakan mereka hanya mengikuti kebijakan pemerintah pusat. Hingga hari ini, belum ada kebijakan baru yang diberlakukan menyusul keputusan pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara waktu upaya penyelundupan manusia.
"Direktur Jenderal Imigrasi dari Depkumham, belum mengeluarkan instruksi apa pun terkait permasalahan ini," ujar Tatang.
Instruksi serupa juga masih dinanti oleh Kapolda Jawa Barat, Suhardi Alius. Dia mengaku, hingga ini masih terus menunggu arahan dari Kapolri terkait penanganan para imigran gelap.
Berita mengenai dihentikannya kerjasama bidang penyelundupan manusia, tentu disambut baik oleh para pencari suaka yang kini berada di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Cisarua. Mereka berharap dapat memperoleh keuntungan dengan dibekukannya kerjasama itu selama sementara.
Caranya, dengan menumpang beberapa perahu yang akan berangkat menuju ke Negeri Kanguru dalam beberapa hari mendatang.
Setidaknya, sebuah dokumen milik salah seorang pejabat tinggi Imigrasi RI yang berhasil diperoleh harian Sydney Morning Herald (SMH) menjadi pembuktian.
Dalam sebuah artikel yang diturunkan SMH, Minggu, 24 November 2013 menyebut para pejabat imigrasi Indonesia berjanji tak akan lagi menghalangi langkah para pencari suaka yang berniat berlayar menuju tepi pantai Australia.
Kepala Imigrasi Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) di Sumatera Utara, Rustanov, membenarkan hal itu. Dia mengatakan upaya pemantauan untuk menghentikan perahu pencari suaka yang masuk ke Indonesia menuju Australia, akan dihentikan.
"Kami tidak ada urusan lagi dengan Australia. Biarkan saja perahu yang membawa para pencari suaka itu menuju ke sana. Tidak akan ada upaya pemantauan yang dibutuhkan," ujar Rustanov.
Dulu, imbuh Rustanov, jajarannya bekerja sama dengan polisi telah menahan banyak para pencari suaka yang berusaha menyelundup menuju Australia.
"Kini, tidak ada gunanya membuang-buang energi menahan mereka," imbuh Rustanov.
Sementara seorang pejabat senior di kantor imigrasi Yogyakarta, Tatang Suheryadin, mengatakan mereka hanya mengikuti kebijakan pemerintah pusat. Hingga hari ini, belum ada kebijakan baru yang diberlakukan menyusul keputusan pemerintah Indonesia yang menghentikan sementara waktu upaya penyelundupan manusia.
"Direktur Jenderal Imigrasi dari Depkumham, belum mengeluarkan instruksi apa pun terkait permasalahan ini," ujar Tatang.
Instruksi serupa juga masih dinanti oleh Kapolda Jawa Barat, Suhardi Alius. Dia mengaku, hingga ini masih terus menunggu arahan dari Kapolri terkait penanganan para imigran gelap.
Berita mengenai dihentikannya kerjasama bidang penyelundupan manusia, tentu disambut baik oleh para pencari suaka yang kini berada di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Cisarua. Mereka berharap dapat memperoleh keuntungan dengan dibekukannya kerjasama itu selama sementara.
Caranya, dengan menumpang beberapa perahu yang akan berangkat menuju ke Negeri Kanguru dalam beberapa hari mendatang.
Sudah Tahu
Harapan serupa juga dimiliki oleh beberapa pencari suaka asal Sri Lanka. Mereka mengaku telah mengetahui berita soal krisis diplomatik yang dialami Indonesia dan Australia gara-gara terbongkarnya skandal penyadapan terhadap komunikasi Presiden SBY, Ibu Ani Yudhoyono dan para pejabat Indonesia lainnya.
Para pencari suaka itu mengaku sudah putus asa dan berharap dapat tiba di Pulau Christmas dalam waktu dekat.
Namun, harapan serupa tidak ditunjukkan delapan pencari suaka asal Afganistan yang juga masih bermukim di Rudenim Cisarua. Kepada SMH, Sabtu kemarin, mereka mengaku tak lagi tertarik membayar penyelundup yang dapat membantu mereka menyebrang ke Australia.
Stasiun berita ABC News, Jumat 22 November 2013 melansir biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang imigran gelap untuk dapat menyebrang ke Australia mencapai A$65.292 atau Rp699 juta.
Mereka kerap dijanjikan para penyelundup terbang ke Australia menggunakan pesawat, namun kerap kali janji manis itu dilanggar dengan hanya menyediakan perahu reyot untuk berlayar ke sana.
Kerjasama di bidang penanggulangan imigran ilegal dengan Indonesia, tentu sangat krusial bagi Australia. Pasalnya, Indonesia menjadi tanggul pertahanan untuk membendung banyaknya para imigran ilegal yang ingin menuju ke Australia.
Saat diberlakukan kerjasama tersebut, Menteri Imigrasi Australia, Scott Morrison, mengakui terjadi penurunan jumlah imigran ilegal secara drastis. Di musim gugur November 2012, terdapat 43 perahu yang mencoba masuk ke Negeri Kanguru dengan 2.630 kedatangan.
Bandingkan dengan periode di bulan yang sama. Tercatat baru empat perahu di bulan November yang berangkat ke Australia dicegat kapal patroli Negeri Kanguru dengan imigran ilegal berjumlah 198 orang.
Kian meningkatnya eskalasi ketegangan politik kedua negara dikhawatirkan dapat berpengaruh kepada beberapa kerjasama di bidang perdagangan sapi dan operasi bersama menghadapi para imigran ilegal. Total dari kedua kerjasama setiap tahunnya ditargetkan mencapai AUD174 juta atau setara Rp1,8 triliun. (ren)
Para pencari suaka itu mengaku sudah putus asa dan berharap dapat tiba di Pulau Christmas dalam waktu dekat.
Namun, harapan serupa tidak ditunjukkan delapan pencari suaka asal Afganistan yang juga masih bermukim di Rudenim Cisarua. Kepada SMH, Sabtu kemarin, mereka mengaku tak lagi tertarik membayar penyelundup yang dapat membantu mereka menyebrang ke Australia.
Stasiun berita ABC News, Jumat 22 November 2013 melansir biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang imigran gelap untuk dapat menyebrang ke Australia mencapai A$65.292 atau Rp699 juta.
Mereka kerap dijanjikan para penyelundup terbang ke Australia menggunakan pesawat, namun kerap kali janji manis itu dilanggar dengan hanya menyediakan perahu reyot untuk berlayar ke sana.
Kerjasama di bidang penanggulangan imigran ilegal dengan Indonesia, tentu sangat krusial bagi Australia. Pasalnya, Indonesia menjadi tanggul pertahanan untuk membendung banyaknya para imigran ilegal yang ingin menuju ke Australia.
Saat diberlakukan kerjasama tersebut, Menteri Imigrasi Australia, Scott Morrison, mengakui terjadi penurunan jumlah imigran ilegal secara drastis. Di musim gugur November 2012, terdapat 43 perahu yang mencoba masuk ke Negeri Kanguru dengan 2.630 kedatangan.
Bandingkan dengan periode di bulan yang sama. Tercatat baru empat perahu di bulan November yang berangkat ke Australia dicegat kapal patroli Negeri Kanguru dengan imigran ilegal berjumlah 198 orang.
Kian meningkatnya eskalasi ketegangan politik kedua negara dikhawatirkan dapat berpengaruh kepada beberapa kerjasama di bidang perdagangan sapi dan operasi bersama menghadapi para imigran ilegal. Total dari kedua kerjasama setiap tahunnya ditargetkan mencapai AUD174 juta atau setara Rp1,8 triliun. (ren)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar