Jakarta (Antara) - Peretas situs resmi The Reserve Bank
of Australia dan Australian Federal Police yang mengaku sebagai
kelompok Anonymous Indonesia belum tentu benar-benar orang Indonesia,
kata pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Kalau mengatasnamakan orang Indonesia, belum tentu orang Indonesia.
Jadi ini harus diteliti dulu mulai dari pusat datanya, caranya meretas
seperti apa, kemudian ditelusuri lagi sehingga kami belum bisa
memastikan apakah itu orang Indonesia," kata Direktur Tindak Pidana
Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Pol Arief Sulistyanto di Mabes
Polri, Jakarta, Jumat. Menurut jenderal bintang satu itu, peretas atau "hacker" pastinya adalah orang yang benar-benar menguasai masalah teknologi informasi sehingga tidak mungkin menggunakan identitas asli mereka.
"Tidak mungkin mereka meretas menggunakan identitas asli, itu pasti `hacker` yang jujur alias bodoh," katanya.
Arief menjelaskan, dalam direktoratnya ada bagian khusus yang menangani masalah kejahatan dunia maya (cyber crime). Dalam penanganan kasus perestasan, hal pertama yang harus dilihat adalah lokasi "data center" atau pusat data.
Dalam kasus peretasan sejumlah situs pemerintahan Australia, penegakan hukum dilakukan di lokasi kejadian sesuai dengan yurisdiksi penegak hukum setempat.
"Dilihat juga bagaimana cara meretasnya, apakah diretas dengan metode DOS, DDoS, atau `device` (alat). Baru kemudian dicari pelakunya yang dipastikan oleh `IP address`," katanya.
Setelah ditemukan "IP address" pun, lanjut Arief, belum tentu bisa dipastikan yang bersangkutan benar orang Indonesia atau berada di Indonesia karena banyaknya perangkat lunak (software) yang digunakan untuk memanipulasi.
Sebelumnya Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku belum mendapatkan kejelasan informasi terkait peretasan situs resmi The Reserve Bank of Australia (RBA) dan Australian Federal Police (AFP) yang diduga dilakukan kelompok Anonymous Indonesia.?
"Sejauh ini kami belum mendapatkan fakta-fakta seperti itu. Hanya kabar-kabar saja," kata Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring selepas rapat tertutup dengan sejumlah jajaran direksi operator telekomunikasi di Jakarta, Kamis.
"Peretas ini sesuatu yang sulit diklaim atau dideteksi kecuali mereka meninggalkan jejak untuk diketahui," kata Tifatul.
Kegiatan peretasan yang datang dari dalam negeri, menurut Tifatul, melanggar Undang-Undang No 8 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) selain juga melanggar hubungan internasional dalam ketentuan Konvensi Ruang Siber (convention on cyberspace).
Dugaan serangan kelompok yang menyebut diri mereka Anonymous Indonesia terhadap RBA dan AFP terjadi menyusul penyadapan sejumlah pejabat publik Indonesia oleh Australia dan Amerika Serikat.
Radio Australia melaporkan peretas yang mengaku anggota kelompok Anonymous Indonesia menyatakan bertanggung jawab atas serangan cyber terhadap website Kepolisian Federal Australia (AFP), dan website Bank Sentral Australia (RBA).
"ABC mencoba mengakses website AFP, www.afp.gov.au, Kamis (21/11/2013) Pukul 12:00 siang waktu Melbourne, namun tidak bisa terbuka. Tapi website RBA di www.rba.gov.au tampaknya tidak mengalami masalah," tulis Radio Australia di situs Internet mereka.
Kepolisian Federal Australia maupun Bank Sentral Australia, seperti disebut dalam laporan Radio Australia, menyatakan situs Internet mereka memang mengalami serangan pada Rabu (20/11/) malam.
Tapi, kedua institusi Australia itu menjamin tidak ada informasi sensitif yang berhasil diperoleh oleh para peretas.(rr)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar