Jpnn
Mahkamah Konstitusi (MK) punya nahkoda
baru, menyusul dipecatnya Akil Mochtar, tersangka kasus suap Pilkada
Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ketua MK baru itu sebenarnya ’’stok
lama’’. Dia adalah Hamdan Zoelva, yang sebelumnya menjabat wakil ketua.
Di pundak Hamdan, wibawa MK kini dipertaruhkan.
DODY BAYU PRASETYO, Jakarta
Di MK, Hamdan Zoelva bukan nama asing.
Dia merupakan satu dari sembilan hakim konstitusi yang setiap hari
menyidangkan dan memutus kasus-kasus sengketa pemilihan kepala daerah
(pilkada) di Indonesia. Kedisiplinan dan ketegasannya dalam bertugas
mengantarkan dirinya menduduki jabatan wakil ketua di era kepimpinan
Akil Mochtar. Bahkan, begitu Akil bermasalah dan harus lengser, Hamdan
dianggap yang paling layak memimpin lembaga peradilan tinggi tersebut.
Putra asli Bima, Nusa Tenggara Barat,
kelahiran 21 Juni 1962, itu selama ini dikenal sebagai pengadil yang
santun namun tegas. Kalangan MK menyebut, Hamdan termasuk tipikal hakim
yang tidak neko-neko. Karena itu, meski usianya relatif lebih muda
dibanding tujuh hakim lainnya (minus Akil), Hamdan dinilai lebih tepat
memimpin MK. Dan, benar, dalam pemungutan suara di internal MK, Hamdan
meraih suara terbanyak, mengalahkan Arief Hidayat yang kemudian menjadi
wakil ketuanya.
Jalan panjang dan berliku harus ditempuh
Hamdan sebelum Jumat (1/11) lalu secara resmi menahkodani MK. Hamdan
merupakan salah satu dari tiga hakim konstitusi pilihan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012. Penghargaan yang tidak biasa tersebut
diberikan karena prestasi Hamdan yang dinilai luar biasa dalam
pendidikan hukum di tanah air.
’’Saya dipilih langsung oleh presiden
karena selama 4 tahun berturut-turut saya ikut merumuskan amandemen
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan telah membukukannya,” kata Hamdan
kepada Jawa Pos, Sabtu (2/11).
Sejak kecil, Hamdan dididik orang tuanya
dalam pendidikan Islam yang kuat. Setelah SD, dia masuk Madrasah
Tsanawiyah (MTs) Bima pada 1975–1977. Kemudian melanjutkan ke Madrasah
Aliyah (MA) Negeri Bima pada 1977–1981.
Lulus dari MA Hamdan masuk Fakultas
Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar (1981-1986). Belum puas,
dia melanjutkan pendidikan di program Magister Hukum Bisnis di
Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, pada 1999. Namun,
kali ini dia tidak sampai tamat.
Dia kemudian ’’pindah’’ ke program
Magister Hukum di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan
menyelesaikannya pada 2005. Bahkan, dia meraih gelar doktor ilmu hukum
di universitas yang sama setelah berhasil mempertahankan disertasinya
yang berjudul ’’Pemakzulan Presiden Republik Indonesia’’.
Suami dari RA Nina Damayanti, yang juga
pengacara tersebut, bercerita bahwa sejak kecil dirinya dilatih untuk
hidup disiplin oleh orang tuanya. ’’Saya sudah terbiasa dididik dengan
keras untuk disiplin. Bapak dan ibu saya setiap hari memberikan tugas di
rumah dan tidak boleh ditinggal,” kenang Hamdan.
Anak kelima dari sembilan bersaudara
tersebut mengatakan, pendidikan disiplin yang ditanamkan orang tuanya
itu hingga kini masih terus terbawa. ’’Karena itu, saya selalu
berhati-hati dalam menjalankan tugas. Tidak bisa seenaknya,’’ ujar
pengacara yang pernah bekerja pada OC Kaligis and Associates ini.
Perjalanan karier Hamdan juga tidak
pendek. Pada 1999 dia terpilih menjadi anggota DPR periode 1999–2004
dari Partai Bulan Bintang (PBB). Sebelum menjadi anggota dewan dia
sempat berprofesi sebagai akademisi, di antaranya menjadi dosen luar
biasa Fakultas Hukum Unhas dan asisten dosen Fakultas Syari’ah Institut
Agama Islam Nasional (IAIN) Alauddin, Makassar. pada 1986-1987, serta
asisten dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar.
Semuanya mengajar mata kuliah hukum internasional.
Saat menjadi wakil rakyat, bapak tiga
anak itu memiliki kiprah yang cukup menonjol. Selain menjadi anggota
Badan Musyawarah (Bamus) DPR, dia juga pernah menjabat sebagai wakil
ketua Komisi II DPR yang membidangi hukum dan peradilan.
Selain itu, dia juga pernah menjadi
anggota Badan Pekerja MPR Panitia Ad Hoc III pada 1999 dan Panitia Ad
Hoc I pada 2000-2002 Amandemen UUD. Dia juga dipercaya menjadi
sekretaris Fraksi PBB DPR.
Hamdan mengatakan, dunia hukum, politik,
dan guru adalah medan pengabdian baginya. Semua diniati sebagai bentuk
ibadah kepada Tuhan. ’’Karena ketiga bidang itu merupakan sarana
pengabdian saya kepada Allah, dan bentuk darma bakti kepada masyarakat
bangsa dan negara,” ujar anak pasangan H Muhammad Hasan- Hj Siti Zaenab
itu.
Dia lalu menceritakan pengalaman politik
yang dibangunnya untuk menegakkan agama Islam. Seperti pada Muktamar
PBB 2005 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Pria yang dekat dengan para
aktivis gerakan ini menyerahkan dukungannya secara penuh kepada H M.S.
Kaban untuk menjadi ketua umum (Ketum) PBB. Langkah politik tersebut
dilakukan semata-mata untuk menjaga persaudaraan antarumat Islam
(ukhuwah Islamiyyah).
Sebagai hakim di MK, Hamdan mengaku
mempunyai doa khusus agar tugas-tugasnya lancar dan terhindar dari
fitnah. Dengan doa tersebut, Hamdan berharap dapat menjalani masa-masa
menjadi ketua MK hingga akhir jabatannya dengan selamat.
’’Doa saya, masuk dengan selamat, keluar juga dengan selamat. Kehormatan itulah yang paling saya jaga,” bebernya.
Bagi Hamdan, menjadi hakim konstitusi
bukanlah pekerjaan yang enteng. Menurut dia, godaan menjadi hakim jauh
lebih besar daripada pekerjaan lain karena terkait dengan nasib
seseorang. Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya konsistensi dalam
memegang teguh kode etik hakim agar tidak terjerumus kepada perbuatan
yang merugikan banyak pihak. Seperti yang dialami pendahulunya, Akil
Mochtar.
’’Bagi saya jadi hakim itu yang paling
penting dan utama serta pertama adalah lurus dan jujur. Kedua, kita
harus memahami hukum dan tahu kasusnya dengan benar,’’ kata dia.
Dalam memutus perkara, Hamdan juga
mengatakan bahwa dirinya selalu menggunakan pengetahuan dan keyakinan.
Menurut dia, apabila seorang hakim memutus suatu perkara dengan
keyakinan yang benar dan ternyata keputusannya tetap salah, maka dirinya
tetap mendapatkan satu kebaikan.
’’Salah atau benar putusan itu kalau
sudah dikeluarkan dengan kejujuran dan keyakinan serta hukum yang benar,
masih dapat satu pahala menurut agama Islam. Saya tidak peduli apa kata
orang,” tandasnya lantas tertawa. (*/ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar