BERBUAT BENAR ADALAH KEHARUSAN, BERBUAT TIDAK BENAR ADALAH KETIDAK HARUSAN

Senin, 04 November 2013

Tak Ingin Terjerumus seperti Akil Mochtar

 Jpnn
Mahkamah Konstitusi (MK) punya nahkoda baru, menyusul dipecatnya Akil Mochtar, tersangka kasus suap Pilkada Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Ketua MK baru itu sebenarnya ’’stok lama’’. Dia adalah Hamdan Zoelva, yang sebelumnya menjabat wakil ketua. Di pundak Hamdan, wibawa MK kini dipertaruhkan.
DODY BAYU PRASETYO, Jakarta
Di MK, Hamdan Zoelva bukan nama asing. Dia merupakan satu dari sembilan hakim konstitusi yang setiap hari menyidangkan dan memutus kasus-kasus sengketa pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia. Kedisiplinan dan ketegasannya dalam bertugas mengantarkan dirinya menduduki jabatan wakil ketua di era kepimpinan Akil Mochtar. Bahkan, begitu Akil bermasalah dan harus lengser, Hamdan dianggap yang paling layak memimpin lembaga peradilan tinggi tersebut.
Putra asli Bima, Nusa Tenggara Barat, kelahiran 21 Juni 1962, itu selama ini dikenal sebagai pengadil yang santun namun tegas. Kalangan MK menyebut, Hamdan termasuk tipikal hakim yang tidak neko-neko. Karena itu, meski usianya relatif lebih muda dibanding tujuh hakim lainnya (minus Akil), Hamdan dinilai lebih tepat memimpin MK. Dan, benar, dalam pemungutan suara di internal MK, Hamdan meraih suara terbanyak, mengalahkan Arief  Hidayat yang kemudian menjadi wakil ketuanya.
Jalan panjang dan berliku harus ditempuh Hamdan sebelum Jumat (1/11) lalu secara resmi menahkodani MK. Hamdan merupakan salah satu dari tiga hakim konstitusi pilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2012. Penghargaan yang tidak biasa tersebut diberikan karena prestasi Hamdan yang dinilai luar biasa dalam pendidikan hukum di tanah air.
’’Saya dipilih langsung oleh presiden karena selama 4 tahun berturut-turut saya ikut merumuskan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan telah membukukannya,” kata Hamdan kepada Jawa Pos, Sabtu (2/11).
Sejak kecil, Hamdan dididik orang tuanya dalam pendidikan Islam yang kuat. Setelah SD, dia masuk Madrasah Tsanawiyah (MTs) Bima pada 1975–1977. Kemudian  melanjutkan ke Madrasah Aliyah (MA) Negeri Bima pada 1977–1981.
Lulus dari MA Hamdan masuk Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar (1981-1986). Belum puas, dia melanjutkan pendidikan di program Magister Hukum Bisnis di Universitas Pelita Harapan (UPH) Karawaci, Tangerang, pada 1999. Namun, kali ini dia tidak sampai tamat.
Dia kemudian ’’pindah’’ ke program Magister Hukum di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung dan menyelesaikannya pada 2005. Bahkan, dia meraih gelar doktor  ilmu hukum di universitas yang sama setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul ’’Pemakzulan Presiden Republik Indonesia’’.
Suami dari RA Nina Damayanti, yang juga pengacara tersebut, bercerita bahwa sejak kecil dirinya dilatih untuk hidup disiplin oleh orang tuanya. ’’Saya sudah terbiasa dididik dengan keras untuk disiplin. Bapak dan ibu saya setiap hari memberikan tugas di rumah dan tidak boleh ditinggal,” kenang Hamdan.
Anak kelima dari sembilan bersaudara tersebut mengatakan, pendidikan disiplin yang ditanamkan orang tuanya itu hingga kini masih terus terbawa. ’’Karena itu, saya selalu berhati-hati dalam menjalankan tugas. Tidak bisa seenaknya,’’ ujar pengacara yang pernah bekerja pada OC Kaligis and Associates ini.
Perjalanan karier Hamdan juga tidak pendek. Pada 1999 dia terpilih menjadi anggota DPR periode 1999–2004 dari Partai Bulan Bintang (PBB). Sebelum menjadi anggota dewan dia sempat berprofesi sebagai akademisi, di antaranya menjadi dosen luar biasa Fakultas Hukum Unhas dan asisten dosen Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Nasional (IAIN) Alauddin, Makassar. pada 1986-1987, serta asisten dosen Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makassar. Semuanya mengajar mata kuliah hukum internasional.
Saat menjadi wakil rakyat, bapak tiga anak itu memiliki kiprah yang cukup menonjol. Selain menjadi anggota Badan Musyawarah (Bamus) DPR, dia juga pernah menjabat sebagai wakil ketua Komisi II DPR yang membidangi hukum dan peradilan.
Selain itu, dia juga pernah menjadi  anggota Badan Pekerja MPR Panitia Ad Hoc III pada 1999 dan Panitia Ad Hoc I pada 2000-2002 Amandemen UUD. Dia juga dipercaya menjadi sekretaris Fraksi PBB DPR.
Hamdan mengatakan, dunia hukum, politik, dan guru adalah medan pengabdian baginya. Semua diniati  sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. ’’Karena ketiga bidang itu merupakan sarana pengabdian saya kepada Allah, dan bentuk darma bakti kepada masyarakat bangsa dan negara,” ujar anak pasangan H Muhammad Hasan- Hj Siti Zaenab itu.
Dia lalu menceritakan pengalaman politik yang dibangunnya untuk menegakkan agama Islam. Seperti pada Muktamar PBB 2005 di Asrama Haji Sukolilo Surabaya. Pria yang dekat dengan para aktivis gerakan ini menyerahkan dukungannya secara penuh kepada H M.S. Kaban untuk menjadi ketua umum (Ketum) PBB. Langkah politik tersebut dilakukan semata-mata untuk menjaga persaudaraan antarumat Islam (ukhuwah Islamiyyah).
Sebagai hakim di MK, Hamdan mengaku mempunyai doa khusus agar tugas-tugasnya lancar dan terhindar dari fitnah. Dengan doa tersebut, Hamdan berharap dapat menjalani masa-masa menjadi ketua MK hingga akhir jabatannya dengan selamat.
’’Doa saya, masuk dengan selamat, keluar juga dengan selamat. Kehormatan itulah yang paling saya jaga,” bebernya.
Bagi Hamdan, menjadi hakim konstitusi bukanlah pekerjaan yang enteng. Menurut dia, godaan menjadi hakim jauh lebih besar daripada pekerjaan lain karena terkait dengan nasib seseorang. Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya konsistensi dalam memegang teguh kode etik hakim agar tidak terjerumus kepada perbuatan yang merugikan banyak pihak. Seperti yang dialami pendahulunya, Akil Mochtar.
’’Bagi saya jadi hakim itu yang paling penting dan utama serta pertama adalah lurus dan  jujur. Kedua, kita harus memahami hukum dan tahu kasusnya dengan benar,’’ kata dia.
Dalam memutus perkara, Hamdan juga mengatakan bahwa dirinya selalu menggunakan pengetahuan dan keyakinan. Menurut dia, apabila seorang hakim memutus suatu perkara dengan keyakinan yang benar dan ternyata keputusannya tetap salah, maka dirinya tetap mendapatkan satu kebaikan.
’’Salah atau benar putusan itu kalau sudah dikeluarkan dengan kejujuran dan keyakinan serta hukum yang benar, masih dapat satu pahala menurut agama Islam. Saya tidak peduli apa kata orang,” tandasnya lantas tertawa. (*/ari)

Tidak ada komentar: